Namaku Mei, umurku saat itu adalah 12 tahun. Aku menduduki kelas akhir sekolah dasar. Ada yang pernah mengatakan, jika masa akhir dari setiap jenjang adalah waktu yang tepat untuk memberontak. Aku tidak berpikir serius untuk mengakui itu benar. Namun setelah menyaksikan diriku pernah menjadi pemberontakan di masa-masa itu, aku mulai mengiyakan jika penyataan itu ada benarnya.Â
Temanku juga berumur 12 tahun atau berbeda satu atau dua tahun dariku. Begitu juga dia, seseorang yang akan aku ceritakan di episode masa akhir sekolah dasar kali ini. Kami se-angkatan, kami berada di kelas yang sama, umurnya hanya berbeda 2 tahun lebih tua dariku kerena dia telat masuk sekolah dasar. Aku tidak memanggilnya dengan embel-embel kakak, aku memanggilnya dengan namanya, Rey.
" REY ! "
Bu Anita meneriaki Rey yang memajukan beberapa senti wajahnya ke depan. Rey hanya menyaut setelah berhasil mendengar suara Bu Anita. Ia tidak diam dan menunduk seperti seseorang yang akan dimarahi. Rey adalah salah satu dari siswa yang berani melakukan hal ini. Kedua tangannya berayun-ayun tantrum tidak terarah. Ia berdiri tidak tegak seperti butuh penompang tongkat. Gaya berdiri seperti kakek tua itu masih meninggalkan bekas songong preman tongkrongan di wibawanya.
" JADI, COBA JELASKAN BAGAIMANA KAMU MEMUKUL ANDREY ? "
Mungkin, inilah alasan Bu Anita meneriaki Rey di tengah-tengah banyak siswa yang menonton. Aku baru saja keluar kelas setelah bel berbunyi dan mendapati depan kelas padat akan siswa menonton drama Rey yang hilang akal dengan Bu Anita yang mengerjainya. Itu bukan judul yang baru saja aku ketik asal, karena sebelum Rey kembali bertingkah, aku melihat Bu Anita sedikit tersenyum. Senyuman yang diletakan di tempat yang tidak seharusnya membuat aku mengambil kesimpulan bahwa Bu Anita saat ini berpura-pura tidak tahu jika sedang menanyakan sesuatu kepada anak muridnya yang Bu Anita sendiri tahu bagaimana keadaannya sehingga memutuskan untuk mempermalukan Rey di depan semua murid yang menonton. Bu Anita tidak marah seperti suaranya yang meninggi, dan juga bukan seperti orang yang tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Seharusnya Rey akan sedikit merasakan lega jika tahu dirinya tidak akan mendapat hukuman besok. Dia hanya akan menjadi pion pertunjukan sementara sebagai imbalannya.
" JADI BEGINI BU .. "
Rey mengambil langkah besar, kepalan kedua tangan berada di dadanya. Seperti seseorang yang akan melaksanakan lomba lari berada dalam posisi start. Walaupun posisinya salah besarposisi startnya agak aneh, tapi ia memang akan bersiap lari.
" WUSHHH .. "
Rey melesat berlari memotong segerombolan siswa yang menonton, disusul suara tawa dalam kengerian, para siswa memberikan space untuk Rey. Rey mengakhirinya dengan model pengepel lantai.
" LALU SEPERTI INI BU, WUSHHHH .. "
Rey mengulangi hal yang sama, berlari memotong segerombolan siswa yang menonton di arah yang berlawanan. Posisi Bu Anita di tengah hanya menonton atraksi pion utama pertunjukan tanpa berkomentar. Dan setelahnya Bu Anita tertawa melihat kekonyolan murid premannya. Jelas sekali jika Rey tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Bu Anita tentang bagaimana cara Rey memukul Andrey. Rey hanya bermain-main seperti anak kecil, tanpa mengerti soal yang dipermasalahkan. Dan apa yang dibutuhkan. Dia bebas untuk saat ini.
Aku akan memundurkan cerita tepat 2 jam yang lalu, disaat bel masuk kelas pertanda istirahat telah usai. Aku duduk di baris tengah ketiga. Dengan selingan barisan cowo lalu cewe dan seterusnya. Para siswa masuk ke kelas setelahnya. aku tidak terlalu memperdulikan mereka dan meneruskan perbincangan hangat dengan temanku. Suasanan aneh muncul setelah aku merasa kelas ini terlalu hening, tidak seperti hari biasanya. Semua anak murid duduk di kursi masing-masing. Hanya ada seorang temanku, Anji yang berdiri tepat di belakang pintu yang tetutup.Â
Tidak berselang waktu, terdengar suara ketokan pintu. Tidak ada yang bergerak untuk membuka, karena kita tahu itu adalah kerjaan anak cowo kelas tentangga yang coba mengerjai kelas kami seperti hari biasa. Suara ketokan berubah menjadi suara gerebakan. Anji tetap diam, mungkin ia mencoba memahami orang yang menggerebak pintu. Pintu tidak terkunci. Jadi, apa susahnya membuka pintu tersebut jika seseorang di luar tersebut ingin masuk. Lalu gerebakan terulang berkali-kali hingga pintu terbuka.Â
Terdapat Rey di luar. Aku akan mencoba mendeskripsikan keadaannnya yang sangat berantakan. Rey masuk dengan sempoyongan, baju seragam yang ia pakai lebih cocok dijadikan pel lantai karena saking kucelnya. Rambut hitamnya berantakan, wajahnya meringgas. Matanya sayup dan memerah, akan siap menerkamkan mangsa, rey berada di puncak amarah.Â
Ia mencoba memukul Anji, Anji yang kebingungan berusaha menghindar hingga Rey berhasil memojokannya dan puas memukulnya. Aku tidak bisa melihat jelas keadaan keduanya karena terhalang dua meja dan kursi. Rey melemparkan Anji banyak kutukan. Mulai dari binatang yang najis lalu hal yang memang najis. Amarahnya tidak berhenti, Rey berkata tidak jelas.
" BERANINYA LO KUNCIIN GUE! PADAHAL GUA MAU MASUK! "Â
Lalu,Â
" EH, Axxx JAHAT LO! APA SALAH GUE! "
Aku mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi dan masih terjadi. Jelas-jelas pintu tertutup dan tidak terkunci. Semua orang sampai anak kecil akan bisa membuka pintu dengan mudah jika mereka memuter engsel pintu. Anji tidak menguncinya atau menahan pintu sampai harus mendapat pukulan dan makian. Beberapa siswi mencoba melerai dengan kata, namun ditahan oleh siswa. Seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan atau takutkan terjadi lebih parah dari ini.Â
Setelah puas memaki Anji, Rey mengalihkan perhatiannya ke Tred, teman dekat Rey dari kecil. Tred duduk di barisan belakang membuat aku dapat melihat mata merah Rey dengan jelas saat ia melangkah mendekati Tred. Beberapa siswi mulai menyingkir dari barisan depan saat Rey mulai masuk. Mereka menangis dan berpindah ke bagian paling aman. Tred berdiri menghampiri Rey, tepat di sisi kiriku mereka berbicara. Alarmku berbunyi, petanda ini tidak baik. Tetapi aku tetap berdiam di kursiku dan menyaksikan.
TEGA LO, NYURUH ANAK KELAS LO NGUNCIIN GUA-KAN! "
Rey, membahas tentang pintu itu lagi yang jelas sekali tidak ada yang salah.
