Lebih lanjut, Ubermensch adalah manusia yang yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai tingkatan Ubermensch adalah manusia yang selalu menerjang gelapnya realitas bahkan takdir, dan Ubermensch tidak mungkin dicapai bila tanpa "Amorfati Fatum Brutum".
Amorfati
"Hidupi! Hidupmu!"
Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil, atas representasi terhadap Amorfati. Karena pada dasarnya, hidup memang hanya sekali dan tentunya kita tidak dapat merevisi apa yang telah kita perbuat, di masa silam. Perspektif seperti itulah Amorfati, semacam afirmasi tak-bersyarat di hadapan realitas. Dengan demikian, kita dituntut untuk tidak mengutuki realitas. Seharusnya, kita harus berlapang dada dalam menghadapi realitas yang kacau.
Dalam benak saya, Amorfati Fatum Brutum datang sebagai falsafah atau sekaligus menjadi narasi utama, dalam menjalani hidup yang fana. Saya rasa, hanya itu satu-satunya cara yang paling nyata, untuk bisa mencapai akhir hidup yang baik, kapan-pun kematian itu datang.
Kita seharusnya mengakui tanpa munafik bahwa saya, kamu dia juga mereka pasti menanam harapan. Dengan kata lain, kita semua berinvestasi di masa depan, dan kita sebagai investor terlalu sering membiarkan emosi temporer memperbudak kita.
Tapi Nietzsche adalah anomali (pengecualian), karena dia melepaskan dirinya dari investasi masa depan. Namun pada hakikatnya, Nietzsche hanyalah manusia biasa yang memiliki visi berbeda dari kebanyakan manusia. Perbedaannya, mungkin juga dari keberaniannya untuk mengartikulasikan realitas dengan indah dalam ledakan-ledakan aforisme-nya (aporisma).
Namun hidup adalah pilihan, menjadi manusia biasa atau seorang Nietzschean. Menjadi seorang Nietzschean berarti berjalan melawan kawanan, dan keluar sendirian di hutan belantara. Menjadi Nietzschean adalah perihal menjadi manusia yang jujur, sebagaimana Zarathustra, meskipun akan dicap gila atau berbahaya. Atau menjadi seperti "leluhur filsafat", yaitu Socrates yang berani untuk mempertahankan idealismenya, meskipun akhirnya dieksekusi karena mempertanyakan doktrin kepercayaan di Athena kuno.
Sekali lagi, Nietzsche adalah manusia soliter yang paling sejati, dan sudah melebur dalam kesendirian. Satu-satunya cinta dalam hidupnya, yaitu Lou Salome, bahkan meninggalkannya. Nietzsche pun rela menjadi terasing dari keluarga dan teman-temannya, untuk mempertahankan keyakinannya.
Mungkin pada kenyataannya, kesepian dapat menghancurkan banyak orang, namun Nietzsche menghadapi kesepian melalui pilihannya. Dia menuruti dirinya sendiri. Dan pengasingannya dari kaum yang senang bergerombol, justru memberinya kesadaran lebih untuk melihat dunia.
Terlepas dari ke-sinis-an Nietzsche yang mengatakan bahwa, "Tuhan telah mati". Kita agaknya harus mengakui fakta bahwa Si Dinamit tidak memaksudkannya secara "literal". Nietzsche hanya bermaksud meluapkan kemuakkannya pada manusia yang sudah begitu korup, buas, dan bodoh hingga membunuh Tuhan dalam diri mereka sendiri.