Mohon tunggu...
Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Redaktur Omong-Omong Media

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Si Dinamit Nietzsche: Nabi Persia, Sastra Yunani, Ubermensch, dan Amorfati

1 Januari 2021   15:21 Diperbarui: 2 Januari 2021   12:31 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.deviantart.com/

"Aku bukanlah manusia, aku adalah dinamit." -Friedrich Wilhelm Nietzsche

Sepanjang sejarah "per-filsafat-an", tidak ada satupun filsuf yang se-gila, se-berani, se-ikonik atau se-eksentrik Nietzsche. Tidak ada satupun filsuf yang pernah begitu "frontal" seperti Nietzsche. Sebagai seorang filsuf, ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, mistikus, kritikus budaya, sastrawan, penyair hingga komposer, wawasannya tentang peradaban umat manusia sebenarnya sudah tidak perlu diragukan lagi.

Dengan gaya khas-nya, ia meludahi wajah dunia yang sangat bergantung pada uang, negara, politik, agama, dan sains. Sebagai seorang manusia, Nietzsche seperti manusia yang "kesurupan tanda tanya".

Sejak belia, ia mempertanyakan semua yang pernah diajarkan kepadanya, dan sesuatu yang diajarkan kepada semua orang. Si Dinamit lahir dan besar di keluarga yang "agamis". Bahkan, ayahnya adalah seorang pendeta taat, tetapi dengan "gagah-nya" Nietzsche muda menyatakan bahwa "Tuhan telah mati, dan kita telah membunuhnya."

Nietzsche juga pernah berujar bahwasanya agama itu Dogmatis, Eskapis dan Narsis. Menurutnya, Agama itu seperti melihat ke cermin dan berkata bahwa "agama saya baik, agama saya benar, agama lain jahat dan salah". Dalam sudut pandang yang lebih luas, ini tentu berbahaya, ketika kepercayaan akan eksistensi dan identitas diri tidak ditunjang dengan toleransi dan empati.

Dengan kata lain, ini sama dengan Oposisi Biner Modernitas: "Jika tidak satu, sudah pasti nol. Jika saya benar, maka yang di luar saya pasti salah. Jika saya baik, maka yang lain pasti jahat." Dan sialnya, hal ini justru yang menjadi kecenderungan dari beberapa agama yang masih lekat dengan "Puritanisme (kerohanian kaku)".

Menurut Nietzsche, alasan orang tetap meyakini Tuhan atau kebenaran adalah kegamangan (ketakutan) mereka dalam menghadapi realitas, yang memiliki satu inti yaitu "penipuan diri". Akan lebih baik jika kita menghadapi, dan benar-benar menghayati, sifat kefanaan eksistensi dan ketidakbermaknaan hidup yang nyata.

Sederhananya, Nietzsche hanya menyerukan agar manusia berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan ketaatan atau segala bentuk dogma. Oleh karena itu, Nietzsche tidak hanya menyerang ketaatan pada agama, tapi juga keyakinan pada nilai-nilai atau kebenaran objektif.

"Hanya ada dua tipe manusia di dunia ini. Mereka yang ingin tahu, dan mereka yang ingin percaya."
-Friedrich Wilhelm Nietzsche

Dalam kutipan di atas, kita dapat "sedikit" memahami alur pemikiran Nietzsche yang bercabang-cabang. Bila ditilik lebih dalam, sejatinya, Nietzsche membenci arus pemikiran yang "mainstream", sebab ia sudah terbiasa untuk menyelami hakikat keingintahuan dan keyakinan itu sendiri. Lebih lanjut, dalam beberapa literatur Nietzsche juga terkenal membenci kepercayaan yang mutlak dan absolut.

Dengan kata lain, ia membenci Ide Fixe (keyakinan bahwa seseorang menolak untuk berubah pikiran meskipun itu mungkin salah). Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan "kematian tafsir" yang merupakan konsekuensi logis dari pemutlakan sebuah konsep kebenaran. Ketika sesuatu di Ide Fixe, maka ia akan mati pada selubung tertentu. Tidak ada daya-daya tafsir baru, diam dan statis.

Dengan Ide Fixe, Tuhan Yang Maha Agung akan "terkubur" dalam konsepsi manusia yang "kerdil". Bahkan menimbulkan hipotesa liar bahwa Tuhan, seakan-akan dipaksakan kedalam isi kepala manusia. Serta telah "final", sehingga kehendak akan kebenaran telah menjadi hal yang mematikan.

Nietzsche pun melancarkan kritik pedas pada Ide Fixe dalam bukunya, The Gay Science (Sains Yang Mengasyikkan):

"Masih diceritakan lagi, bahwa pada hari yang sama si orang sinting itu masuk ke dalam rumah ibadah yang berbeda-beda, di mana dia mulai menyanyi-nyanyikan lagu Requiem Aeternam Deo (istirahat kekal bagi Tuhan). Ketika dilemparkan keluar dan harus menjelaskan tanpa henti-hentinya dia mulai lagi, rumah ibadah itu apa? Kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan."

Namun Nietzsche tidak hanya mengkritik kaum agamawan, ia juga tidak segan melakukan kritik terhadap "Ateisme". Pada akar esensinya, Ateisme sendiri adalah cerminan dari "Aufklarung" yang terlalu yakin pada "Sains". Dan pada kenyataannya, Sainstisme telah menjadi kepercayaan mutlak dan nyaris menjadi "agama baru".

Model berfikir Ide Fixe, sebenarnya sudah tercermin pada Abad Modern yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi. Hingga menganggap, bahwa kemajuan ini dapat membawa suatu pencerahan dan menjadi medan tunggal dalam memahami realitas.

Artinya, satu, absolut, dan tidak dapat digoyahkan. Kelak seorang filsuf bernama Jacques Derrida menyebut budaya Barat itu sebagai "Logosentrisme", yang terjebak pada oposisi biner (benar-salah, baik-buruk, dan lain sebagainya), sehingga yang satu akan mengalahkan yang lain.

Pada konteks kemajuan Barat itulah, entah sengaja atau tidak Nietzsche justru menubuatkan kedatangan "Nihilisme". Pendek kata, Nihilisme menjadi suatu aliran filsafat yang menandai awal dari krisis kebudayaan yang tidak terelakkan, di mana nilai-nilai tertinggi kehilangan maknanya, serta menyebabkan tidak ada lagi-nya tujuan.

"Dia yang tidak bisa menuruti dirinya sendiri akan diperbudak."
-Friedrich Wilhelm Nietzsche

Pada hakikatnya, secara pribadi, Nietzsche berpendapat bahwa di balik setiap keyakinan apapun itu, pasti ada tujuan. Sehingga Nietzsche memilih untuk tetap skeptis terhadap kepercayaan yang dianut luas, karena pada dasarnya tidak mempercayai tujuan mereka. Mungkin, oleh karena itu Nietzsche menyebut dirinya sendiri sebagai "dinamit", dan dia yang akan menghancurkan kepercayaan itu menjadi berkeping-keping.

Nietzsche memang lahir dan ditakdirkan untuk melampaui manusia beserta segala zamannya yang "semu". Sebenarnya, dia pun sudah menjadi sangat kontroversial dengan pernyataan, "Tuhan telah mati" atau "God is Tott" yang telah menggoncang dogma-dogma, dan kebenaran yang telah dianggap "mapan" maupun mutlak. Tidak berlebihan memang, jika Nietzsche menyebut dirinya sendiri sebagai "Si Dinamit".

"Manusia adalah makhluk yang harus dikuasai, lalu apa yang sudah dirimu lakukan untuk menguasainya?"
-Friedrich Wilhelm Nietzsche

Nabi Persia

Berbicara tentang Si Dinamit, tentu berbicara perihal "Magnum Opus-nya", yaitu Thus Spoke Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra) yang berisi ungkapan terkenal "Tuhan telah mati", meskipun ungkapan itu sebelumnya pernah muncul dalam The Gay Science (Sains Yang Mengasyikkan).

