***mom-pop***
Cinta suci yang selama ini aku agungkan, kesempurnaan dia yang tiap menit aku banggakan, ternyata kini menghujamku. Cinta yang ku anggap membahagiakanku ternyata perlahan semakin membunuhku. Menyayat kulit tipis yang selimuti hatiku, menusuk relung-relung cintaku dan sangat kejam mencabik mimpi-mimpi indah yang ku gantungkan bersamanya.
Dia menodai cintaku, dia nodai harapan tulusku, dan dia pun tega nodai tubuhku. Dia nodai aku yang dulu selalu di jaga. Seketika remuk rasa kagumku padanya. Dia pecundang! Banci, pengecut yang bersembunyi dibalik lekuk-lekuk ketampanan. Aku kecewa! Dan sekuat hati mencoba membencinya. Meski kenyataan yang ku dapat, aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku.
Diawal februari, entah ditahun keberapa setelahku kembali menjadi kekasihnya. Dia mengajakku berlibur ke satu pulau cantik diluar pulau jawa. Kami menikmati liburan yang romantis ini dengan bahagia. Kemesraan selalu terpancar lewat gemulai lembut ragaku dan dia. Bak sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Senja yang indah seperti senja-senja yang telah ku lewati bersamanya. Aku masih bermanja dalam peluknya. Entah pada menit ke berapa kami bergumul mesra diatas pasir putih pantai yang masih perawan ini yang setiap harinya tak banyak wisatawan yang mengunjungi.
Nafas kami memburu merasakan gejolak yang menggebu yang kini menjalar ke seluruh tubuh lewat aliran darah dan denyut nadi. Aku sadar ini adalah dosa besar, tapi anehnya aku tetap menikmati sensasi menggelitik yang dahsyat diubun-ubunku. Ku pacu seluruh tenagaku untuk terus mendaki puncak-puncak Surga.
Ciumannya penuh nafsu yang dipenuhi para Iblis. Pelukannya menguat menghapus jeda norma yang makin samar. Jemarinya menggelitik liar membelai tiap lekuk tubuh mulusku. Sorak-sorai setan menyemangati kesesatan yang kami lakukan. Desahan dan peluh yang kami hasilkan seperti rangsangan kepada setan untuk membawa kami terbang menuju lapisan langit tertinggi sebelum melemparkan kami ke jurang Neraka penuh kenistaan.
Senja yang indah saat ini, telah ternoda oleh cairan bening yang bersemu merah, darah perawanku. Aku menangis, menyesali perubahan yang terjadi begitu cepat dihidupku. Hanya dalam hitungan menit semua berubah, namun aku tetap berharap cintanya untukku tak akan berubah dan dia tetap jadi sosok yang selalu menyayangi sebagai belahan jiwanya.
Jemarinya menyeka butir bening yang masih mengalir dari sudut mata sipitku. Lembut, tanpa nafsu yang tadi selimuti kami. Perlahan dibawanya tubuhku ke dalam pelukannya, dibelai tiap helai rambutku yang basah oleh peluh. Bibirnya mengecup keningku pelan. Seperti ada ribuan kata yang ia titipkan lewat kecupan itu. Bibirnya perlahan bergeser menuju relung telingaku dan ku dengar selarik bisiknya.
“Love you, Mom” Bisiknya hangat
“Love you too, Pop”