Dari balik tirai jendela, seorang wanita menyapu pedih pandangannya,
"Sehat ya bu, sehat ya bu, jangan pikir yang sudah berlalu," Gil menahan isaknya, kesedihan yang ia lihat setiap minggu sekali, seakan sebuah tali panjang yang ibunya ikatkan padanya tanpa pernah bisa ia lepaskan.
"Sabar ya Gil, ibumu masih belum bisa menerima kenyataan kehilangan rumah, sawah, dan harta warisan ayah," dokter Anton menghibur Gil lalu mengajaknya ke ruang depan Rumah Sakit Jiwa dan mempersilakannya duduk sambil menikmati kopi arabika.
"Kamu masih kerja? Atau wiraswasta?"
"Aku buka toko dok, tapi..."
"Tapi apa Gil?"
"Tapi itu bukan yang ibu ingini setelah dulu memaksaku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang strata satu yang ternyata menghabiskan hartanya. Ia tak pernah berhitung kemampuan finansialnya, yang penting  itu keinginannya. Aku diminta jadi pegawai, yang punya gaji tinggi... bagiku itu mimpi, berat sekali untuk dijalani, aku lebih suka wirausaha, sesuai dengan kemampuan finasial keluarga yang ayah dan ibu punyai"
"Sabar ya Gil, ibumu masih belum bisa menerima kenyataan kehilangan rumah, sawah, dan harta warisan ayah," dokter Anton menghibur Gil lagi, seperti biasanya, setiap akhir minggu, setiap kali menjenguk sang ibu.
"Kau itu
api, air, garam, coklat, kopi, permen...
tapi kau juga