Pukul setengah lima saya terbangun, kemudian membangunkan Rina dan Pardi. Setelah berkemas kami pun pamit kepada Deng Rumpa. Ia menatap kami dengan tatapan tak percaya. Penduduk asli pun tidak berani bepergian jika suasana kampung masih gelap. Dengan berat hati Deng Rumpa melepas kepergian kami.
"Jika melihat sesuatu yang aneh jangan pernah menegur atau jika terjadi sesuatu segera minta
pertolongan sama orang kampung," nasihat Deng Rumpa. Dengan keteguhan hati kami pun melanjutkan perjalanan. Asu Panteng mungkin ada tapi, saya berharap kami tidak pernah bertemu dengannya.
****
Suara binatang mulai menyapa kami saat menginjakkan kaki di depan rumah Deng Rumpa. Kami mulai memasuku kawasan hutan. Perjalanan menanjak dan jurang di sisi kanan siap menelan tubuh kami jika tidak hati-hati. Matahari pun tampak enggan menampakkan sinarnya walau waktu telah menunjukkan pukul 06.00. Kabut pun seakan bernyanyi menyambut kedatangan kami. Perjalanan masih lima jam lagi. Diperkirakan kami tiba sebelum puku; 12.00.
" Aku lelah Beddu, kita istirahat dulu," keluh Rina sambil mengusap wajahnya yang telah dibasahi keringat.
"Okay,kita istirahat sejenak," ujarku sambil menyandarkan career.
Tiba-tiba suasana hutan hening, tak ada suara sahut-sahutan binatang, tumbuhan pun seolah layu seketika.
"Ada apa Pardi?" ujarku berbisik.
"Menunduk...menunduk," bisik Pardi sambil menyentakkan kepalaku dan kepala Rina serentak.
Betapa terkejutnya kami, ketika menggelindding diatas kepala kami bola api sebesar buah kelapa. Bola api ini menirukan suara lolongan anjing.