Elis berfikir saat itu, berakhir persahabatan kami yang sudah kami rajut sekian tahun, Â ternyata tidak, minggu kemarin dia datang kesini, tidak secerah biasanya, aku dingin saja menyambutnya.
"Dia minta maaf dengan Elis, dan kami saling berpelukan, terus Elis tanya bagaimana dengan Abang, Dia bilang dosa besar yang sudah dia lakukan terhadap Abang, dia sudah tidak pantas lagi untuk Abang, Cuma dia belum berani untuk ketemu dan menceritakan semuanya kepada Abang dalam waktu dekat,"
"Elis tanya ke Anti, apa Abang sudah tahu masalah ini, dia jawab belum tahu, tapi dia juga belum tahu apakah sahabat Abang itu ada cerita ke Abang atau tidak, yang jelas semua surat, telepon, telegram Abang dia terima, termasuk saat Abang nilpun kerumah."
"Sampai tadi pagi dia minta tolong Elis temani, jadi Elis Ijin setengah hari, Anti juga tahu Abang mutasi ke Samarinda, dan Abang ke kantornya siang tadi, dia juga tahu."
"Bilang ke Anti, Abang masih menerima dia,"
"Anti tidak bersedia Bang, dia sudah tidak pantas untuk Abang, katanya."
"Elis tahu persis, kalau sudah seperti itu, dia tidak akan goyah, Bang, Maafkan Anti ya, Bang. Dia sudah salah langkah."
"Anti juga tahu, malam ini Abang kerumah Elis."
"Makanya dia nitip ini, sebentar Bang,"
Elis beranjak, wajahnya masih ada sisa-sisa air mata, dia masuk kedalam untuk mengambil sesuatu, Yoga menghela nafas dalam dan melepaskanya perlahan, sudah habis teh sedari tadi dia pegang, diletakkannya di atas meja, dilihatnya Elis keluar dengan bungkusan amplop berwarna coklat besar.
"Anti tadi mengajak Elis ke Bank, ini kata Anti, uang pembelian rumah, Anti minta maaf lagi, katanya rumah ini dia jual kembali, dan ini ada uang-uang yang dari Abang, baik yang uang muka maupun yang cicilan bulanan."