Wajah Lina tampak pucat sekali. Â Tubuhnya kurus. Bahkan pakaian yang dikenakan tampak lusuh.
"Kamu harus menolongku, Di," kata Lina gugup.
"Kenapa?" tanya Diah.
"Ada orang yang mengikutiku. Â Dia hendak membunuhku, Di. Â Tolongin aku," Lina semakin pucat. Â Juga gugup. Â Seperti ada bayangan kengerian yang tak tertahankan.
"Kamu tak usah parno begitu, Lin," kata Diah sambil memeluk Lina.
Dalam pelukan Diah, Lina terlihat agak tenang. Â Tapi mendadak dia berlari menuju pintu. Â Memeriksa kunci pintu. Â Langsung menguncinya. Â Kemudian menutup semua gorden.
"Kamu kenapa sih, Lin?" tanya Diah masih belum mengerti.
"Ada yang ingin membunuhku, Di."
"Siapa?"
"Mungkin suruhan suamiku. Â Suamiku galak, Di. Â Suamiku monster. Â Kamu tahu monster kan? Â Dia pasti akan emmbunuhku. Â Aku sudah lama tahu hasrat bauayanya itu, Di."
"Kenapa suamimu ingin membunuhmu, Lin?"
"Dia ingin menikah lagi. Â Aku jelas tak setuju. Â Lebih baik aku mati daripada harus dimadu. Â Di, dia bukannya mundur dari hasrat buayanya itu, dia malah mengatakan akan mengabulkan apa yang aku ucapkan. Â Dia betul-betul ingin membunuhku, Di. Â Tolong... tolong aku ya?"
Badan Lina terasa dingin. Â Diah menyuruhnya tidur. Â Kemudian Diah mencoba melihat ke depan rumah. Â Tak ada apa-apa. Â Hanya semburat senja yang sedang bergegas menuju peraduannya.
Saat Diah hendak berbalik, pintu ada yang mengetuknya.
Seorang laki-laki. Â Diah mengintip dari balik gorden yang sudah ditutup Lina. Â Di tangannya ada sebilah pisau yang masih terhunus. Â Hati Diah langsung ciut walau sabuk hitam karate pernah diraihnya.
"Siapa laki-laki itu?" Diah bingung sendiri.
Ketukan terdengar lagi. Â Ketukan kedua terdengar lebih keras. Â Hati Diah seakan hendak copot. Â Untung Lina masih tertidur pulas. Â Kalau Lina terbangun bisa jadi dia akan semakin histeris.
Kemana orang-orang?
Masa masih sesore ini sudah tak ada orang yang lewat? Â Harusnya kan jalan depan rumah masih ramai? Â Ada apa gerangan?
Diah ingat kalau dia pernah menyimpan nomor HP bu Rt. Â Tapi lupa menaruhnya di mana. Â Kalau lagi gugup seperti ini, jalan otak juga pasti tersumbat. Â Diah main bongkar lemari baju saja. Â Tak ada apa-apa. Â Mencoba mencari di bufet. Juga tak ada. Â Hingga ketukan ketiga terdengar semakin keras.
Di saat yang sama, Lina terbangun.
"Tidur lagi saja, Lin," rayu Diah.
"Ada apa ribut-ribut?" Lina balik bertanya.
"Gak ada siapa-siapa kok, Lin."
Omongan Diah menjadi percuma saat ketukan berikutnya lebih keras lagi. Â Dan sepertinya memang bukan sebuah ketukan. Â Ketukan terakhir sudah berupa dobrakan.
Diah panik.
"Siapa, Di?" Â Lina hendak bangun.
"Tidur saja, Lin."
"Aku tak bisa tidur kalau ada yang berisik. Â Siapa yang di depan itu, Di?"
Diah tak bisa menjawab. Â Dan pada saat yang sama, pintu berhasil didobrak. Â Laki-laki itu melangkah dengan langkah yang begitu pelan. Â Laki-laki itu seperti hendak menikmati ketakutan mangsanya. Â Betul-betul jelmaan iblis.
Lalu, laki-laki itu duduk di kursi makan. Â Kakinya diangkat ke atas meja. Â Buah apel yang ada di meja sengaja diambil dan diirisnya dengan pelan. Â Seakan sedang memperlihatkan ketajaman pisau yang dibawanya.
Lina sudah pingsan dari tadi.
Diah bangun. Â Tekadnya sudah bulat. Â Diah akan melawan laki-laki itu, meski harus bertaruh nyawa. Â Lina, sahabatnya itu tak boleh diperlakukan semena-mena. Â Lina memang ringkih. Â Lina memang selalu mengalah. Â Tapi tak boleh harkat kemanusiaannya diinjak-injak hanya karena dia perempuan.
Diah ambil parang di dapur. Â Parang yang sudah terlihat karatan. Â Tak pernah Diah memakainnya. Â Dulu, belinya juga karena Diah kasihan kepada tukang parang yang sudah sore belum ada satu pun parangnya yang laku.Â
Ternyata ada manfaatnya juga.
Langkah tegap siap tempur. Â Diah menuju laki-laki itu. Â Saat Diah hampir sampai ke tempat laki-laki itu duduk, laki-laki itu berbalik. Â Dan wajah laki-laki itu benar-benar mengagetkan Diah. Â Parang yang sudah terhunus langsung jatuh nyaris mengenai kakinya.
"Bapak...?" kata Diah.
Laki-laki itu meringis. Â Memamerkan giginya yang besar-besar dan hitam legam. Â Betul-betul mengerikan. Â Diah undur. Â Hatinya rontok. Â Bapaknya telah menjelma menjadi iblis pembunuh.
"Bun, bun, bun!"
Ada yang memanggil Diah. Â Sepertinya Rara. Â Diah membuka mata. Â Betul, Rara. Â Rara mengguncang-guncang badan Diah.
"Bunda mimpi?" tanya Rara.
Diah masih diam.
"Bunda mimpi buruk, ya?" ulang Rara.
Diah membaca istigfar tiga kali.Â
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H