" PADAHAL LO TEMAN KECIL GUA TRED .. "
Sumpah, topik berubah jadi mellow drama. Rey terlihat sedih. Ia merasa dikhianati sahabat sendiri karena pintu sialan. Bisikan-bisikan para bu rumpi mulai sampai ke telingaku. Bagaikan petir menyambar, aku menghalaunya dengan kepalan. Â Badanku gemetar, aku masih bisa menahan tangis dan mencoba menatap mata Rey. Dimana Rey? Ini bukan dirinya.Â
Aku mencoba mencari separuh dirinya yang menghilang. Jika saja saat itu imajinasiku membantu tenagaku pulih untuk mengangkat gelas air minum yang ada di meja depanku, pasti sudah aku lempar ke Rey. Rey membuat kami takut, beberapa dari kami menangis, dan ia juga memberikan luka kecil, sebuah trauma. Umur kami saat itu 12 tahun. Beberapa dari kami mengadu, namun tidak ada yang berani menjadi penengah. Rey seperti singa buas yang lapar.
Aku hanya bisa mendengar Tred mengucapkan kata maaf berkali-kali. Memberi alasan saat itu bukan pilihan terbaik. Otak Rey tidak menerima alasan yang masuk akal akan menjadi tidak masuk akal. Rey keluar kelas kami dengan ancamannya.Â
AWAS AJA LO ! "
Pintu dibiarkan terbuka, tidak ada satupun dari kami yang berani menyentuh ataupun sampai menutupnya. Seluruh isi kelas hening, menyisakan isak tangisan beberapa siswi. Aku merasa lega dan melemparkan tatapan tajam ke arah siswa yang terlibat. Apa-apa-an ini!.Â
Detik-detik sebelumnya yang menegangkan membuat aku kembali berdiri di antara para siswa-siswi dengan perasaan yang bercampur aduk. Baru saja kelas kami tertawan oleh dirinya, Rey. Lalu melihat semua orang disini menertawakan Rey karena tingkah konyolnya.Â
Rey mulai mengais angkasa dengan tawanya. Ia memberikan pertunjukan terbaik di panggung yang tak terukir. Rey sedang berjuang bagaimana dirinya melawan arus Sungai. Menurutku Rey tidak sadar jika seorang guru sedang bertanya sesuatu kepadanya. Rey sakit, pikirannya kacau. Rey mencoba menghilangkan akalnya.Â
Aku tidak bisa berkomentar lebih tentang hidupnya. Namun semua temanku sama, kami memiliki masalah yang sama. Dan kami memiliki sikap perlawanan yang berbeda. Rey mencoba melawan hidupnya. Ia tidak pernah mengikuti kata-kata mutiara yang seperti berbunyi jalanilah hidup seperti air yang mengalir'. Maka, disaat ia merasa tersakiti ia akan mencari cara tercepat untuk menghilangkan sakit tersebut.Â
Dan banyak orang diluar sana berani membayar mahal untuk hal ini. Sebagai catatan, orang yang tersakiti sekali di hatinya akan memberikan tanda sebuah goresan. Semakin sering hatinya tersakiti semakin banyak pula goresan tersebut. Rasa sakit goresan akan muncul tiba-tiba tanpa disadari, dimanapun, dan kapapun.Â
Otak seakan tidak bisa mengontrolnya apalagi memerintahkannya untuk berhenti. Bagi seseorang yang imannya cetek, Ia akan mencoba mengalau rasa sakit tersebut dengan rasa sakit yang lebih besar. You know what I know. Yeah, menyakiti diri sendiri dengan cutter lalu lebih parahnya, akhir dari segala rasa sakit menurutnya adalah bunuh diri.Â
Aku sedikit respect, Rey tidak melakukan hal terhina tersebut namun terkadang ia menyakiti dirinya melalui tawuran antar sekolah kami dengan sekolah samping kuburan. Dan untuk kali ini, Rey membutuhkan cara baru untuk menghilangkan semua beban kesialan hidupnya.Â
Maka dari itu, Rey mencoba menghilang. Walaupun hanya sementara. Rey, di umurnya yang hanya 2 tahun lebih tua dariku. Ia telah menemukan cara baru untuk menghilangkan rasa sakit di hidupnya. He's drunk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H