Rey, membahas tentang pintu itu lagi yang jelas sekali tidak ada yang salah.
" PADAHAL LO TEMAN KECIL GUA TRED .. "
Sumpah, topik berubah jadi mellow drama. Rey terlihat sedih. Ia merasa dikhianati sahabat sendiri karena pintu sialan. Bisikan-bisikan para bu rumpi mulai sampai ke telingaku. Bagaikan petir menyambar, aku menghalaunya dengan kepalan. Â Badanku gemetar, aku masih bisa menahan tangis dan mencoba menatap mata Rey. Dimana Rey? Ini bukan dirinya.Â
Aku mencoba mencari separuh dirinya yang menghilang. Jika saja saat itu imajinasiku membantu tenagaku pulih untuk mengangkat gelas air minum yang ada di meja depanku, pasti sudah aku lempar ke Rey. Rey membuat kami takut, beberapa dari kami menangis, dan ia juga memberikan luka kecil, sebuah trauma. Umur kami saat itu 12 tahun. Beberapa dari kami mengadu, namun tidak ada yang berani menjadi penengah. Rey seperti singa buas yang lapar.
Aku hanya bisa mendengar Tred mengucapkan kata maaf berkali-kali. Memberi alasan saat itu bukan pilihan terbaik. Otak Rey tidak menerima alasan yang masuk akal akan menjadi tidak masuk akal. Rey keluar kelas kami dengan ancamannya.Â
AWAS AJA LO ! "
Pintu dibiarkan terbuka, tidak ada satupun dari kami yang berani menyentuh ataupun sampai menutupnya. Seluruh isi kelas hening, menyisakan isak tangisan beberapa siswi. Aku merasa lega dan melemparkan tatapan tajam ke arah siswa yang terlibat. Apa-apa-an ini!.Â
Detik-detik sebelumnya yang menegangkan membuat aku kembali berdiri di antara para siswa-siswi dengan perasaan yang bercampur aduk. Baru saja kelas kami tertawan oleh dirinya, Rey. Lalu melihat semua orang disini menertawakan Rey karena tingkah konyolnya.Â
Rey mulai mengais angkasa dengan tawanya. Ia memberikan pertunjukan terbaik di panggung yang tak terukir. Rey sedang berjuang bagaimana dirinya melawan arus Sungai. Menurutku Rey tidak sadar jika seorang guru sedang bertanya sesuatu kepadanya. Rey sakit, pikirannya kacau. Rey mencoba menghilangkan akalnya.Â
Aku tidak bisa berkomentar lebih tentang hidupnya. Namun semua temanku sama, kami memiliki masalah yang sama. Dan kami memiliki sikap perlawanan yang berbeda. Rey mencoba melawan hidupnya. Ia tidak pernah mengikuti kata-kata mutiara yang seperti berbunyi jalanilah hidup seperti air yang mengalir'. Maka, disaat ia merasa tersakiti ia akan mencari cara tercepat untuk menghilangkan sakit tersebut.Â
Dan banyak orang diluar sana berani membayar mahal untuk hal ini. Sebagai catatan, orang yang tersakiti sekali di hatinya akan memberikan tanda sebuah goresan. Semakin sering hatinya tersakiti semakin banyak pula goresan tersebut. Rasa sakit goresan akan muncul tiba-tiba tanpa disadari, dimanapun, dan kapapun.Â