“Baiklah,” hati Mudofar lega. Hari berikutnya Pak Badrudin memanggil dan mengatakan kepada Mudofar kalau majalah yang ada di musola tak perlu dikemasi. Biar saja. Pak Wirman sudah memahaminya.
Tapi sejak itu, Pak Wirman tak pernah memanggil Mudofar. Atau mengajak kumpul-kumpul sebagai anggota OSIS. Salman yang sering ditunjuk sendiri oleh Pak Wirman sebagai pengurus Rohis. Tak apalah.
Sekarang Pak Wirman memanggil lagi. Pasti ada yang mengganjal di hati Pak Wirman lagi.
“Kamu ini apa-apaan sih, Far!” baru sampai di hadapan Pak Wirman, Mudofar langsung mendapat suguhan kemarahan.
“Kenapa, Pak?” dengan kaki yang gemetar, Mudofar masih mencoba memahami kata-kata Pak Wirman.
“Katanya di musola kamu sediakan gitar segala! Tiap siang genjrang genjreng di musola. Masa iya, sih, musola dijadikan tempat main gitar?!”
“Memangnya salah, Pak?”
“Ya iyalah! Musola itu tempat salat, bukan tempat main gitar dan bernyanyi-nyanyi. Masjid dan musola itu tempat untuk mengaji!” suaranya penuh dengan beban kemarahan. Mudofar tidak tahu, kenapa Pak Wirman ini lebih sering marah daripada senyum. Pak Wirman juga selalu kaku dalam memaknai agamanya.
Tidak seperti Pak Badrudin. Betul-betul berkebalikan dua orang ini. Yang satu begitu menyukai kemarahan, yang satunya lagi begitu santun, begitu menyejukkan. Yang satu seperti matahari. Yang membakar dan penuh gejolak. Yang satu bagai bulan purnama. Menyejukkan dan penuh keindahan.
“Tempat mengaji memang betul, Pak. Sekarang sudah bertambah anak yang mengaji. Tapi kalau mereka ingin bernyanyi, kan tak apa-apa juga Pak,” Mudofar sepertinya tak mau kalau harus menurut begitu saja kata-kata Pak Wirman. Mudofar tak menginginkan agama yang kaku. Mudofar menginginkan agama yang seperti purnama.
Mudofar merindukan Pak Badrudin. Merindukan purnama.