Secara objektif, Thus Spoke Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra) adalah buku yang brilian dan jenius. Pengaruhnya pun sangat besar terhadap para penulis abad ke-20, seperti Franz Kafka, Bernard Shaw, Jean-Paul Sartre, hingga Albert Camus.

Namun, pertanyaannya adalah mengapa Zarathustra? Mengapa Nietzsche memilih Nabi Zoroastrianisme dari Persia? Seberapa penting sosok Zarathustra dalam hidup Nietzsche?

Untuk menjawab ini, mungkin kita harus membaca langsung dari otobiografi Nietzsche sendiri, "Ecce Homo". Tepatnya, kutipan dari bab "Why I am a Fatality": 

"Orang-orang tidak pernah bertanya kepada saya sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan, apa sebenarnya arti nama Zarathustra di mulut saya, di mulut orang pertama yang tidak bermoral; karena yang membedakan orang Persia ini dari semua orang lain di masa lalu adalah kenyataan bahwa dia adalah kebalikan dari seorang yang tidak bermoral. Zarathustra adalah orang pertama yang melihat dalam pergulatan antara yang baik dan yang jahat, roda penting dalam mengerjakan sesuatu. Terjemahan moralitas ke dalam dunia metafisika, sebagai kekuatan, sebab, tujuan itu sendiri, adalah karyanya. Tetapi pertanyaan itu sendiri menunjukkan jawabannya sendiri. Zarathustra menciptakan kesalahan yang paling besar dari semua kesalahan ini, ---moralitas; oleh karena itu dia harus menjadi orang pertama yang mengeksposnya. Bukan hanya karena dia memiliki pengalaman yang lebih lama dan lebih besar tentang subjek daripada pemikir lainnya, ---semua sejarah memang merupakan sanggahan eksperimental dari teori yang disebut tatanan moral, ---tetapi karena fakta yang lebih penting bahwa Zarathustra adalah pemikir yang paling jujur. Dalam ajarannya sendiri kejujuran dijunjung sebagai kebajikan tertinggi --- artinya, kebalikan dari kepengecutan dari "idealis" yang mengambil langkahnya saat melihat realitas. Zarathustra memiliki lebih banyak kekuatan di tubuhnya daripada yang disatukan oleh semua pemikir lainnya. Mengatakan kebenaran dan bertujuan lurus: itulah kebajikan Persia yang pertama. Sudahkah saya menjelaskan diri saya? Mengatasi moralitas dengan sendirinya, melalui kejujuran, moralis mengatasi dirinya sendiri dalam kebalikannya --- dalam diriku --- itulah arti nama Zarathustra di mulutku."

"Kita harus memilih nilai-nilai kita sendiri."
-Friedrich Wilhelm Nietzsche

Sastra Yunani

Sebagai seorang filsuf, Nietzsche terbiasa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan filosofisnya dengan "wajah sastra". Dan sebagai filolog, kritikus budaya, penyair sekaligus sastrawan ia melihat Yunani yang begitu masyhur dengan sastra, khususnya "Sastra Tragedi". Hal ini juga, yang menginspirasinya untuk membagi dua arus utama Sastra Yunani. Menjadi dua kutub besar, yaitu Apollo dan Dionysius.

Secara filosofis, Apollo melambangkan cahaya, utopia, keteraturan, kesadaran, kegembiraan dan rasionalitas. Sedangkan Dionysius mewakili dunia gelap, distopia, atau alam bawah sadar yang gelap, remang remang, mabuk, kesedihan, bahkan kesurupan. Pendek kata, Apollo merefleksikan ilmu pengetahuan dan Dionysius mewakili musik dan gairah.

Seperti kata Nietzsche, "Tanpa musik dunia adalah sebuah kesalahan".

