Mohon tunggu...
mi imut
mi imut Mohon Tunggu... -

Tertarik dunia junalistik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Asu Panteng

6 Juli 2010   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Engka Asu Panteng! Engka Asu Panteng ( semacam anjing tapi dalam bentuk magis)!"teriakan penduduk desa memecah keheningan malam.

"Asu Panteng?" tanyaku ragu.

"Iyo, Asu Panteng itu semacam anjing jadi-jadian, kalau suaranya jauh berarti anjing itu dekat begitu pula sebaliknya, bentuknya sulit dijelaskan, Asu Panteng bisa membunuh jika bertemu manusia," jelas Deng Rumpa, kepala suku yang rumahnya kami pakai menginap malam ini.

Kami bertiga berniat mendaki puncak Gunung Panttontongan malam ini, namun kabut yang cukup tebal menghalangi perjalanan kami. Terpaksa, kami harus istrahat hingga subuh menjelang.

"Kalian istirahat saja dulu, perjalanan malam sangat berbahaya apalagi akhir-akhir ini Asu Panteng sering berkeliaran di kampung ini, saya keluar mengecek keadaan kampung," ujar Deng Rompa sambil berlalu menutup pintu rumahnya dari luar. Meninggalkan kami yang diam membeku. Sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan.

Aku, Pardi dan Rina saling mendekatkan diri. Wajah Rina semakin pias.

"Beddu, katanya kalau suaranya jauh, berarti Asunya dekat? suaranya kan jauh," ujar Rina lamat-lamat.

"Hush, kamu tidur saja dia akan dekat dekan dengan cewek yang ketakutan," ledek Pardi.

"Sudah-sudah kalian semua tidur jam lima kita berangkat besok,okay!" menghentikan pertikaian mereka.

Akhirnya, kami pun terlelap. Kami tak mendengar lagi kedatangan Deng Rumpa.

****

Pukul setengah lima saya terbangun, kemudian membangunkan Rina dan Pardi. Setelah berkemas kami pun pamit kepada Deng Rumpa. Ia menatap kami dengan tatapan tak percaya. Penduduk asli pun tidak berani bepergian jika suasana kampung masih gelap. Dengan berat hati Deng Rumpa melepas kepergian  kami.

"Jika melihat sesuatu yang aneh jangan pernah menegur atau jika terjadi sesuatu segera minta

pertolongan sama orang kampung," nasihat Deng Rumpa. Dengan keteguhan hati kami pun melanjutkan perjalanan. Asu Panteng mungkin ada tapi, saya berharap kami tidak pernah bertemu dengannya.

****

Suara binatang mulai menyapa kami saat menginjakkan kaki di depan rumah Deng Rumpa. Kami mulai memasuku kawasan hutan. Perjalanan menanjak dan jurang di sisi kanan siap menelan tubuh kami jika tidak hati-hati. Matahari pun tampak enggan menampakkan sinarnya walau waktu telah menunjukkan pukul 06.00. Kabut pun seakan bernyanyi menyambut kedatangan kami. Perjalanan masih lima jam lagi. Diperkirakan kami tiba sebelum puku; 12.00.

" Aku lelah Beddu, kita istirahat dulu," keluh Rina sambil mengusap wajahnya yang telah dibasahi keringat.

"Okay,kita istirahat sejenak," ujarku sambil menyandarkan career.

Tiba-tiba suasana hutan hening, tak ada suara sahut-sahutan binatang, tumbuhan pun seolah layu seketika.

"Ada apa Pardi?" ujarku berbisik.

"Menunduk...menunduk," bisik Pardi sambil menyentakkan kepalaku dan kepala Rina serentak.

Betapa terkejutnya kami, ketika menggelindding diatas kepala kami bola api sebesar buah kelapa. Bola api ini menirukan suara lolongan anjing.

"AaaaaaaaaaaaaaaaaauuuuuuuuuuuuuuuAaaaaaaaaaaauuuuuuuuuuuuuuu"

Lolongan itu dengan samar-samar keluar dari bola api tersebut.

Tak lama bola api api tersebut berlalu. Suasana sontak normal seperti biasa.

"Syukurlah ia cepat berlalu," teriakku senang.

"Akhirnya, kita selamat," ujar Pardi.

Namun, suara Rina tak terdengar. Kami pun melihatnya tergeletak di sisi kami.

"Rin...Rin... kamu kenapa Rin," teriakku panik.

"Ya... Allah  kami belum setengah perjalanan, lindungilah kami," doaku dalam hati. Kami pun panik melihat kondisi Rina. Ia tak bergerak sama sekali meskipun tarikan napasnya masih teratur.

"Rin...Rin..." kuguncang tubuhnya. Kondisi Rina sedikit memberiku keyakinan bola api itu memang bisa membunuh manusia. Bagaimana jika Rina meninggal? Bagaimana jika ia tidak tertolong.

"Pardi segera minta pertolongan, biasanya ada warga yang mencari bakar sekitar sini." Pardi pun bergegas meninggalkan kami berdua di tengah hutan.

Pardi belum hilang dari pandangan, Rina bergerak. Tiba-tiba ia tertawa. Saya pun berteriak memanggil Pardi.

" Hahahah muka kamu lucu sekali Beddu," ujarnya cekikikan.

"Rin kamu tidak apa-apa kan? tanyaku panik. Begitu pula Pardi yang tidak sanggup lagi berkata-kata.

" Aku tidak apa-apa, aku hanya kelelahan," jawabnya.

" Aku kira kamu diganggu Asu Panteng."

"Ah...itukan hanya mitos," jawab Rina.

Hanya aku dan Rina yang berbicara. Pardi nampaknya juga kelelahan.

Kami pun menoleh ke arahnya. Mungkin ia kelelahan untuk selamanya.

Matanya terbelalak keluar dengan lidah menjulur.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun