Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (27)

12 April 2016   17:11 Diperbarui: 12 April 2016   17:15 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah Lina tampak pucat sekali.  Tubuhnya kurus. Bahkan pakaian yang dikenakan tampak lusuh.

"Kamu harus menolongku, Di," kata Lina gugup.

"Kenapa?" tanya Diah.

"Ada orang yang mengikutiku.  Dia hendak membunuhku, Di.  Tolongin aku," Lina semakin pucat.  Juga gugup.  Seperti ada bayangan kengerian yang tak tertahankan.

"Kamu tak usah parno begitu, Lin," kata Diah sambil memeluk Lina.

Dalam pelukan Diah, Lina terlihat agak tenang.  Tapi mendadak dia berlari menuju pintu.  Memeriksa kunci pintu.  Langsung menguncinya.  Kemudian menutup semua gorden.

"Kamu kenapa sih, Lin?" tanya Diah masih belum mengerti.

"Ada yang ingin membunuhku, Di."

"Siapa?"

"Mungkin suruhan suamiku.  Suamiku galak, Di.  Suamiku monster.  Kamu tahu monster kan?  Dia pasti akan emmbunuhku.  Aku sudah lama tahu hasrat bauayanya itu, Di."

"Kenapa suamimu ingin membunuhmu, Lin?"

"Dia ingin menikah lagi.  Aku jelas tak setuju.  Lebih baik aku mati daripada harus dimadu.  Di, dia bukannya mundur dari hasrat buayanya itu, dia malah mengatakan akan mengabulkan apa yang aku ucapkan.  Dia betul-betul ingin membunuhku, Di.  Tolong... tolong aku ya?"

Badan Lina terasa dingin.  Diah menyuruhnya tidur.  Kemudian Diah mencoba melihat ke depan rumah.  Tak ada apa-apa.  Hanya semburat senja yang sedang bergegas menuju peraduannya.

Saat Diah hendak berbalik, pintu ada yang mengetuknya.

Seorang laki-laki.  Diah mengintip dari balik gorden yang sudah ditutup Lina.  Di tangannya ada sebilah pisau yang masih terhunus.  Hati Diah langsung ciut walau sabuk hitam karate pernah diraihnya.

"Siapa laki-laki itu?" Diah bingung sendiri.

Ketukan terdengar lagi.  Ketukan kedua terdengar lebih keras.  Hati Diah seakan hendak copot.  Untung Lina masih tertidur pulas.  Kalau Lina terbangun bisa jadi dia akan semakin histeris.

Kemana orang-orang?

Masa masih sesore ini sudah tak ada orang yang lewat?  Harusnya kan jalan depan rumah masih ramai?  Ada apa gerangan?

Diah ingat kalau dia pernah menyimpan nomor HP bu Rt.  Tapi lupa menaruhnya di mana.  Kalau lagi gugup seperti ini, jalan otak juga pasti tersumbat.  Diah main bongkar lemari baju saja.  Tak ada apa-apa.  Mencoba mencari di bufet. Juga tak ada.  Hingga ketukan ketiga terdengar semakin keras.

Di saat yang sama, Lina terbangun.

"Tidur lagi saja, Lin," rayu Diah.

"Ada apa ribut-ribut?" Lina balik bertanya.

"Gak ada siapa-siapa kok, Lin."

Omongan Diah menjadi percuma saat ketukan berikutnya lebih keras lagi.  Dan sepertinya memang bukan sebuah ketukan.  Ketukan terakhir sudah berupa dobrakan.

Diah panik.

"Siapa, Di?"  Lina hendak bangun.

"Tidur saja, Lin."

"Aku tak bisa tidur kalau ada yang berisik.  Siapa yang di depan itu, Di?"

Diah tak bisa menjawab.  Dan pada saat yang sama, pintu berhasil didobrak.  Laki-laki itu melangkah dengan langkah yang begitu pelan.  Laki-laki itu seperti hendak menikmati ketakutan mangsanya.  Betul-betul jelmaan iblis.

Lalu, laki-laki itu duduk di kursi makan.  Kakinya diangkat ke atas meja.  Buah apel yang ada di meja sengaja diambil dan diirisnya dengan pelan.  Seakan sedang memperlihatkan ketajaman pisau yang dibawanya.

Lina sudah pingsan dari tadi.

Diah bangun.  Tekadnya sudah bulat.  Diah akan melawan laki-laki itu, meski harus bertaruh nyawa.  Lina, sahabatnya itu tak boleh diperlakukan semena-mena.  Lina memang ringkih.  Lina memang selalu mengalah.  Tapi tak boleh harkat kemanusiaannya diinjak-injak hanya karena dia perempuan.

Diah ambil parang di dapur.  Parang yang sudah terlihat karatan.  Tak pernah Diah memakainnya.  Dulu, belinya juga karena Diah kasihan kepada tukang parang yang sudah sore belum ada satu pun parangnya yang laku. 

Ternyata ada manfaatnya juga.

Langkah tegap siap tempur.  Diah menuju laki-laki itu.  Saat Diah hampir sampai ke tempat laki-laki itu duduk, laki-laki itu berbalik.  Dan wajah laki-laki itu benar-benar mengagetkan Diah.  Parang yang sudah terhunus langsung jatuh nyaris mengenai kakinya.

"Bapak...?" kata Diah.

Laki-laki itu meringis.  Memamerkan giginya yang besar-besar dan hitam legam.  Betul-betul mengerikan.  Diah undur.  Hatinya rontok.  Bapaknya telah menjelma menjadi iblis pembunuh.

"Bun, bun, bun!"

Ada yang memanggil Diah.  Sepertinya Rara.  Diah membuka mata.  Betul, Rara.  Rara mengguncang-guncang badan Diah.

"Bunda mimpi?" tanya Rara.

Diah masih diam.

"Bunda mimpi buruk, ya?" ulang Rara.

Diah membaca istigfar tiga kali. 

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun