Mohon tunggu...
Pramitha Wahyuninggalih Soeharto
Pramitha Wahyuninggalih Soeharto Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang pengangguran yg suka corat-coret

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku di Ujung Senja, Seribu Pantai

25 Februari 2012   02:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:57 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***mom-pop***

Langit berhenti menitikan air matanya, pelangi terlukis pias dibentangan awan putih dengan biru cerah sebagai backgroundnya. Gumpalan awan tersenyum manis menatapku, burung-burung yang terbang rendah berkicau menggoda menyaksikan dua pipi cubby bersemu merah, nyiurpun tak henti mengolokku, dan semua mahluk hidup yang ada di Pantai Karang Song seolah ikut bahagia menyaksikanku bergelayut manja dilengan cinta monyetku.

*Senja ini indah dengan dia yang kembali berdiri santai di sampingku

***mom-pop***

Aku tersenyum, menertawakan ketololanku yang tak pernah sanggup berhenti mencintainya. Anganku kembali tersangkut di memori manis itu. Pertemuan pertamaku dengan dia menghasilkan pertemuan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya mungkin sampai pertemuan ke seribu. Ku lewati rentang waktu bersamanya. Melukiskan kenangan manis dan pahit, namun hanya rasa bahagia yang terus bergemuruh di rongga dadaku.

Tak perlu waktu lama untuknya dapatkan cintaku kembali, setelah beberapa hari kami habiskan waktu bersama dengan saling bercerita, dan tak lupa dia sisipkan rayuan-rayuan gombal ditiap kalimatnya. Aku sadar beberapa ceritanya hanya rekayasa, bahkan dia sengaja lenyapkan beberapa mantan pacarnya dari kisah yang sebenarnya dia lalui agar menghasilkan kesan bahwa dia tetap setia mencintaiku. Ah bulshit! Aku tahu itu hanya trik dia untuk memikatku. Padahal aku pernah dengar cerita dari temanku kalau dia sempat pacaran dengan beberapa teman sekolahku dulu. Aku tak bodoh! Tak akan semudah itu dia menipuku, tapi aku menikmatinya. Aku senang dengar rayuan manisnya yang selalu buat pipiku bersemu merah jambu.

Dia ungkapkan cintanya dengan sederhana di ujung senja, ketika aku, dia dan teman-teman bersantai di bibir pantai Pangandaran. Aku mengangguk, menyatakan kesediaanku kembali menjadi kekasih hatinya dengan sebuah syarat “Dia mencintai dan menyayangiku sepenuh hati tanpa membaginya, karena dari kecil impianku adalah menjadi Permaisuri tanpa selir di Istana Pangeranku” Dia menyanggupi syarat yang aku ajukan, saat itu juga di atas batu yang menghadap ke laut, dia bersumpah untuk selalu mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Pasir, gulungan ombak, sepoi angin laut, lembayung senja, awan yang berarak, burung-burung yang terbang pelan, ikan-ikan yang menggoda wisatawan, batu, karang-karang terjal, pohon-pohon, hewan, dan wisatawan yang ada di pantai itu menjadi saksi sumpahnya dengan senyum manis ikut merasakan kebahagiaanku.

***mom-pop***

Awal yang manis yang selalu ku ingat, untuk menghibur hatiku,  ketika air mataku tak bisa berhenti meski telah ku seka puluhan kali. Tangis ini karenanya, hanya dia yang mampu menarik air-air bening turun dari dua kantong tempat mereka berlindung di mata sipitku.

Angan memaksaku tetap terperangkap dalam memori indah bersamanya. Membuat bibirku menyunggingkan senyum meski air mata ini tak henti mengalir, merasakan sesak dari rongga dadaku.

Dulu, pantai yang terbentang di sekitar pesisir pulau jawa, bergiliran kami datangi. Entah kenapa aku dan dia memilih pantai sebagai kanvas tempat kami melukiskan kisah cinta yang manis ini. Beberapa pantai menjadi saksi bisu, saat dia memeluk hangat tubuhku, saat jemarinya membelai lembut rambutku, saat bibirnya tak berhenti mengucapkan rayuan manis yang membuatku melayang, saat aku bermanja di pundaknya, saat dia tertidur di pangkuanku, dan saat bibir kami berpagutan mesra di ujung senja. Hanya pasir, ombak, angin, langit, matahari yang hampir tenggelam, siput, ikan, burung-burung, nyiur kelapa dan desah nafas yang semakin memburu yang menjadi saksi-saksi bisu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun