"Ada apa ribut-ribut?" Lina balik bertanya.
"Gak ada siapa-siapa kok, Lin."
Omongan Diah menjadi percuma saat ketukan berikutnya lebih keras lagi. Â Dan sepertinya memang bukan sebuah ketukan. Â Ketukan terakhir sudah berupa dobrakan.
Diah panik.
"Siapa, Di?" Â Lina hendak bangun.
"Tidur saja, Lin."
"Aku tak bisa tidur kalau ada yang berisik. Â Siapa yang di depan itu, Di?"
Diah tak bisa menjawab. Â Dan pada saat yang sama, pintu berhasil didobrak. Â Laki-laki itu melangkah dengan langkah yang begitu pelan. Â Laki-laki itu seperti hendak menikmati ketakutan mangsanya. Â Betul-betul jelmaan iblis.
Lalu, laki-laki itu duduk di kursi makan. Â Kakinya diangkat ke atas meja. Â Buah apel yang ada di meja sengaja diambil dan diirisnya dengan pelan. Â Seakan sedang memperlihatkan ketajaman pisau yang dibawanya.
Lina sudah pingsan dari tadi.
Diah bangun. Â Tekadnya sudah bulat. Â Diah akan melawan laki-laki itu, meski harus bertaruh nyawa. Â Lina, sahabatnya itu tak boleh diperlakukan semena-mena. Â Lina memang ringkih. Â Lina memang selalu mengalah. Â Tapi tak boleh harkat kemanusiaannya diinjak-injak hanya karena dia perempuan.