Nietzsche mamandang bahwa elegi patah hati, nada-nada minor, narasi melankoli, nampaknya memberi "orkestra" bagi kesedihan yang dialami banyak orang. Energinya tidak sekedar mendayu-dayu, tetapi membuat kita dapat meresapi kesedihan dengan kedalaman makna.

Sehingga, pada akhirnya, kesedihan tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang membebani, diratapi atau dikutuk dan dihindari. Akan tetapi, harus kita harus kita hadapi, syukuri resapi dan nikmati. Nietzsche menilai, alangkah besar maknanya apabila kita dapat membayangkan, bersahabat dan menikmati kesedihan dengan "keberanian".

Ubermensch

Mungkin, itulah kenapa seorang Ubermensch atau Superman (manusia unggul) pernah digaungkan oleh Nietzsche, harus Amor (mencintai) kedatangan Fati (takdir) meskipun terkadang Brutum (brutal). Sebab Nietzsche memandang bahwa realitas adalah sebuah kekacauan, serba tanpa bentuk, berantakan, kontradiktif, campur aduk, atau "kaotis".

Nietzsche menginginkan manusia untuk bertumbuh, menjangkau keluar, menarik diri keluar, dan menuju ke atas. Namun bukan keluar dari moralitas atau amoralitas, namun karena kita hidup, dan hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Oleh sebab itu, manusia haruslah bersikap jujur terhadap dirinya, dan selalu bersikap inovatif.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, nampaknya sudah menjadi kebiasaan masyarakat awam untuk menilai Nietzsche secara serampangan (sembarangan). Entah sebagai pelopor ideologi-ideologi irasional tentang kekuasaan, atau fitnah kepadanya yang secara tidak langsung melahirkan Fasisme dan Nazisme, khusunya di Jerman.

Menyoal perihal itu, faktanya, terdapat banyak sekali aspek dalam filsafat Nietzsche yang jelas tidak sejalan dengan Nazisme. Sehingga, seharusnya, ia tidak dianggap bertanggungjawab atas semua kebencian, dosa dan darah yang ditumpahkan oleh Nazisme di seluruh dunia.

Saya, sebagai seorang Nietzschean (sebutan pengikut Nietzsche) yakin bahwa yang ia cita-citakan, yakni Ubermensch, atau yang lazim diterjemahkan sebagai "Superman" atau "Manusia Unggul", lebih menyerupai seorang manusia ultra-kreatif atau pendobrak tatanan spiritual daripada seorang pengagas imperium atau seorang Fuhrer (pemimpin yang diktator).

Sederhananya, Ubermensch adalah manusia yang mencintai kehidupan secara paripurna (utuh). Sebab, Nietzsche melihat manusia adalah makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, dan memiliki cita-cita tinggi untuk menjadi super (lebih dan lebih).

Pendek kata, Ubermensch adalah cara paling filosofis untuk memberikan nilai pada diri sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai melalui Ubermensch.

Lebih lanjut, Ubermensch adalah manusia yang yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai tingkatan Ubermensch adalah manusia yang selalu menerjang gelapnya realitas bahkan takdir, dan Ubermensch tidak mungkin dicapai bila tanpa "Amorfati Fatum Brutum".

Amorfati

"Hidupi! Hidupmu!"

Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil, atas representasi terhadap Amorfati. Karena pada dasarnya, hidup memang hanya sekali dan tentunya kita tidak dapat merevisi apa yang telah kita perbuat, di masa silam. Perspektif seperti itulah Amorfati, semacam afirmasi tak-bersyarat di hadapan realitas. Dengan demikian, kita dituntut untuk tidak mengutuki realitas. Seharusnya, kita harus berlapang dada dalam menghadapi realitas yang kacau.

Dalam benak saya, Amorfati Fatum Brutum datang sebagai falsafah atau sekaligus menjadi narasi utama, dalam menjalani hidup yang fana. Saya rasa, hanya itu satu-satunya cara yang paling nyata, untuk bisa mencapai akhir hidup yang baik, kapan-pun kematian itu datang.

