Jika kita menghitung secara kasar berapa banyak uang yang dihabiskan Gen Z untuk hiburan dan teknologi setiap tahun, kita dapat membandingkannya dengan biaya memiliki rumah.Â
Anggaplah seorang individu mengeluarkan Rp20 juta per tahun untuk hiburan dan teknologi.Â
Namun, untuk memiliki rumah di kota-kota besar seperti Jakarta, diperlukan lebih dari 10 tahun hanya untuk menabung uang tersebut sebagai uang muka.Â
Ini menggambarkan bahwa faktor gaya hidup tidak dapat secara langsung dijadikan kambing hitam atas sulitnya kepemilikan rumah.
Pasar Properti yang Tak Terkendali
Penting untuk menyadari bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah sulitnya kepemilikan rumah.Â
Fenomena pasar properti yang tak terkendali, di mana harga rumah terus melambung tinggi, bukanlah hal yang unik.Â
Mekanisme pasar yang tidak seimbang antara pasokan dan permintaan menjadi pemicu utama dari masalah ini.
Terbatasnya lahan dan tingginya kebutuhan akan rumah membuat harga properti terus meningkat.Â
Di sisi lain, kebijakan spekulasi properti, di mana rumah dianggap sebagai instrumen investasi daripada tempat tinggal, semakin memperparah permasalahan ini.Â
Menurut data, 1% populasi Indonesia menguasai 46,6% kekayaan negara. Ini menciptakan kesenjangan yang besar dalam kepemilikan dan mengontrol harga properti.
Kebijakan Pemerintah untuk Mengendalikan Harga Properti
Mengatasi masalah kepemilikan rumah memerlukan upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah memiliki peran kunci dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kepemilikan rumah yang lebih terjangkau.