Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kita hanya punya dasar kebahagiaan (happiness set point) sebesar 50% saja. Jika lingkungan kita bagus, maka akan bertambah menjadi 60%. Sayangnya tidak setiap hari lingkungan kita itu berstatus bagus. Kadang bisa jelek atau mengerikan (misalnya tiba-tiba datang situasi perang atau wabah penyakit). Padahal kita butuh kebahagiaan untuk memiliki otak yang berfungsi lebih baik. Bahkan angka 60% saja tidak cukup.
Kadang terjadi bencana pada diri kita, misalnya kecelakaan atau mendapat penyakit berat. Atau ada orang yang berbuat sesuatu yang merugikan kita, dan lain-lain. Tingkatannya tentu berbeda. Yang merugikan itu adalah jika tingkatannya berat dan berlangsung lama. Kita tentu bisa membayangkan tingkat kebahagiaan kita yang hanya di bawah 50% untuk waktu yang lama. Apa jadinya fungsi otak kita itu.
Sebenarnya ada kata lain yang sering digunakan sains untuk menggambarkan akibat dari situasi buruk di sekitar kita dan terjadi pada diri kita, yaitu STRESS.
Riset mengenai stres amat banyak. Bahkan saintis di masa sekarang menyebut Siddartha Gautama di masa 2500 tahun lalu ternyata sudah menemukan apa bisa menghambat manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Siddartha menyebutnya PENDERITAAN, sedangkan sains menyebutnya STRESS.
Sains di masa sekarang menjelaskan bahwa stres sangat merusak otak sehingga mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita termasuk atau yang paling penting adalah kesehatan tubuh kita.
Stres merusak berbagai organ vital di tubuh kita. Stres juga merusak immune system, dan stres mempengaruhi telomeres, yaitu bagian ujung dari kromosom yang menjadi indikator kesehatan tubuh kita, termasuk usia biologis kita yang berarti seberapa panjang usia kita.
Sains juga menyebut ada lagi pemicu stres selain yang sudah disebutkan tadi, yaitu pikiran kita sendiri.
Siddartha seperti sudah disebut sebelumnya adalah seorang yang telah mendalami science of mind di masa 2500 tahun lalu. Ia menyebutkan hal yang sama seperti yang disebutkan oleh saintis di masa sekarang, yaitu: pikiran kita sendiri ternyata adalah pemicu stres selain apa yang terjadi di sekitar kita atau apa yang terjadi pada diri kita.
Sains menemukan 50% waktu kita ternyata dihabiskan untuk melakukan mind-wandering, yaitu pikiran yang berkelana kesana-kemari, ke masa lalu atau ke masa depan atau memikirkan apa saja tanpa tujuan. Mind-wandering ini ternyata memicu stres, meski pikiran kita berkelana pada hal-hal baik sekalipun (https://news.harvard.edu/gazette/story/2010/11/wandering-mind-not-a-happy-mind/). Lebih dalam mengenai mind-wandering ini sudah ada tulisan, video, dan diskusi onlinenya.
Untungnya sains menemukan cara mengurangi dampak (stres) dari mind-wandering ini. Bahkan juga ada cara untuk mengurangi kecenderungan pikiran untuk melakukan mind-wandering ini (https://www.forbes.com/sites/bryanrobinson/2022/04/04/meditation-reduces-mind-wandering-and-mistakes-at-work-new-studies-show/?sh=1bb86a5fc3d0).
Mengapa Sains Membahas Ini?