" Memangnya dia Tuhan sehingga bisa menentukan arah hidup orang," kata seorang lelaki saat mareka berkumpul di sebuah warkop di pusat Kota.
" Tapi apa yang ditulisnya amat benar dan berdata. Faktanya demikian," jawab para pengobrol di warkop itu.
" Ah. Dia kan tak lagi dipercayai petinggi daerah. Jadi membuat sensasi," balas lelaki itu.
" Oh...kalau begitu anda salah. Justru petinggi daerah sering menanyakan dia. Kenapa tak pernah datang lagi bertemu beliau," jawab pengobrol lainnya.Â
Jalanan siang itu sunyi. Suara knalpot roda dua dan empat terhenti. Jalanan seolah sepi. Hening.
Lelaki itu kini bangkit dari keterasingan. Berlari meninggalkan para narator yang masih asyik dengan cerita kunonya. Berlari meninggalkan para pengobrol yang masih asyik bermimpi tentang masa lalu orang tanpa mampu mengobatinya. Berlari bersama tatapan masa depan yang mulai direngkuhnya. Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi.Â
Matahari pun menatapnya dengan sinar terangnya.Sinar mentari menerangi jiwanya. Menerangi jalan kehidupannya.
Disebuah sudut Kota, seorang perempuan kini mulai tersenyum bahagia melihat lelaki itu bisa berlari dan menatap masa depannya dengan rasa bahagia. Seutas rasa sesal dia hapus dari memori hidupnya.
" Ternyata tak semua persoalan harus dinarasikan dengan orang lain," nasehatnya kepada anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa.
" Karena dampaknya besar dan luas. Apalagi kalau persoalan itu kita narasikan dengan mareka yang bukan ahlinya. maka kehancuran yang akan mendera kita," sambungnya.
Malam mulai tiba. Senyum rembulan mulai tampak. Cahaya terangnya mempesona. Tatapan kebahagian pun muncrat di wajah wanita itu. Disebuah tayangan televisi berita, dia mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara yang menggelegar. Suara yang berapi-api. Ya, suara itu amat dikenalnya. Suara lelakinya.