Pernahkah Anda melihat konten di media sosial yang memperlihatkan seorang pria tiba-tiba melakukan hal-hal absurd?Â
Misalnya, tiba-tiba berada di Kamboja, makan di warung kecil sambil berteriak, atau bahkan muncul di Eropa secara spontan?Â
Konten-konten seperti ini sering dimulai dengan narasi "laki-laki tidak bercerita" dan kemudian diakhiri dengan aksi-aksi tak terduga.Â
Fenomena ini bahkan sempat menjadi tren, diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk figur publik seperti Gubernur Jakarta terpilih, Pramono Anum.
Fenomena ini mencerminkan stereotip yang ada di masyarakat: bahwa laki-laki jarang mengekspresikan perasaan atau cerita mereka, tetapi justru memilih tindakan ekstrem untuk menggambarkan emosi mereka.Â
Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih mendalam: Mengapa laki-laki tidak bercerita? Dan apa dampaknya pada kesehatan mental mereka?
Stereotip Gender yang Tertanam Sejak Dini
Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti, "Anak laki-laki kok cengeng!" atau "Boys don't cry"? Frasa-frasa seperti ini bukan sekadar ungkapan, tetapi cerminan ekspektasi sosial yang tertanam sejak dini.Â
Anak laki-laki didorong untuk menekan emosi yang dianggap "lembut" seperti sedih, takut, atau malu, sementara anak perempuan lebih diberi ruang untuk mengungkapkan emosi-emosi tersebut.
Menurut penelitian Chaplin dan Aldao, perempuan cenderung lebih ekspresif dibandingkan laki-laki karena adanya peran tradisional yang menekankan sifat merawat, empati, dan komunikasi.Â
Sebaliknya, laki-laki diarahkan untuk menonjolkan emosi seperti marah atau agresi, yang dianggap lebih kuat dan dominan. Hal ini sesuai dengan peran tradisional laki-laki sebagai pelindung dan pencari nafkah.
Hasil dari pola asuh ini adalah pembentukan konsep maskulinitas hegemonik, yaitu gambaran ideal laki-laki yang kuat, mandiri, dan tidak menunjukkan kelemahan. Namun, di balik maskulinitas ini, tersembunyi potensi masalah yang serius.
Dampak Maskulinitas pada Kesehatan Mental
Hegemonik maskulin bukan hanya sebuah gambaran sosial, tetapi juga menjadi tekanan yang dialami laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam budaya ini, laki-laki yang menunjukkan emosi seperti sedih atau cemas sering kali dianggap lemah atau tidak "maskulin".Â
Akibatnya, banyak laki-laki merasa harus menahan diri untuk tidak berbicara tentang perasaan atau masalah mereka.
Ronald F. Levant, seorang psikolog ternama, memperkenalkan konsep normative male alexithymia, yaitu kondisi di mana laki-laki kesulitan memahami, mengenali, atau mengungkapkan emosi mereka.Â
Levant menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari proses sosial yang berlangsung bertahun-tahun, di mana laki-laki diajarkan untuk menekan emosi mereka demi mempertahankan citra maskulin.
Dampak dari kondisi ini sangat nyata. Laki-laki sering kali enggan mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater, bahkan ketika mereka menghadapi masalah serius.Â
Jill Berger, seorang psikolog asal Florida, membuat analogi menarik tentang hal ini. Ia meminta kita membayangkan sosok Marlboro Man, seorang pria gagah, berani, dan maskulin.Â
Membayangkan sosok ini pergi ke psikolog saja sudah terasa "janggal" bagi banyak orang. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya stigma sosial terhadap laki-laki yang mencari bantuan untuk kesehatan mental.
Angka Bunuh Diri pada Laki-Laki
Masalah ini bukan sekadar teori. Survei Priory yang dilakukan terhadap 1.000 pria di Inggris menemukan bahwa 40% responden tidak pernah membahas kesehatan mental mereka.Â
Alasan utama? Rasa malu dan stigma negatif terhadap topik ini. Ironisnya, 77% dari mereka mengaku mengalami gejala kecemasan, stres, atau depresi.
Dampak paling tragis dari ketidakmampuan laki-laki untuk bercerita atau mencari bantuan adalah tingginya angka bunuh diri. Menurut data WHO, 75% dari 1 juta kasus bunuh diri di dunia dilakukan oleh laki-laki.Â
Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat bunuh diri laki-laki 3,85 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Bagaimana dengan Indonesia? Survei Kesehatan Nasional 2023 menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan.Â
Namun, data ini bukanlah gambaran lengkap. Data WHO dari tahun 2000 hingga 2019 menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia justru lebih tinggi pada laki-laki, dengan perbandingan mencapai dua kali lipat dibandingkan perempuan.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun laki-laki terlihat "lebih sehat" secara mental berdasarkan survei, kenyataannya mereka kurang mengakses layanan kesehatan jiwa.Â
Ketidakmampuan untuk bercerita dan stigma terhadap kesehatan mental berkontribusi pada tragedi ini.
Mengapa Laki-Laki Harus Mulai Bercerita?
Membuka diri bukanlah hal yang mudah, terutama bagi laki-laki yang telah terbiasa menahan emosi mereka.Â
Namun, bercerita adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental. Ketika seseorang berbagi perasaan atau pengalaman mereka, beban emosional yang mereka rasakan bisa menjadi lebih ringan.Â
Selain itu, berbicara juga membantu individu untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitar mereka.
Beberapa tahun terakhir, muncul tren positif di mana publik figur laki-laki mulai berbicara secara terbuka tentang kesehatan mental mereka.Â
Misalnya, Zayn Malik, mantan anggota One Direction, mengungkapkan perjuangannya melawan gangguan kecemasan hingga membatalkan konser pada tahun 2019.Â
Pangeran William juga menjadi salah satu tokoh yang berbicara tentang pentingnya kesehatan mental, bersama dengan sejumlah pemain sepak bola terkenal.
Langkah-langkah ini penting karena menciptakan ruang aman bagi laki-laki lain untuk mulai bercerita.Â
Ketika tokoh-tokoh publik menunjukkan bahwa berbicara tentang kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, masyarakat perlahan mulai mengubah pandangan mereka.
Menormalisasi Emosi pada Laki-Laki
Untuk mengubah stigma ini, perlu ada upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk keluarga, institusi pendidikan, dan media.Â
Orang tua, misalnya, dapat mulai mengajarkan anak laki-laki mereka bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih, takut, atau cemas.Â
Pendidikan yang inklusif juga dapat membantu anak-anak memahami bahwa emosi adalah bagian alami dari kehidupan, terlepas dari gender.
Media juga memegang peranan penting. Konten-konten yang menggambarkan laki-laki sebagai individu yang rentan tetapi tetap kuat secara emosional dapat membantu menormalkan ekspresi emosi pada laki-laki.Â
Selain itu, kampanye kesehatan mental yang ditujukan khusus untuk laki-laki, seperti "Movember", telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Kesimpulan
Budaya "laki-laki tidak bercerita" adalah hasil dari stereotip gender yang sudah mengakar dalam masyarakat. Namun, budaya ini tidak boleh terus dilanggengkan.Â
Laki-laki, sama seperti perempuan, memiliki hak untuk mengekspresikan emosi mereka, mencari bantuan, dan mendapatkan dukungan.Â
Bercerita bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah berani untuk menghadapi tantangan hidup.
Dengan semakin banyaknya tokoh publik yang berbicara tentang kesehatan mental, diharapkan stigma ini perlahan-lahan dapat hilang.Â
Pada akhirnya, kesehatan mental bukanlah persoalan gender, melainkan persoalan kemanusiaan. Sudah saatnya kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, merasa aman untuk bercerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H