Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gagal Kelola Keuangan, Rumah Tangga Jadi Taruhan? Ini Faktanya

1 Februari 2025   06:00 Diperbarui: 29 Januari 2025   10:44 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelola keuangan rumah tangga (sumber:freepik/our-team)

Pernahkah Anda mendengar cerita pasangan yang bercerai hanya karena masalah keuangan? 

Fenomena ini bukan lagi hal yang asing di Indonesia. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, faktor ekonomi menjadi alasan nomor dua terbesar dalam perceraian di Indonesia. 

Namun, di balik angka statistik tersebut, ada kisah nyata tentang tekanan, konflik, dan harapan yang pupus.

Bayangkan hidup dalam kondisi di mana kebutuhan dasar sulit terpenuhi. 

Anda bangun pagi dengan perut lapar, anak menangis karena tidak ada uang untuk membeli susu, dan di saat yang sama pasangan menyalahkan Anda karena dianggap kurang berusaha. 

Rasa marah, frustasi, dan ketidakpastian bercampur menjadi satu. Masalah ekonomi dalam rumah tangga ibarat api kecil yang, jika dibiarkan tanpa solusi, akan membesar dan menghancurkan segalanya.

Ketahanan Keluarga dan Masalah Keuangan

Ketahanan keluarga sering diukur dari bagaimana pasangan bisa saling mendukung, terutama dalam menghadapi masalah. 

Namun, bagaimana jika masalah itu berasal dari sesuatu yang paling mendasar, yaitu keuangan?

Di Indonesia, masih banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Data BPS 2024 menunjukkan bahwa sekitar 9,36% penduduk Indonesia atau sekitar 26 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. 

Namun, angka ini tidak menceritakan keseluruhan masalah. Banyak keluarga yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan, tetapi tetap rentan secara ekonomi. 

Mereka tidak memiliki tabungan, penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dan sering kali harus berutang untuk bertahan hidup.

Kondisi ini menciptakan tekanan luar biasa dalam rumah tangga. Konflik kecil soal uang bisa berubah menjadi perdebatan besar yang berkepanjangan. 

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini juga ikut merasakan dampaknya. 

Mereka kehilangan motivasi dan melihat orang tua mereka sendiri menyerah pada keadaan, menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.

Perspektif Psikologi: Financial Stress Syndrome

Fenomena perceraian akibat masalah ekonomi erat kaitannya dengan Financial Stress Syndrome, yaitu kondisi mental yang terganggu akibat tekanan ekonomi berkepanjangan. 

Stres ini membuat pasangan tidak hanya lelah secara fisik, tetapi juga mental.

Ketika tekanan ekonomi datang, otak manusia masuk ke mode survival, yang memicu dua respons utama: fight (melawan) atau flight (menghindar). 

Contohnya, seorang suami yang stres karena tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga mungkin lebih memilih menghindari konflik dengan menarik diri. 

Sebaliknya, istri yang frustrasi dengan kondisi ini bisa menjadi lebih emosional dan gampang tersulut emosi.

Ada juga konsep cognitive load, yaitu batasan otak dalam memproses informasi. 

Ketika pasangan terlalu sibuk memikirkan cara membayar tagihan, cicilan, atau biaya sekolah, mereka menjadi kelelahan mental. 

Akibatnya, mereka tidak lagi memiliki energi untuk mendukung satu sama lain secara emosional. Hal ini berujung pada mudahnya terjadi konflik, kesalahpahaman, hingga akhirnya perceraian.

Selain itu, ada istilah displaced aggression, di mana seseorang melampiaskan frustrasinya pada orang terdekat, bukan pada sumber masalahnya. 

Suami yang kesal karena tekanan pekerjaan bisa melampiaskan kemarahannya pada istri. 

Sebaliknya, istri yang stres karena keuangan bisa meluapkan emosinya kepada suami. Semua ini memperburuk hubungan rumah tangga dan meningkatkan risiko perceraian.

Ekspektasi Gender dan Budaya Patriarki

Di masyarakat kita, masih banyak ekspektasi gender yang membebani pasangan. 

Laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah utama, sementara perempuan dianggap harus mengurus rumah dan anak. 

Namun, bagaimana jika realitas tidak sesuai ekspektasi? Misalnya, seorang suami yang bekerja keras setiap hari tetapi penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan dasar. 

Ketika pasangan mulai merasa tidak puas dengan kondisi ini, konflik pun mulai muncul. 

Dari sisi perempuan, mereka juga menghadapi tantangan. 

Banyak perempuan ingin membantu mencari nafkah, tetapi sering kali dihalangi stigma sosial. Jika pasangan bisa bekerja sama dalam mengelola keuangan, tekanan bisa berkurang. 

Sayangnya, budaya patriarki membuat banyak pasangan terjebak dalam pola pikir kuno yang justru memperburuk masalah mereka sendiri.

Kurangnya Pendidikan Finansial

Di Indonesia, pendidikan finansial sering dianggap remeh, padahal dampaknya sangat besar terhadap stabilitas rumah tangga. 

Mayoritas masyarakat tidak pernah mendapat pelajaran tentang bagaimana mengelola keuangan dengan baik. 

Pendidikan finansial bahkan tidak diajarkan di sekolah, kecuali di jurusan ekonomi atau akuntansi.

Banyak pasangan yang baru menikah langsung ingin memiliki segalanya: rumah, mobil, gadget, dan gaya hidup mewah. 

Jika penghasilan mereka tidak mencukupi, mereka mulai mencari jalan pintas seperti pinjaman online atau kredit tanpa memikirkan konsekuensinya. Ketika tagihan menumpuk, konflik mulai muncul, dan akhirnya berujung pada perceraian.

Selain itu, keterbukaan soal kondisi finansial juga menjadi masalah. Ada suami yang diam-diam memiliki utang atau istri yang terus berbelanja tanpa sepengetahuan pasangannya. 

Ketika kebohongan ini terbongkar, kepercayaan dalam rumah tangga pun hancur.

Ketidakstabilan Pekerjaan dan Tekanan Sosial

Banyak pasangan di Indonesia bekerja di sektor informal, seperti buruh harian, pedagang kecil, atau ojek online. 

Masalah utama dari pekerjaan ini adalah ketidakpastian pendapatan. Hari ini bisa dapat banyak, tetapi besok bisa tidak ada pemasukan sama sekali.

Ketidakstabilan ini membuat stres finansial semakin parah, terutama jika pasangan memiliki anak yang harus disekolahkan. 

Biaya pendidikan di Indonesia sangat mahal, belum lagi biaya lain seperti seragam, buku, dan uang transportasi. Jika orang tua tidak memiliki pendapatan stabil, mereka sering kali harus berutang untuk memenuhi kebutuhan ini.

Di sisi lain, tekanan sosial juga memperburuk keadaan. Banyak pasangan yang rela berutang hanya untuk menikah dengan pesta mewah, karena takut malu di depan tetangga. 

Setelah menikah, ekspektasi sosial terus menghantui mereka. Pasangan diharapkan memiliki rumah sendiri, kendaraan bagus, dan gaya hidup sukses.

 Jika mereka tidak mampu memenuhi ekspektasi ini, mereka merasa gagal, bukan hanya di mata masyarakat, tetapi juga di mata pasangannya sendiri.

Kesimpulan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Perceraian akibat kemiskinan bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik. 

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak buruk ini:

  1. Pendidikan finansial sejak dini -- Pasangan perlu memahami pentingnya pengelolaan keuangan sebelum menikah.

  2. Menghapus stigma sosial terhadap peran gender -- Beban finansial seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya laki-laki.

  3. Dukungan pemerintah -- Program bantuan bagi keluarga miskin harus lebih tepat sasaran dan memberikan solusi jangka panjang.

  4. Komunikasi yang baik dalam rumah tangga -- Keterbukaan soal kondisi finansial dapat mencegah konflik yang lebih besar.

Masalah ekonomi dalam rumah tangga bukan hanya tentang uang, tetapi juga mencakup bagaimana pasangan menghadapi tekanan, membangun komunikasi yang sehat, dan saling mendukung dalam situasi sulit. 

Ketika tekanan finansial meningkat tanpa adanya solusi, konflik bisa semakin parah dan berujung pada perceraian. 

Faktor seperti pengelolaan keuangan yang buruk, utang yang menumpuk, dan ketidakpastian pendapatan bisa memicu stres berkepanjangan. 

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama dan pendekatan sistemik untuk mengatasi permasalahan ini. 

Pendidikan finansial, keterbukaan dalam komunikasi, serta dukungan sosial dan pemerintah dapat membantu pasangan mengelola tantangan ekonomi agar rumah tangga tetap harmonis dan tidak mudah goyah akibat tekanan finansial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun