Harusnya... kamu itu a, bukan b atau c atau yang lain. Seperti bumi yang berputar sejak awal hingga kini, lurus, terus, tidak berbelok, tak berliku, sehingga tidak perlu jadi frustasi. Lihat itu uban, tak ubahnya seperti rentetan kejadian belokan, liukan yang terdokumentasi. Hemmh...
"Pagi,"
"Eh, jangan ganggu ya!"
"Tidak kok"
"Lha ini apa kalau tidak mengganggu?"
"Tidak, tidak, maksudku..."
"Sudah, sudah Ta, Kla, yuk damai ya?"
Ta hanya melengos sambil mengambil secangkir susu panas. Kepulan-kepulan asapnya dengan sengaja ia mainkan layaknya deburan ombak pantai pagi. Kla ia jauhi, dengan pindah duduk di pojok, menyendiri lagi. Sruput, renyah susu panas Ta hirup dalam-dalam dalam hening, diam. Gambaran slide berlompatan,
"Aku mau mauku, bukan maumu!"
"Tapi aku lebih tahu yang terbaik bagimu nak," hardik Ta
"Huh!"
"Gil, Â kamu itu a, bukan b atau c atau yang lain. Seperti bumi yang berputar sejak awal hingga kini, lurus, terus, tidak berbelok, tak berliku, sehingga tidak perlu jadi frustasi"
"Apa? Frustasi?"
"Iya"
"Aku tidak, aku tidak, aku tidak frustasi!"
Sruput, renyah susu panas Ta hirup lagi dengan harap agar gambaran-gambaran slide yang tadi tidak terjadi, bukan kenyataan yang sudah jadi, kekeliruan yang membuat dunianya jadi....
"Sekarang apalagi? Semua sudah bukan milik ibu lagi!"
"Gil, semua itu aku korbankan demi sekolah kamu, harusnya kamu sudah menjadi seperti yang kuingini!" Ta menggerakkan tangannya, menjangkau gambaran rumah, kebun, harta benda yang bergerak cepat bersama angin dari jendela.
"Kau ingini kan, bukan ku ingini kan?" sahut Gil sambil berlari
Harusnya... kamu itu a, bukan b atau c atau yang lain. Seperti bumi yang berputar sejak awal hingga kini, lurus, terus, tidak berbelok, tak berliku, sehingga tidak perlu jadi frustasi. Lihat itu uban, tak ubahnya seperti rentetan kejadian belokan, liukan yang terdokumentasi. Harusnya kamu itu... harusnya kamu itu...
"Ibu, ibu, sudah ya bu, menulisnya dilanjut nanti, sekarang makan yuk?"
"Ah kau Na, iya, kalau kau yang bicara aku tak bisa menolaknya," Ta kehilangan slide-slide masa. Kenangan bersama putri satu-satunya menghambur, berbaur dengan bau-bau makanan sehat pagi hari, selalu setiap hari, bersama seorang perawat yang berlaku lembut yang jadi penghiburnya.
Dari balik tirai jendela, seorang wanita menyapu pedih pandangannya,
"Sehat ya bu, sehat ya bu, jangan pikir yang sudah berlalu," Gil menahan isaknya, kesedihan yang ia lihat setiap minggu sekali, seakan sebuah tali panjang yang ibunya ikatkan padanya tanpa pernah bisa ia lepaskan.
"Sabar ya Gil, ibumu masih belum bisa menerima kenyataan kehilangan rumah, sawah, dan harta warisan ayah," dokter Anton menghibur Gil lalu mengajaknya ke ruang depan Rumah Sakit Jiwa dan mempersilakannya duduk sambil menikmati kopi arabika.
"Kamu masih kerja? Atau wiraswasta?"
"Aku buka toko dok, tapi..."
"Tapi apa Gil?"
"Tapi itu bukan yang ibu ingini setelah dulu memaksaku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang strata satu yang ternyata menghabiskan hartanya. Ia tak pernah berhitung kemampuan finansialnya, yang penting  itu keinginannya. Aku diminta jadi pegawai, yang punya gaji tinggi... bagiku itu mimpi, berat sekali untuk dijalani, aku lebih suka wirausaha, sesuai dengan kemampuan finasial keluarga yang ayah dan ibu punyai"
"Sabar ya Gil, ibumu masih belum bisa menerima kenyataan kehilangan rumah, sawah, dan harta warisan ayah," dokter Anton menghibur Gil lagi, seperti biasanya, setiap akhir minggu, setiap kali menjenguk sang ibu.
"Kau itu
api, air, garam, coklat, kopi, permen...
tapi kau juga
tali tambang, yang menjeratku
sampai mati-hati...
bu"
16 februari 2023
Kamu Itu a, bukan b atau c
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H