Kembali lagi, setelah sekian lama, lama sekali. Aku mulai menulis lagi. Sangat beda rasanya, ketika pertama kali menulis, atau pertama kali lagi menulis (semoga tidak akan terjadi lagi), sangat kaku, takut jelek. Ah, itu hanya bayangan saja.Â
Orang bijak bilang, carilah ilmu dan menulis lah apa yang kamu rasakan. Tapi aku tak bijak. Maka aku rasa aku hanya harus tetap menulis saja. Masa bodo!. Mungkin sukses di mata yang lain adalah dapat dilihat dari hasilnya. Mungkin mereka benar, tapi mungkin juga itu bukan yang paling benar. Lah, berarti yang benar, belum tentu benar? Atau yang benar, benar-benar tidak berarti benar? Atau benar-benar tidak ada yang benar?
"Ok. Mari kita masuk ke tabung ini, Nara." Ajakku sambil menunjuk ke sebuah tabung besar yang dilengkapi mesin-mesin yang lebih besar.
"Mari, jangan takut! Kita masuk sama-sama."
"Wah, aku pernah melihat ini di kartun kesayanganku dulu." Ucap Nara.
"Heuuh?" Aku mengernyitkan dahiku.
"Iya, Doraemon. Ingat?"
"Ah, memang mirip dengan yang ada di kartun itu. Hanya saja tidak ada jam-jam dinding yang menempel di dinding lorongnya." Aku tersenyum.
Byurrrrrrr..........!!!!
"Nara, tolong aku!" Tiba-tiba aku terjerembab ke dalam hadal yang gelap. Aku meronta-ronta.
"Hahahaha....." Nara menarikku keluar sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hanya karena kau mengajak, belum tentu kau yang paling tau, ya, Maru." Aku tergopoh-gopoh mengambil nafas.
"Hei, wajarlah. Aku dapat C ketika teman-teman perempuanku dapat A di mata pelajaran renang. Panik aku. Lagipula dulu ini masih lahan kosong. Aku tak tahu kalau sekarang sudah dibangun toilet."
"Eiihhh... Mukamu memerah." Ia belum berhenti tertawa sambil memukul-mukul pundakku.
"Sial."
"Sudah-sudah... Hahaha... Sudah.... sudaaaahhhhhaaaahaaahhaaaaa. Ayo katanya kamu mau menjawab pertanyaanku tadihihihihihihi....."
"Ok. Mari kita berkunjung ke salah satu kelas. Semoga bu Nue sedang mengajar." Aku berjalan dengan 'sok' keren.
"Wuuuuuu!!!" Nara meledekku sambil mengikutiku.
"Nara, ingat ketika pelajaran bahasa Indonesia pertama kita?"
"Emmmm... Ya, pertemuan pertama dan tugas pertama kita?" Nara sambil menempelkan telunjuk ke bibir bawahnya.
"Eemm.. Waktu kita diberi tugas membuat puisi. Aku sangat senang."
"Aaaahhh... itu memusingkan...!!! Wajar saja kamu senang, toh akhirnya puisimu dimuat di majalah."
"Weeeekkk." Aku sambil meledek Nara.
"Stop!" Nara menarikku. Ah, Bu Nue.
"Ayo!" Kali ini aku ganti menarik Nara ke arah bangku kosong di bagian belakang.
"Lalu. Apa hubungannya ini?" Nara semakin bingung. Aku hanya tersenyum. Rasanya masih sama. Rasa kagum kepada sosok guru yang pernah menyemangatiku di momen yang tepat. Dan tentu saja wajahnya tetap cerah, seperti disorot lampu dari sisi-sisinya. Hehehe.....
"Yaaaaaahhh, Ibu." Respon anak-anak ketika Bu Nue memberikan tugas di awal-awal pelajaran.
Ternyata masih sama pendekatan mengajarnya. Kali ini anak-anak diberi tugas membuat sebuah puisi selama mata pelajaran berlangsung. Mereka disuruh untuk membuat 2 puisi diafhar. 1 dikerjakan langsung, dan 1 lagi untuk PR.
Bu Nue mulai berkeliling untuk membantu anak-anak. Ia membantu mencarikan diksi, padanan kata, dan rima yang sesuai dengan keinginan anak-anak.
"Nara, lihat anak itu!"
"Ah, sangat aktif bertanya."
"Nara, lihat anak itu!"
"Hmmm... dia malu-malu, tapi tak apalah, dia sudah mencoba bertanya."
"Nara lihat anak itu!"
"Wow, ganteng."
"Hei!"
"Hehehe... memang ganteng. Sepertinya dia ketua kelasnya. Banyak anak-anak mengerubungi ketika dia bertanya kepada Bu Nue."
"Nara, lihat anak itu!"
"Hmmm... aku tak suka. Dia tidak mau bertanya, dia hanya menulis sekenanya."
"Iiihh... senyummu aneh." Sambung Nara sambil melihatku.
"Aku tak tahu kalau kau tak suka aku saat SMA."
"Heiii...!!!" Nara sambil menamparku halus.
Lama kami berkunjung ke kelas Bu Nue, sampai akhirnya bel istirahat pertama berbunyi. Anak-anak mulai mengumpulkan tugas pertama mereka di pertemuan pertama.
"Kira-kira siapa ya yang puisinya lolos?" Tanya Nara.
"Bagaimana, Bu Nue?" Tanyaku sambil menyeruput kopi Dampit yang baru saja diantarkan pelayan.
"Ini." Jawab Bu Nue sambil menunjukkan daftar nilai siswa dan lembaran-lembaran puisi siswa yang sudah ditandai.
"Hemmmm... ada yang kaku, ada yang hiperbol, ada yang datar." Ucap Nara sambil membuka tiap lembar.
"Tapi Nugi dapat nilai 90 juga padahal puisinya tidak lolos?" Tanya Nara kembali setelah melihat daftar nilai.
"Iya, kamu lihat kan, selama di kelas dia membantu anak-anak juga. Ibu sangat terbantu."
"Eeeehhh... Hima? Padahal dia selalu diledek teman-temannya ketika dikelas karena pemilihan diksinya yang aneh. Dan Ebis? Padahal Ebis tak begitu meyakinkan dikelas." Tanya Nara terkejut.
"Lalu, kalau mereka meledek kenapa? Mereka boleh mengutarakan apa yang benar-benar mereka ketahui saja. Tapi pada akhirnya ibu yang memutuskan, bukan?. Dulu juga teman-temanmu menggadang-gadang puisimu yang lolos." Jawab Bu Nue yang juga sambil menyeruput Americano-nya.
Aku tersenyum lebar. Nara menatap sinis, lalu melanjutkan bacaannya.
"Dan si ketua kelas yang sangat meyakinkan, ternyata puisinya sangat kaku." Sambung Nara.
"Iya. Gubernur kita sekarang." Jawab Bu Nue lagi.
"Aaaaaahhhhh.... Semua ini tidak keren!"
"Yah begitulah. Apa mau dikata. Kadang kita tidak benar-benar bisa melihat apa yang kita lihat. Apalagi melihat apa yang benar-benar tidak bisa kita lihat. Selalu ada yang benar-benar di satu sisi, namun benar-benar ada yang lebih benar di sisi lainnya. Kadang yang benar-benar kita lihat benar, menjadi benar-benar biasa ketika melihat hal lain yang benar-benar kita lihat benar.Â
Kadang juga kita benar-benar harus mengakui bahwa benar-benar ada yang lebih benar dari benar-benar yang kita lihat benar. Kadang yang kita kira sudah benar-benar benar, belum tentu benar-benar benar di mata orang lain. Kita hanya benar-benar melihat dan menyimpulkan apa-apa yang benar-benar kita anggap benar, tapi belum tentu yang lain akan benar-benar melihat apa-apa yang kita lihat benar itu.Â
Dan ketika kita mulai membuka diri untuk benar-benar melihat apa yang orang lain benar-benar melihat benar, tetap saja rasanya ada yang lebih benar-benar benar, bukan? Dan sampai akhirnya yang benar-benar kita lihat benar itu tetap saja kita rasakan benar-benar bukan yang paling benar. Sampai kita mengakui bahwa yang benar-benar benar adalah yang berasal dari yang maha benar, bukan yang hanya benar-benar semata.
"Hei tunggu!" Nara kaget melihat kami sudah berada di pintu keluar.
PWT, 23 Feb 2019
H.M.F
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H