Kita seharusnya mengakui tanpa munafik bahwa saya, kamu dia juga mereka pasti menanam harapan. Dengan kata lain, kita semua berinvestasi di masa depan, dan kita sebagai investor terlalu sering membiarkan emosi temporer memperbudak kita.

Tapi Nietzsche adalah anomali (pengecualian), karena dia melepaskan dirinya dari investasi masa depan. Namun pada hakikatnya, Nietzsche hanyalah manusia biasa yang memiliki visi berbeda dari kebanyakan manusia. Perbedaannya, mungkin juga dari keberaniannya untuk mengartikulasikan realitas dengan indah dalam ledakan-ledakan aforisme-nya (aporisma).

Namun hidup adalah pilihan, menjadi manusia biasa atau seorang Nietzschean. Menjadi seorang Nietzschean berarti berjalan melawan kawanan, dan keluar sendirian di hutan belantara. Menjadi Nietzschean adalah perihal menjadi manusia yang jujur, sebagaimana Zarathustra, meskipun akan dicap gila atau berbahaya. Atau menjadi seperti "leluhur filsafat", yaitu Socrates yang berani untuk mempertahankan idealismenya, meskipun akhirnya dieksekusi karena mempertanyakan doktrin kepercayaan di Athena kuno.

Sekali lagi, Nietzsche adalah manusia soliter yang paling sejati, dan sudah melebur dalam kesendirian. Satu-satunya cinta dalam hidupnya, yaitu Lou Salome, bahkan meninggalkannya. Nietzsche pun rela menjadi terasing dari keluarga dan teman-temannya, untuk mempertahankan keyakinannya.

Mungkin pada kenyataannya, kesepian dapat menghancurkan banyak orang, namun Nietzsche menghadapi kesepian melalui pilihannya. Dia menuruti dirinya sendiri. Dan pengasingannya dari kaum yang senang bergerombol, justru memberinya kesadaran lebih untuk melihat dunia.

Terlepas dari ke-sinis-an Nietzsche yang mengatakan bahwa, "Tuhan telah mati". Kita agaknya harus mengakui fakta bahwa Si Dinamit tidak memaksudkannya secara "literal". Nietzsche hanya bermaksud meluapkan kemuakkannya pada manusia yang sudah begitu korup, buas, dan bodoh hingga membunuh Tuhan dalam diri mereka sendiri.

Atau mungkin, dalam kontemplasinya Nietzsche memang melihat Tuhan yang sedang dikubur, karena gugur dalam pertarungan melawan keganasan manusia. Mungkin juga, sekali lagi, Nietzsche ingin mengatakan bahwa "Tuhan telah mati dalam sanubari manusia, dan kita semua pembunuhnya".

Lagipula, Tuhan dalam angan kita, atau Tuhan yang sesungguhnya, memang tak mampu kita kalkulasikan secara logika sempit manusia. Tidak nyata kekuatannya, tampak bagai gelombang laut, yang menghempas bibir pantai. Atau sebuah tamparan pada pipi, atau seperti listrik yang menyalakan lampu, atau mungkin seperti uang yang dapat membeli segenggam permen manis.

Kegaiban atau kemistisan itu pula yang membuat banyak dari kita menjadi ragu dan memilih untuk menjadi "Ateis" atau "Agnostik". Namun saya percaya, bahwa Tuhan dapat kita buktikan dan rasakan dengan hati nurani. Mencari Tuhan menggunakan akal, logika, rasionalitas adalah seumpama mencari sinyal Wi-Fi dengan ponsel yang tidak memiliki spesifikasi untuk menangkap sinyal Wi-Fi.

Terakhir, di antara label amoral, ateis, agnostik, gila, atau apapun itu yang mereka sematkan pada Nietzsche, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Nietzsche adalah salah satu filsuf paling religius yang pernah ada.

"Tidak ada fakta, hanya interpretasi"
-Friedrich Wilhelm Nietzsche

Akhir kata, sekian dan semoga semua makhluk berbahagia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun