Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Makin Tua Makin Bahagia Makin Sehat dan Makin Waras

17 Januari 2022   19:49 Diperbarui: 9 Oktober 2022   22:08 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: kboo.fm/media

Berapa life expectancy orang Indonesia? 72,3 tahun. Artinya kebanyakan orang Indonesia akan wafat di usia 72,3 tahun (https://www.worldometers.info/demographics/life-expectancy/).

Berapa healthy life expectancy (HALE) orang Indonesia? 62,8 tahun. Artinya setelah usia 62,8 tahun maka kita memasuki masa tidak sehat hingga akhirnya wafat (https://www.worldlifeexpectancy.com/healthy-life-expectancy-by-gender). Masa setelah HALE adalah masa yang mungkin saja masa di mana kita menjadi amat bergantung pada orang lain dan masa itu tentu saja adalah masa yang tidak menyenangkan karena dalam kondisi sering sakit menjelang wafat.

Bandingkan dengan orang-orang dari negeri lain. HALE yang paling tinggi adalah: Jepang, Singapura, Korea Selatan, Swis dan seterusnya. Tentu saja semua negeri Skandinavia masuk ke dalam kelompok urutan teratas. Yang juga masuk di urutan teratas adalah negeri Israel, padahal negeri itu selalu dalam keadaan siap berperang dengan negeri tetangganya. 

Apa yang membuat healty life expectancy suatu masyarakat menjadi tinggi?

==o==

Centenarians di the Blue Zones

Healthy life expectancy adalah tentang kesehatan tubuh yang terjaga sejak masih kecil, remaja, dewasa, dan usia tua. Semakin kita bisa menjaga di semua periode hidup itu, maka semakin panjang HALE kita. Tentu menjaganya melibatkan banyak aspek kehidupan. Tentu juga butuh sains untuk menjelaskannya.

Cara termudah untuk menjaganya, adalah belajar dari para centenarians yang hidup di The Blue Zones. Centenarians adalah sebutan bagi mereka yang hidup hingga usia 100 tahun lebih di wilayah yang hanya ada 5 di dunia ini (the blue zones), yaitu: 

  1. Sardinia, Italy 
  2. Icaria, Greek
  3. Okinawa, Japan 
  4. Loma Linda, California 
  5. Nicoya, Costa Rica

Sebenarnya tidak hanya di 5 tempat itu saja centenarians bisa ditemukan, namun di tempat lain jumlah centeranians-nya tidak sebanyak di 5 tempat tersebut di atas.

Centenarians ini menurut riset, bahkan hidup sehat walafiat hingga hari terakhir hidup mereka. Kita tentu bisa mempelajari kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari dan menirunya. Riset mengenai para centenarians di 5 tempat itu sudah diteliti oleh National Geographic dan laporannya ditulis dalam 1 buku yang lumayan laris di dunia oleh Dan Buettner. Buku ini bahkan mendorong para ahli lain untuk membuat proyek untuk menciptakan blue zones selain di tempat di 5 tempat tadi. Sayangnya di Indonesia tak terdengar ada proyek menarik semacam ini.

Cara lainnya untuk memperpanjang HALE adalah mempelajari apa yang sudah ditemukan oleh berbagai sains yang berkaitan dengan kesehatan. Tentu maksudnya sains yang baru.

Sains yang  menonjol dalam 3 dekade terakhir ini adalah neuroscience, yaitu sains yang mempelajari seluk-beluk otak manusia dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan, seperti kecerdasan, produktivitas, kecenderungan pada kebajikan, hingga kesehatan tubuh (dan tentu saja usia yang panjang).

Neuroscience menemukan, bahwa otak yang berfungsi dengan baik, ternyata memiliki pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan kita, termasuk atau apalagi kesehatan tubuh.

Jejak sejarah menunjukkan: itulah yang dikejar atau diidamkan oleh manusia sejak awal peradaban yang paling pertama. Kita mengenal apa yang dikejar manusia sejak dulu itu dengan sebutan kebahagiaan atau happiness, namun neuroscience menyebutnya dengan sebutan yang lain, yaitu positivity atau wellbeing.

Untuk Apa Otak yang Berfungsi dengan Baik? 

 

Mengenai otak yang berfungsi dengan baik ini sudah saya sampaikan melalui berbagai tulisan dan video, juga diskusi online yang tiap minggu diselenggarakan oleh Komunitas Membangun Positivity.

Sains ini sebenarnya berguna untuk individu, masyarakat, organisasi atau perusahaan, bahkan pemerintahan. Itu sebabnya saya sejak 2015 terus membagikan apa yang ditemukan oleh sains ini. Sayangnya sains memang topik yang sulit untuk menjadi populer. Film yang dirilis Desember 2021 lalu berjudul, "Don't Look Up", menggambarkan sulitnya sains untuk bisa disikapi dengan baik oleh banyak orang, bahkan oleh pembuat kebijakan. Padahal itu adalah sains yang berkaitan dengan keselamatan orang banyak.

Kebanyakan orang berpikir hidupnya sudah baik-baik saja, demikian juga dengan otaknya yang menurutnya baik-baik saja. Jadi gak perlu lagi mempelajari sains untuk memperbaiki fungsi otak. Padahal sains menunjukkan kita bisa melakukan sesuatu agar otak kita jauh lebih berfungsi dengan baik daripada sebelumnya.

Apalagi mereka yang memiliki penghasilan yang baik, akan berpikir: untuk apa lagi mengutak-atik otak saya? Hidup saya sudah berkecukupan, kok? Padahal otak yang berfungsi dengan baik, bisa membuat kesehatan tubuhnya menjadi lebih baik.

Mereka yang memiliki kesuksesan dalam karir atau dalam usahanya, berpikir untuk apa mengkutak-katik otaknya agar lebih cerdas. Otak saya sudah terbukti membawa saya pada kesuksesan kok? Padahal otak yang berfungsi dengan baik bisa membuat orang menjadi lebih cenderung pada kebajikan, kedamaian, cinta kasih, dan lain-lain.

Untuk skala negara atau pemerintahan tentu saja kita juga butuh otak masyarakat yang berfungsi dengan baik agar misalnya menjadi lebih produktif, lebih cenderung pada pencarian solusi, bukan agresi atau anarki, juga kebencian. Masyarakat juga menjadi lebih sehat dan tidak membebani anggaran negara yang terlihat dari angka anggaran untuk BPJS yang bisa membengkak.

Di dunia politik tentu saja kita butuh otak-otak yang berfungsi dengan baik untuk penyegaran dunia politik yang sering disebut kotor atau buram. Selama ini kita tahu dunia politik terasa hanya membuat masyarakat kita menjadi tidak produktif atau bahkan mudah disesatkan oleh banyak pihak yang menjadi kelompok elite.

Untuk membesarkan partai politik sering politisi melakukan cara yang buruk, yaitu menunggangi isu sensitif yang membahayakan masyarakat. Itu terlihat jelas saat pemilu, pilkada atau pilpres yang sering menunggangi isu agama. Pilkada Jakarta yang lalu adalah contohnya.

Jadi bagaimana mengaplikasikan apa yang sudah ditemukan sains yang berkaitan dengan fungsi otak itu di dunia politik?

Pertama sekali adalah sains ini harus populer dulu di masyarakat. Sejak tahun 2015, saya kira hanya saya sendiri yang terus mempromosikan sains ini. Tak ada sponsor, tak ada partner, tak ada media yang menganggap topik ini topik yang penting. Tapi tak apa, ini memang citizen science yang sekarang baru mulai berkembang.

Lebih dari 500 artikel, lebih dari 100 video, 3 ebooks, dan setiap minggu menyelenggarakan diskusi online sejak Juli 2021. Tentu saja saya berharap ada juga yang meniru atau mengikuti jejak saya mempromosikan sains itu. Tapi saya belum menemukannya. Mereka yang "punya uang", lebih senang mengerjakan yang lain, misalnya yang lebih menghasilkan benefit untuk dirinya sendiri. Mereka yang "punya uang", lebih senang membangun citranya agar lebih agung (seolah) dengan berbagai kegiatan marketing atau PR yang mahal. Mereka lebih senang menghamburkan uangnya untuk "membeli" berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri.

Kedua, terapkan sains ini pada dunia politik, karena mereka lah yang menentukan ke mana negeri ini akan bergerak. Harari, filsuf terkenal, sudah mengingatkan orang di seluruh dunia, bahwa politik "hanya" membuat banyak orang tersesat. Jadi hati-hatilah. Di Indonesia apa yang diperingatkan oleh Harari itu terlihat jelas melalui penunggangan agama yang dilakukan oleh banyak sekali politisi, bahkan politisi dari partai sekuler/nasionalis. Kita juga melihat: terlalu banyak politisi jalanan yang menggunakan jubah agamawan, padahal sebenarnya mereka itu agen bayaran dari para politisi yang kerjanya duduk-duduk di gedung dewan.

Bukan hanya politisi yang menyesatkan kita dari apa yang seharusnya menjadi fokus kita, tetapi tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha, orang berduit, intelektual, akademisi, apalagi yang berlabel agama juga melakukan itu. Mereka menyesatkan kita dari isu global atau persoalan global. Kita tahu, disebut persoalan global, karena itu menyangkut "nasib" kita semua di seluruh dunia, bahkan yang berada di pelosok yang terpencil sekalipun. Salah satu contoh kasus di Indonesia adalah penyesatan yang terjadi di Pilkada Jakarta dengan isu bela agama. Padahal itu persoalan mereka yang ada di partai-partai politik, namun mereka "mengajak" masyarakat agar semua membela agama. Padahal yang mengajak membela agama itu bukan agamawan, mereka hanya politisi "gila" yang berjubah agamawan.

Otak yang berfungsi dengan baik tentu diharapkan dapat menghasilkan kewaspadaan pada upaya penyesatan masyarakat yang dilakukan siapapun. Kita harus terus waspada untuk tidak melenceng dari persoalan global, jika tidak maka kita akan menjadi ummat yang disebut useless class oleh banyak pemikir dunia.

Beberapa Survey Kebahagiaan

Belum lama ini ada survey yang dilakukan oleh BPS untuk menentukan provinsi yang penduduknya bahagia di Indonesia. Survey ini menggunakan 3 pengukur, yaitu:

  1. Dimensi Kepuasan secara Personal maupun Sosial
  2. Dimensi Makna Hidup
  3. Dimensi Perasaan.

Jika ketiganya mendapat nilai tinggi, maka provinsi itu disebut provinsi yang penduduknya bahagia.

Ini 10 provinsi terbahagia di Indonesia:

  1. Maluku Utara
  2. Kalimantan Utara
  3. Maluku
  4. Jambi
  5. Sulawesi Utara
  6. Kepulauan Riau
  7. Gorontalo
  8. Papua Barat
  9. Sulawesi Tengah
  10. Sulawesi Tenggara

Sementara itu sejak tahun 2012 sudah ada survey yang dilakukan oleh PBB mengenai negeri mana saja di dunia yang paling bahagia. Tiap tahun PBB menerbitkan laporan yang diberinama World Happiness Report yang penyusunnya saintis dari berbagai bidang, terutama neuroscience dan positive psychology.

Ini ukuran yang dipakai World Happiness Report: 

  1. GDP per capita, 
  2. Social Support, 
  3. Healthy Life Expectancy, 
  4. Freedom to make life choices, 
  5. Generosity, 
  6. The absence of corruption.

Terlihat ukurannya lebih banyak, sehingga bisa lebih valid.

Semua negeri-negeri Skandinavia di Eropa menduduki urutan atas, padahal negeri mereka kecil dan berada di iklim yang ekstrim (ada musim dingin yang berat). Israel yang selalu dalam keadaan siap perang karena serangan tetangganya juga masuk di urutan atas. Indonesia masih di urutan yang kurang bahagia seperti negeri-negeri miskin lainnya di dunia, meski di tahun-tahun terakhir menunjukkan urutannya terkoreksi membaik.

Tentu kedua survey ini bermanfaat, terutama survey yang dikerjakan oleh PBB, karena kita bisa melihat negeri-negeri yang bahagia itu ternyata secara ekonomi memiliki angka yang bagus. Bukan itu saja, tentu ini juga gak kalah penting, yaitu: angka korupsi yang minim, angka kedermawanan yang tinggi, angka social support (kesetiakawanan) yang tinggi, angka healthy life expectancy juga tinggi.

