"Bagaimana, Bu Nue?" Tanyaku sambil menyeruput kopi Dampit yang baru saja diantarkan pelayan.
"Ini." Jawab Bu Nue sambil menunjukkan daftar nilai siswa dan lembaran-lembaran puisi siswa yang sudah ditandai.
"Hemmmm... ada yang kaku, ada yang hiperbol, ada yang datar." Ucap Nara sambil membuka tiap lembar.
"Tapi Nugi dapat nilai 90 juga padahal puisinya tidak lolos?" Tanya Nara kembali setelah melihat daftar nilai.
"Iya, kamu lihat kan, selama di kelas dia membantu anak-anak juga. Ibu sangat terbantu."
"Eeeehhh... Hima? Padahal dia selalu diledek teman-temannya ketika dikelas karena pemilihan diksinya yang aneh. Dan Ebis? Padahal Ebis tak begitu meyakinkan dikelas." Tanya Nara terkejut.
"Lalu, kalau mereka meledek kenapa? Mereka boleh mengutarakan apa yang benar-benar mereka ketahui saja. Tapi pada akhirnya ibu yang memutuskan, bukan?. Dulu juga teman-temanmu menggadang-gadang puisimu yang lolos." Jawab Bu Nue yang juga sambil menyeruput Americano-nya.
Aku tersenyum lebar. Nara menatap sinis, lalu melanjutkan bacaannya.
"Dan si ketua kelas yang sangat meyakinkan, ternyata puisinya sangat kaku." Sambung Nara.
"Iya. Gubernur kita sekarang." Jawab Bu Nue lagi.
"Aaaaaahhhhh.... Semua ini tidak keren!"