Dengan kata lain, ia membenci Ide Fixe (keyakinan bahwa seseorang menolak untuk berubah pikiran meskipun itu mungkin salah). Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan "kematian tafsir" yang merupakan konsekuensi logis dari pemutlakan sebuah konsep kebenaran. Ketika sesuatu di Ide Fixe, maka ia akan mati pada selubung tertentu. Tidak ada daya-daya tafsir baru, diam dan statis.
Dengan Ide Fixe, Tuhan Yang Maha Agung akan "terkubur" dalam konsepsi manusia yang "kerdil". Bahkan menimbulkan hipotesa liar bahwa Tuhan, seakan-akan dipaksakan kedalam isi kepala manusia. Serta telah "final", sehingga kehendak akan kebenaran telah menjadi hal yang mematikan.
Nietzsche pun melancarkan kritik pedas pada Ide Fixe dalam bukunya, The Gay Science (Sains Yang Mengasyikkan):
"Masih diceritakan lagi, bahwa pada hari yang sama si orang sinting itu masuk ke dalam rumah ibadah yang berbeda-beda, di mana dia mulai menyanyi-nyanyikan lagu Requiem Aeternam Deo (istirahat kekal bagi Tuhan). Ketika dilemparkan keluar dan harus menjelaskan tanpa henti-hentinya dia mulai lagi, rumah ibadah itu apa? Kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan."
Namun Nietzsche tidak hanya mengkritik kaum agamawan, ia juga tidak segan melakukan kritik terhadap "Ateisme". Pada akar esensinya, Ateisme sendiri adalah cerminan dari "Aufklarung" yang terlalu yakin pada "Sains". Dan pada kenyataannya, Sainstisme telah menjadi kepercayaan mutlak dan nyaris menjadi "agama baru".
Model berfikir Ide Fixe, sebenarnya sudah tercermin pada Abad Modern yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi. Hingga menganggap, bahwa kemajuan ini dapat membawa suatu pencerahan dan menjadi medan tunggal dalam memahami realitas.
Artinya, satu, absolut, dan tidak dapat digoyahkan. Kelak seorang filsuf bernama Jacques Derrida menyebut budaya Barat itu sebagai "Logosentrisme", yang terjebak pada oposisi biner (benar-salah, baik-buruk, dan lain sebagainya), sehingga yang satu akan mengalahkan yang lain.
Pada konteks kemajuan Barat itulah, entah sengaja atau tidak Nietzsche justru menubuatkan kedatangan "Nihilisme". Pendek kata, Nihilisme menjadi suatu aliran filsafat yang menandai awal dari krisis kebudayaan yang tidak terelakkan, di mana nilai-nilai tertinggi kehilangan maknanya, serta menyebabkan tidak ada lagi-nya tujuan.
"Dia yang tidak bisa menuruti dirinya sendiri akan diperbudak."
-Friedrich Wilhelm Nietzsche
Pada hakikatnya, secara pribadi, Nietzsche berpendapat bahwa di balik setiap keyakinan apapun itu, pasti ada tujuan. Sehingga Nietzsche memilih untuk tetap skeptis terhadap kepercayaan yang dianut luas, karena pada dasarnya tidak mempercayai tujuan mereka. Mungkin, oleh karena itu Nietzsche menyebut dirinya sendiri sebagai "dinamit", dan dia yang akan menghancurkan kepercayaan itu menjadi berkeping-keping.
Nietzsche memang lahir dan ditakdirkan untuk melampaui manusia beserta segala zamannya yang "semu". Sebenarnya, dia pun sudah menjadi sangat kontroversial dengan pernyataan, "Tuhan telah mati" atau "God is Tott" yang telah menggoncang dogma-dogma, dan kebenaran yang telah dianggap "mapan" maupun mutlak. Tidak berlebihan memang, jika Nietzsche menyebut dirinya sendiri sebagai "Si Dinamit".