Riset yang berkaitan dengan World Happiness Report menunjukkan bahwa angka happiness ditentukan oleh adanya 6 pengukur atau 6 indikator itu. Meski demikian secara timbal-balik 6 indikator itu juga menghasilkan happiness.

Kebahagiaan dan Usia Panjang

Sekarang yuk kita lihat angka-angka seputar kebahagiaan dari beberapa riset lain.

Sebelumnya saya perlu ingatkan, bahwa kata kebahagiaan adalah kata lain dari kata positivity. Mengenai positivity ini juga sudah saya bicarakan di banyak artikel, video dan diskusi online. Jadi positivity adalah sebuah kondisi saat otak berfungsi dengan baik, sehingga menghasilkan beberapa benefit yang sudah saya sebutkan sebelumnya tadi.

Riset yang dikerjakan oleh Age Wave and Merrill Lynch menemukan, bahwa periode terbahagia dalam kehidupan itu adalah di usia 65 hingga 74. Riset ini hanya salah satu contoh riset tentang di usia berapa orang merasakan paling bahagia.

Lihat di sini artikelnya:

https://www.newretirement.com/retirement/ready-to-retire/

Tentu saja riset itu dilakukan di Amerika. Ada banyak faktor yang berbeda dengan Indonesia, sehingga mungkin sekali periode terbahagia di Indonesia bukan di rentang usia itu.

Yang pasti berbeda dengan Indonesia mungkin adalah penghasilan yang dimiliki para pensiunan ini yang tentu membuat mereka lebih bisa "menikmati" hidupnya setelah pensiun.

Yang juga berbeda adalah, anak-anak dari mereka bisa dipastikan sudah mandiri dan tidak membebani lagi orangtuanya yang memasuki usia tua. Tentu itu karena kultur mereka berbeda dengan kultur Indonesia.

Yang juga berbeda lainnya adalah layanan kesehatan yang diberikan pemerintah pada masyarakat sejak masih muda hingga di usia lanjut mereka. Tentu negeri-negeri maju lebih baik dalam memberikan pelayangan kesehatan pada masyarakatnya.

Di sini ada angka-angka lain dari riset itu:

  1. Only 51% of 25--34 year olds say that they often feel happy compared to 76% of people ages 65--74
  2. Only 47% of youngsters say that they often feel content, while 71% of those retired report contentment.
  3. Feeling often relaxed is experienced by 71% of 65--74 year olds, but only 41% of those 25--34.
  4. And what about anxiety?  Only 12% of 65--74 year olds say that they often feel anxiety.  Whereas it is a common feeling for 37% of 25--34 year olds.

Apa yang bisa kita baca dari riset itu?

  1. Dunia kerja membuat kita berbeban atau menghasilkan stres.
  2. Saat sudah pensiun, kita bisa mengerjakan apa yang kita sukai, dan itu akan menghasilkan positivity atau kebahagiaan.
  3. Berbagai kebijakan pemerintah berpengaruh besar pada tingkat positivity masyarakat.
  4. Uang atau penghasilan yang mencukupi juga memberi pengaruh yang besar pada tingkat positivity.

Kita Lahir dengan Kebahagiaan Sebesar 50% Saja

Sebagaimana kita tahu, sudah sejak lama ada ribuan buku ditulis untuk menunjukkan pada kita jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun pernahkah kita bertanya: jika kita bisa bahagia, maka apa yang bisa membuat kita tidak bahagia?

Itu adalah pertanyaan penting, karena kebahagiaan berkaitan dengan membaiknya fungsi otak. Bukan sekedar soal gaya-gayaan dengan kebahagiaan. Meski tentu saja beberapa dekade terakhir ini kebahagiaan sudah menjadi life style yang sekaligus juga menjadi industri dunia.

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya: fungsi otak yang membaik akan menghasilkan kesehatan tubuh yang baik dan usia yang lebih panjang. Tentu juga termasuk benefit lain yang sudah disebutkan sebelumnya.

Jika kita menelusuri apa yang ditemukan oleh sains dalam beberapa dekade terakhir ini, maka akan kita temukan berbagai hasil riset yang menunjukkan bahwa stres menghambat tumbuhnya kebahagiaan. Nampak sederhana, bukan?

Lihat diagram ini:

Gambar: Buddhaimonia.com
Gambar: Buddhaimonia.com

Riset menunjukkan, bahwa kita terlahir dengan 50% kebahagiaan. Artinya: jika lingkungan kita selalu ramah atau baik, maka kebahagiaan kita akan bertambah 10% menjadi 60%. Lingkungan ini adalah rumah & orangtua yang baik saat kita masih kecil hingga remaja, dan seterusnya. Lingkungan itu (10% tadi) nanti setelah dewasa, adalah termasuk juga besar penghasilan yang mencukupi, serta peran negara dalam memberikan positivity pada masyarakatnya.

Sisa yang terlihat di diagram itu adalah 40%, yaitu upaya kita untuk menambah kebahagiaan melalui berbagai cara atau tradisi yang ada atau juga melalui sains. Tradisi yang berkembang di satu masyarakat, di satu wilayah amat menentukan kebahagian masyarakatnya. Tradisi yang mengembangkan kebencian, agresi atau kekerasan pada kelompok lain tentu punya pengaruh tidak munculnya kebahagiaan di porsi 40% ini. 

Perlu diingat porsi yang 50% yang menjadi basic atau set point dari kebahagiaan kita itu bisa turun atau naik, dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi pada kita dan di sekitar kita. Misalnya peristiwa buruk tentu menurunkan angkanya dari 50% ke 30% misalnya karena ada bencana alam atau kecelakaan. Demikian juga saat kita mendapat lotere, maka angka 50% itu akan naik, misalnya ke angka 70%. 

Angka yang naik atau turun ini akan kembali pelahan ke angka 50% tanpa kita melakukan apa pun, karena itu adalah happiness set point kita. Tentu saja angka 50% itu kurang mencukupi, jika kita ingin memiliki otak yang berfungsi lebih baik dari orang kebanyakan, atau ingin memiliki tubuh yang lebih sehat, dan usia yang lebih panjang.

Dari diagram itu kita melihat pentingnya mempelajari sains of happiness agar tingkat kebahagiaan kita bertambah, bukan hanya 50% tetapi mendekati 100%.

Apa yang Menghambat Kita dalam Memperoleh Kebahagiaan?

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kita hanya punya dasar kebahagiaan (happiness set point) sebesar 50% saja. Jika lingkungan kita bagus, maka akan bertambah menjadi 60%. Sayangnya tidak setiap hari lingkungan kita itu berstatus bagus. Kadang bisa jelek atau mengerikan (misalnya tiba-tiba datang situasi perang atau wabah penyakit). Padahal kita butuh kebahagiaan untuk memiliki otak yang berfungsi lebih baik. Bahkan angka 60% saja tidak cukup.

Kadang terjadi bencana pada diri kita, misalnya kecelakaan atau mendapat penyakit berat. Atau ada orang yang berbuat sesuatu yang merugikan kita, dan lain-lain. Tingkatannya tentu berbeda. Yang merugikan itu adalah jika tingkatannya berat dan berlangsung lama. Kita tentu bisa membayangkan tingkat kebahagiaan kita yang hanya di bawah 50% untuk waktu yang lama. Apa jadinya fungsi otak kita itu.

Sebenarnya ada kata lain yang sering digunakan sains untuk menggambarkan akibat dari situasi buruk di sekitar kita dan terjadi pada diri kita, yaitu STRESS.

Riset mengenai stres amat banyak. Bahkan saintis di masa sekarang menyebut Siddartha Gautama di masa 2500 tahun lalu ternyata sudah menemukan apa bisa menghambat manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Siddartha menyebutnya PENDERITAAN, sedangkan sains menyebutnya STRESS.

Sains di masa sekarang menjelaskan bahwa stres sangat merusak otak sehingga mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita termasuk atau yang paling penting adalah kesehatan tubuh kita.

Stres merusak berbagai organ vital di tubuh kita. Stres juga merusak immune system, dan stres mempengaruhi telomeres, yaitu bagian ujung dari kromosom yang menjadi indikator kesehatan tubuh kita, termasuk usia biologis kita yang berarti seberapa panjang usia kita.

Sains juga menyebut ada lagi pemicu stres selain yang sudah disebutkan tadi, yaitu pikiran kita sendiri.

Siddartha seperti sudah disebut sebelumnya adalah seorang yang telah mendalami science of mind di masa 2500 tahun lalu. Ia menyebutkan hal yang sama seperti yang disebutkan oleh saintis di masa sekarang, yaitu: pikiran kita sendiri ternyata adalah pemicu stres selain apa yang terjadi di sekitar kita atau apa yang terjadi pada diri kita.

Sains menemukan 50% waktu kita ternyata dihabiskan untuk melakukan mind-wandering, yaitu pikiran yang berkelana kesana-kemari, ke masa lalu atau ke masa depan atau memikirkan apa saja tanpa tujuan. Mind-wandering ini ternyata memicu stres, meski pikiran kita berkelana pada hal-hal baik sekalipun (https://news.harvard.edu/gazette/story/2010/11/wandering-mind-not-a-happy-mind/). Lebih dalam mengenai mind-wandering ini sudah ada tulisan, video, dan diskusi onlinenya.

Untungnya sains menemukan cara mengurangi dampak (stres) dari mind-wandering ini. Bahkan juga ada cara untuk mengurangi kecenderungan pikiran untuk melakukan mind-wandering ini (https://www.forbes.com/sites/bryanrobinson/2022/04/04/meditation-reduces-mind-wandering-and-mistakes-at-work-new-studies-show/?sh=1bb86a5fc3d0).

Mengapa Sains Membahas Ini?

Satu buku yang terkenal mengenai mind-wandering ini adalah berjudul The Wandering Mind yang ditulis oleh Michael Corballis, seorang neuroscientist dari New Zealand.

Di buku ini ia membahas dengan detil apa sih yang berkecamuk di pikiran saat mind-wandering itu. Buku itu juga membahas antara lain apa kaitan mind-wandering dengan beberapa gangguan mental, seperti schizophrenia dan lain-lain. Jika membiarkan mind-wandering tak terkendali, maka fungsi otak kita pun bakal terus menurun.

Siddartha 2500 tahun lalu sudah memberi solusi untuk kecenderungan pikiran ini. Solusinya adalah meditasi yang sekarang masih terus dipraktikkan oleh banyak orang di seluruh dunia. Bahkan meditasi sekarang dianjurkan dengan gencar oleh sains.

Sains bisa melihat bagaimana meditasi memberi banyak benefit. Namun dengan kalimat yang singkat adalah: meditasi yang telah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu ternyata menghasilkan perubahan positif, yaitu membaiknya fungsi otak secara signifikan.

Itu juga berarti meditasi adalah cara menurunkan stres yang paling signifikan. Riset mengenai ini juga sudah banyak. Silakan lihat berbagai tulisan saya, atau video, atau diskusi online.

PENUTUP

Artikel yang saya tulis ini mengenai: BISAKAH MAKIN TUA MAKIN SEHAT & BAHAGIA? Jawabannya adalah bisa, karena sudah ada science of happiness yakni  cara sains yang efektif untuk memperbaiki fungsi otak dan lalu secara otomatis juga memperbaiki kesehatan tubuh (itu artinya juga usia yang panjang).

Ingat saat kita mempelajari science of happiness, maka kita pun sedang berusaha memperbaiki tingkat kebahagiaan kita.

Jadi menjadi bahagia itu adalah sekaligus juga menjadi lebih sehat dan berumur panjang.

 

Salam Sehat!

 

 

M. Jojo Rahardjo

 

Menulis lebih dari 500 artikel, 100 lebih video, 3 ebooks, dan menyelenggarakan diskusi online sejak 2020. Semuanya untuk mempromosikan berbagai riset sains seputar fungsi otak dan kaitannya dengan kecerdasan, produktivitas, kreativitas, inovasi, ketangguhan pada situasi sulit, kecenderungan pada altruism, dan kesehatan.

 

(Tulisan di atas adalah bahan presentasi dari diskusi online tiap minggu yang diselenggaraka oleh Komunitas Membangun Positivity)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun