Hasil dari pola asuh ini adalah pembentukan konsep maskulinitas hegemonik, yaitu gambaran ideal laki-laki yang kuat, mandiri, dan tidak menunjukkan kelemahan. Namun, di balik maskulinitas ini, tersembunyi potensi masalah yang serius.
Dampak Maskulinitas pada Kesehatan Mental
Hegemonik maskulin bukan hanya sebuah gambaran sosial, tetapi juga menjadi tekanan yang dialami laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam budaya ini, laki-laki yang menunjukkan emosi seperti sedih atau cemas sering kali dianggap lemah atau tidak "maskulin".Â
Akibatnya, banyak laki-laki merasa harus menahan diri untuk tidak berbicara tentang perasaan atau masalah mereka.
Ronald F. Levant, seorang psikolog ternama, memperkenalkan konsep normative male alexithymia, yaitu kondisi di mana laki-laki kesulitan memahami, mengenali, atau mengungkapkan emosi mereka.Â
Levant menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari proses sosial yang berlangsung bertahun-tahun, di mana laki-laki diajarkan untuk menekan emosi mereka demi mempertahankan citra maskulin.
Dampak dari kondisi ini sangat nyata. Laki-laki sering kali enggan mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater, bahkan ketika mereka menghadapi masalah serius.Â
Jill Berger, seorang psikolog asal Florida, membuat analogi menarik tentang hal ini. Ia meminta kita membayangkan sosok Marlboro Man, seorang pria gagah, berani, dan maskulin.Â
Membayangkan sosok ini pergi ke psikolog saja sudah terasa "janggal" bagi banyak orang. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya stigma sosial terhadap laki-laki yang mencari bantuan untuk kesehatan mental.
Angka Bunuh Diri pada Laki-Laki
Masalah ini bukan sekadar teori. Survei Priory yang dilakukan terhadap 1.000 pria di Inggris menemukan bahwa 40% responden tidak pernah membahas kesehatan mental mereka.Â
Alasan utama? Rasa malu dan stigma negatif terhadap topik ini. Ironisnya, 77% dari mereka mengaku mengalami gejala kecemasan, stres, atau depresi.