"Clara, aku bingung." Jawabnya. Aku terima, mungkin dia emang gak ngerti.
"Sini, aku kasih tahu." Kataku, dan aku pun menjelaskan tentang tugasnya. Dia mengangguk-angguk. Aku lega, syukrlah dia mengerti. Semoga dia segera menyelesaikannya.
Sebenarnya, bagiku beban dua kali lebih berat ketika tugas dikerjakan secara berkelompok. Kenapa? Bayangkan saja, satu orang menghambat, terkadang semua ikut terbawa getahnya juga. Apalagi, sekarang mungkin memang gitu ya tabiatnya, saling mengandalkan. Mentang-mentang tugasnya sudah selesai, ketika teman yang lain tidak mengerjaknan, yang lainnya tak mau mengganti. Padahal kelompok.
Kadang, pada beberapa kelompok yang lain, mau tak mau aku yang sadar dan mempraktikannya harus bekerja dua kali. Mereka juga sadar, tapi tidak tergugah untuk mempraktikannya. Jadilah aku selalu menyesali, sama saja seperti tugas individu. Kelompok adalah sia-sia, percuma.
Hal lain, apalagi satu kelompok dengan orang yang terdekat membuatku akhirnya banyak memberi toleransi yang justru menghambat kinerja kelompok.
"Aku sakit, Cla."
"Aku baru sampai rumah, Cla."
Aku ini dan itu, semua alasannya kadang tak bisa dibantah. Apalagi dia dekat, perasaan tak enak dan tentu saja untuk menjaga hubungan selalu mengalahkan amarah terbesarku yang paling tak suka dengan orang yang selalu lari dari tanggungjawab.
Tapi seperti yang sudah-sudah, ya aku bisa apa. Selalu tak apa. Aku kerjakan saja sendirian. Lagipula aku juga gak mau mengorbankan nilaiku hanya karena amarahku pada mereka.
Mengesalkannya lagi, mereka bilang "maaf," "makasih," "ga enak jadi ngerepotin." Setelah semua tugas selesai, mereka tahu beres. Andai saja aku kuasa, aku ingin meneriakinya "kalau cuma maaf, makasih, ga enak, semua juga bisa!"
Tapi, aku selalu terbungkam. Mengulum rasa kesalku dengan senyuman dengan alasan menjaga hubungan.