Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Itu

27 Agustus 2021   22:50 Diperbarui: 27 Agustus 2021   23:08 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Memangnya dia Tuhan sehingga bisa menentukan arah hidup orang," kata seorang lelaki saat mareka berkumpul di sebuah warkop di pusat Kota.

" Tapi apa yang ditulisnya amat benar dan berdata. Faktanya demikian," jawab para pengobrol di warkop itu.

" Ah. Dia kan tak lagi dipercayai petinggi daerah. Jadi membuat sensasi," balas lelaki itu.

" Oh...kalau begitu anda salah. Justru petinggi daerah sering menanyakan dia. Kenapa tak pernah datang lagi bertemu beliau," jawab pengobrol lainnya. 

Jalanan siang itu sunyi. Suara knalpot roda dua dan empat terhenti. Jalanan seolah sepi. Hening.

Lelaki itu kini bangkit dari keterasingan. Berlari meninggalkan para narator yang masih asyik dengan cerita kunonya. Berlari meninggalkan para pengobrol yang masih asyik bermimpi tentang masa lalu orang tanpa mampu mengobatinya. Berlari bersama tatapan masa depan yang mulai direngkuhnya. Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi. 

Matahari pun menatapnya dengan sinar terangnya.Sinar mentari menerangi jiwanya. Menerangi jalan kehidupannya.

Disebuah sudut Kota, seorang perempuan kini mulai tersenyum bahagia melihat lelaki itu bisa berlari dan menatap masa depannya dengan rasa bahagia. Seutas rasa sesal dia hapus dari memori hidupnya.

" Ternyata tak semua persoalan harus dinarasikan dengan orang lain," nasehatnya kepada anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa.

" Karena dampaknya besar dan luas. Apalagi kalau persoalan itu kita narasikan dengan mareka yang bukan ahlinya. maka kehancuran yang akan mendera kita," sambungnya.

Malam mulai tiba. Senyum rembulan mulai tampak. Cahaya terangnya mempesona. Tatapan kebahagian pun muncrat di wajah wanita itu. Disebuah tayangan televisi berita, dia mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara yang menggelegar. Suara yang berapi-api. Ya, suara itu amat dikenalnya. Suara lelakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun