Ada kabar duka dari pasangan politisi dan jurnalis senior yang baru-baru ini putrinya dikabarkan wafat, padahal masih muda (belum 30 tahun), masih single, dan kegiatan sehari-harinya belajar secara online.
Seperti yang disampaikan pasangan itu, putri mereka wafat karena jantungnya terganggu. Lebih lanjut juga dikabarkan bahwa putri mereka ini sedang stres berat yang berkaitan dengan kegiatan belajar dan melamar kerja. Putri mereka ini disebut pernah berkonsultasi dengan ahli dan mendapat terapi obat anti depresi.
Tentu kabar duka ini menarik perhatian banyak orang, terutama yang peduli dengan topik kesehatan. Bagaimana penjelasan sains mengenai hubungan antara stres dan kesehatan, sehingga bisa mengganggu kerja jantung hingga berakhir fatal?
Tentu saja kita menunggu penjelasan para ahli mengenai itu, dan semoga kita bisa mengambil pelajaran yang penting.
==O==
Peristiwa yang saya sampaikan tadi hanya sebuah ilustrasi untuk membuka pembahasan tentang stres yang bisa dialami semua orang dengan tingkat usia yang berbeda, sejak masih ABG hingga menjelang dewasa (yaitu di bawah 25 tahun), masa dewasa, hingga usia lanjut.
Ini ada kutipan bagus dari Harvard tentang stres yang bisa mempengaruhi kesehatan secara umum. (Sumber)
Over time, repeated activation of the stress response takes a toll on the body. Research suggests that chronic stress contributes to high blood pressure, promotes the formation of artery-clogging deposits, and causes brain changes that may contribute to anxiety, depression, and addiction.. More preliminary research suggests that chronic stress may also contribute to obesity, both through direct mechanisms (causing people to eat more) or indirectly (decreasing sleep and exercise).
Jika Anda baca seluruh artikel itu, disebutkan, bahwa antara lain stres menyebabkan banyak gangguan di organ vital sehingga bisa mengakibatkan kondisi kesehatan yang kritis, hingga kematian mendadak meski masih berusia muda. Kondisi kritis itu juga termasuk kesehatan mental.
Beberapa Angka Seputar Stres
Ya! Lagi-lagi saya menulis soal stres, padahal orang-orang sudah tahu bahwa stres itu buruk, stres itu harus dihindari, stres itu harus diturunkan, dan lain-lain.
Apa betul kita sudah tahu apa itu stres? Berikut ini adalah daftar fakta seputar stres yang kebanyakan orang kurang tahu.
Selain pandemi yang memicu stres, kita tahu peradaban manusia sekarang sedang memasuki babak baru, yaitu babak technological disruption. Ini juga tentu saja memicu stres baru.
Ya, perkembangan teknologi semakin cepat atau pesat sekali. Satu teknologi memicu berkembangnya teknologi lainnya. Begitu seterusnya. Kabar buruknya adalah: sudah ada risetnya mengenai ini, bahwa itu memicu stres.
Jika kita rajin mengikuti perkembangan teknologi di dunia, sekarang sudah diciptakan satu mesin (sebut saja begitu) yang disebut GPT-3 yang bisa diaplikasikan untuk hampir semua pekerjaan yang biasa dilakukan manusia, dari menjawab pertanyaan yang biasanya diajukan ke dokter, menulis copy writing hingga menulis karya fiksi, termasuk menulis puisi. Bahkan juga menyusun website yang lengkap dengan gambar dan isinya berupa berbagai artikel yang ditulis oleh GPT-3 sendiri.
Kemampuan GPT-3 yang disebut mendekati kecerdasan manusia ini menggunakan unsur Artificial Intelligence di dalamnya. GPT-3 bisa menulis surat kontrak atau surat kesepakatan hukum berdasar hukum yang berlaku di satu wilayah hukum. Padahal itu biasanya dikerjakan oleh mereka yang sudah belajar hukum bertahun-tahun. Yang membuat bergidik adalah GPT-3 mampu menulis coding untuk menyempurnakan GPT selanjutnya yang lebih advanced. GPT-3 adalah model terakhir dari beberapa model GPT sebelumnya (yang dicapai hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 dekade saja). Dan GPT-4 dikabarkan akan segera diluncurkan.
Itu sebabnya technological disruption ini sudah sering disebut oleh banyak pemikir atau filsuf dunia sebagai sesuatu yang bisa  menghasilkan tingkat stres yang mengkuatirkan, karena menjadi sebuah persoalan global.
Bagaimana tidak? Technological disruption sudah menghilangkan beberapa bidang pekerjaaan dan masih akan terus menghilangkan bidang pekerjaan yang lainnya. Apa yang kita pelajari selama ini di sekolah dan di universitas tiba-tiba tidak relevan dengan perubahan yang terjadi dan tidak relevan untuk masa depan yang dekat. Kita harus terus selalu bersiap menghadapi misalnya bidang pekerjaan/profesi baru yang tidak kita ketahui sebelumnya.
Pasti stres, bukan?
Pemicu Stres
Lebih dalam mengenai pemicu stres bisa dilihat di video lain atau tulisan lain dari Komunitas Membangun Positivity (klik di sini).
Di video lain itu dibahas beberapa hal penting seperti di bawah ini (ada 2 pemicu stres yang utama dan sebaiknya kita tahu cara menanganinya):
1. Berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita atau yang terjadi pada kita. Kadang peristiwa ini berskala ringan saja, atau berskala besar atau berat, seperti mendadak kita mengalami kecelakaan, menderita sakit, ada bencana alam, kehilangan orang yang dicintai atau tempat bergantung, dan lain-lain.
2. Pikiran sendiri, karena adanya kecenderungan pikiran untuk melakukan mind-wandering yang menambah tingkat stres.
Dua pemicu stres itu tidak akan saya bahas secara mendalam, karena sangat panjang. Jadi lihat saja tulisan atau video lain yang sudah dibuat Komunitas Membangun Positivity (klik link di atas).
Perubahan Negatif yang Terjadi karena Stres
Riset menunjukkan sebagian besar orang tidak tahu definisi stres menurut sains. Banyak juga yang tidak tahu bahwa stres memicu keluarnya hormon cortisol, yaitu hormon stres yang tidak boleh terpicu keluar terlalu banyak, terlalu lama atau terlalu sering, karena hormon cortisol ini memicu banyak perubahan di tubuh kita, terutama perubahan negatif.
Jika Anda buka link yang saya berikan tadi di awal tulisan ini, maka akan Anda baca hasil riset dari Harvard yang menunjukkan bahwa stres mengakibatkan inflammation yang memicu kondisi kesehatan yang serius seperti penyumbatan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, gangguan jantung, stroke, kanker, diabetes, gangguan di ginjal, dan lain-lain.
Bahkan ini ada link yang memuat daftar yang cukup rinci tentang apa yang biasanya tidak ketahui seputar stres (klik di sini):
Stres Memendekkan Usia, Artinya Menghancurkan Kesehatan Tubuh
Stres  membuat immune system menurun. Padahal kita tahu immune system yang paling kita butuhkan saat di situasi krisis, seperti pandemi yang sekarang masih berlangsung ini. Sehingga pengetahuan yang cukup tentang apa itu stres bisa membuat kita mampu menurunkan tingkat stres.
Pembahasan yang lebih mendalam tentang stres sebenarnya sudah ada di beberapa tulisan dan video yang saya buat. Silakan cek di Komunitas Membangun Positivity. Ini beberapa point penting dari stres:
Telomeres adalah bagian ujung dari chromosome seperti terlihat di gambar.
Telomeres ini disebut oleh para ahli menjadi indikator kesehatan dan indikator usia kita. Stres menyebabkan telomeres memendek. Itu artinya kita mudah sakit, dan risiko terkena kanker menjadi lebih besar. Elizabeth Blackburn meraih Nobel Prize untuk apa yang ditemukannya soal kaitan antara stres dengan telomeres atau kesehatan (lihat di sini referensi mengenai itu).
Jika mau lebih dalam lagi bisa baca artikel ilmiah yang amat panjang (klik di sini).
Stres Merusak Mental atau Mempengaruhi Perilaku
Prefrontal cortex (PFC) berfungsi untuk executive function atau aktivitas berpikir. PFC yang membedakan manusia dengan hewan. Namun pada saat stres terjadi, interaksi PFC ini menurun dengan beberapa bagian lain dari otak. PFC menjadi tumpul.
Siapa sih yang tidak ingin cerdas setiap saat? Siapa yang tidak ingin kemampuan memberi solusinya terhambat, karena fungsi otak saat stres didominasi oleh kerja amygdala (PFC menurun fungsinya).
Tidak hanya menurunkan fungsi PFC, tetapi stres juga menurunkan kecenderungan kita pada kebajikan. Kita menjadi enggan memberi bantuan pada yang membutuhkan. Kita cenderung tidak peduli pada situasi di luar diri kita. Sebaliknya malah cenderung pada kebencian, atau cenderung pada agresi pada orang lain, hingga cenderung pada kekerasan.
Itu memang terjadi pada saat kita stres saja. Namun jika stres sering terjadi, maka menurunnya kecenderungan pada kebajikan ini menjadi menetap atau permanen. Tentu saja kita tidak menginginkan ini, karena itu artinya kita bukan orang dengan kepribadian yang baik turun kualitas atau kapasitas kita sebagai manusia.
==o==
Menurut WHO di situs resminya: Setiap 1 dollar yang dibelanjakan pemerintah untuk menangani stres & depresi di masyarakat, akan menghasilkan 4 dollar, karena kesehatan dan produktivitas masyarakat meningkat.
Lihat itu! WHO sudah mewanti-wanti sebenarnya, agar pemerintah di manapun agar memberi perhatian pada stres, karena jika kesehatan mental atau stres diperbaiki, maka pemerintah juga yang untung (tentu masyarakat juga).
Di bagian awal tulisan ini saya tadi juga sudah menyinggung apa yang sudah disampaikan oleh para saintis di seluruh dunia, bahwa pandemi memang sangat panjang sekali. Artinya physical distancing, pakai masker, ikut vaksinasi, atau mematuhi protokol kesehatan akan terus diberlakukan. Tentu dengan tingkat atau format yang berbeda-beda.
Namun sayangnya ada yang nampak dengan jelas dilupakan, yaitu mengedukasi masyarakat agar menjaga immune systemnya. Ada banyak cara tentunya, namun ada yang paling baru, yaitu yang ditemukan oleh sains sepanjang 3 dekade terakhir.
Komunitas Membangun Positivity sudah sering menyampaikan soal itu.
Cara Baru Menurunkan Tingkat Stres
Jadi apa cara sains yang mutakhir dalam menurunkan tingkat stres?
Saya kira saya perlu menyampaikan ilustrasi singkat berikut ini untuk menggambarkan bahwa stres itu buruk dan kita harus memiliki sains untuk menghadapinya.
Begini ilustrasinya. Tentu kita pernah merasakan sebuah situasi yang membuat kita putus asa atau kita melihat ada orang yang sedang putus asa pada satu atau beberapa hal, misalnya pada prestasinya di sekolah, prestasinya di tempat kerja, hubungannya dengan orang lain atau pasangannya. Kok, prestasinya jelek atau tidak bisa meningkat, padahal rasanya sudah berusaha dengan keras. Kok rasanya tak ada bantuan dari siapapun, dan lain-lain.
Rasanya Seperti Mau Mati, kata beberapa orang yang sedang putus asa itu.
Situasi putus asa ini juga terjadi pada orang yang sedang mencari kerja, atau orang yang penghasilannya pas-pasan dan sulit meningkatkannya. Atau juga putus asa melihat hubungannya dengan orang lain yang dirasakan lebih banyak ruginya. Contoh putus asa ini tentu ada banyak sekali yang semuanya menggambarkan situasi yang menekan dan sekaligus tidak bisa melihat adanya jalan keluar yang terang.
Penjelasan sederhananya begini: Saat kita kebanjiran hormon cortisol (yang disebabkan oleh stres), karena dipicu oleh berbagai hal, maka fungsi PFC pun menurun (karena interaksinya menurun dengan beberapa bagian otak yang lain). Padahal di PFC ini kecerdasan berada (executive function). Kemampuan menemukan solusi, kreativitas, inovasi, bahkan juga soal moral ada di sini. Karena kemampuan executive function itu menurun, maka kemampuan kita melihat jalan keluar menjadi menurun. Semua menjadi buntu, yang akhirnya hanya memunculkan rasa bingung, cemas, marah, atau putus asa, yang kadang diwakili dengan kata-kata "rasanya seperti mau mati" atau "semuanya brengsek". Tidak hanya itu mereka yang putus asa ini juga terlihat menjadi mudah untuk memiliki pandangan negatif pada orang lain, atau menjadi mudah tersinggung, agresif, atau mudah membenci tanpa alasan.
Bahkan kondisi itu ternyata juga merusak kesehatan sebagaimana sudah disebut sebelumnya tadi.
Di masa dahulu, kondisi yang seperti itu tentu seringkali dipercaya bisa diperbaiki dengan perubahan mindset yang sering diajarkan oleh agama atau oleh para motivator.
Misalnya dengan ucapan-ucapan seperti ini: Tuhan memberikan cobaan agar kita bisa memiliki derajat yang lebih baik. Atau ini: roda kehidupan berputar, kadang di bawah, kadang di atas. Atau ini juga: What doesn't kill you, make you stronger. Juga ini: Orang sabar disayang Tuhan. Dan lain-lain.
Namun sains memiliki cara lain. Cara ini boleh saja disebut alternatif, meski sebenarnya jauh lebih efektif memberikan hasil, karena berdasar pada riset sains.
Begini cara yang ditawarkan sains: karena penyebab rasa putus asa itu ada di otak atau lebih spesifik adalah bagian PFC yang menjadi tumpul yang disebabkan oleh stres, maka kita harus turunkan tingkat stres agar PFC kembali berfungsi normal lagi atau malah berfungsi maksimal.
Menurunkan tingkat stres tentu sudah lama kita ketahui ada banyak caranya. Misalnya: kumpul dengan keluarga yang mencintai dan melindungi, atau melakukan kegiatan (hobby) yang sama-sama kita senangi, kumpul dengan teman-teman dekat untuk bersenang-senang, makan dan minum yang kita sukai, pergi ke tempat-tempat yang kita sukai, berolah-raga, berdoa, beribadah, berdoa (mendekatkan diri pada Tuhan) dan lain-lain.
Semua itu tentu sudah lama kita ketahui dapat menurunkan tingkat stres. Namun pernahkah kita bertanya: seberapa besar semua cara itu bisa menurunkan tingkat stres?
Sains sudah menelitinya. Ternyata hanya meditasi yang paling signifikan dalam menurunkan tingkat stres. Dan cara meditasi sudah dirancang ulang oleh para saintis, sehingga meditasi bukan sebuah kegiatan yang rumit atau berkaitan dengan satu keyakinan agama tertentu. Sama sekali bukan itu.
Meski pun mudah, namun tetap saja membutuhkan latihan yang tekun, sehingga bisa membuahkan hasil dalam beberapa minggu saja.
Olahraga juga cara mudah untuk menurunkan stres, namun olahraga membutuhkan upaya yang lebih besar dibandingkan dengan meditasi. Setidaknya kita membutuhkan alat untuk berolahraga, meskipun hanya untuk olahraga dengan cara berjalan-jalan keliling kompleks perumahan yang mungkin hanya perlu sandal jepit. Olahraga seperti jalan-jalan ringan ini membutuhkan waktu setidaknya setengah jam. Sedangkan meditasi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, serta hanya beberapa menit saja, namun sebaiknya sering dilakukan dalam sehari.
Masih ada cara lain yang sudah diteliti oleh sains dalam beberapa dekade belakangan ini, seperti menulis Jurnal Positif (aktivitas bersyukur sebenarnya), dan aktivitas lainnya.
Setidaknya ada 6 aktivitas yang dianjurkan oleh sains untuk menurunkan tingkat stres kita, yaitu:Â
- Meditasi
- Bersyukur (menulis jurnal positif
- Melakukan kebajikan
- Membangun tali silaturahim (relationships) yang baik
- Olahraga
- Makanan yang baik menurut sainsÂ
Berdasarkan urutannya, meditasi adalah yang paling signifikan memberi hasil dalam menurunkan tingkat stres. Lalu yang kedua: menulis Jurnal Positif dan seterusnya.
Semua cara ini sudah pernah dibahas di video, diskusi, atau artikel sebelumnya sudah dibuat oleh Komunitas Membangun Positivity. Begitu juga cara lainnya. Jadi di tulisan ini saya tidak membahas mendalam semua cara itu, karena akan panjang.
Sekali lagi saya ingin menekankan, bahwa Meditasi menurut riset sains mampu menurunkan tingkat stres jauh lebih efektif di banding cara lainnya. Meditasi mampu menjaga fungsi otak agar tetap maksimal, dan lalu mempertahankan kesehatan tubuh kita agar tetap prima.
Ini link yang sudah disebutkan sebelumnya. Bagus sekali jika Anda mau membacanya (klik di sini).
(Artikel di atas ditulis kembali dari bahan presentasi untuk Diskusi Online yang diselenggarakan oleh Komunitas Membangun Positivity tiap minggu)
M. Jojo Rahardjo
https://facebook.com/membangunpositivity
https://youtube.com/c/membangunpositivity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H