Cerpen : lelaki Itu
Setiap menjelang bulan September tiba, ada rasa lara yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Ada rasa duka yang mendalam yang tak bisa ternarasikan dengan kata-kata bak puitis. Ada dendam yang membara. Ada rasa sesal. Ada luka yang menganga yang tak bisa diobati hingga akhir hayatnya.
Dan semua stigma buruk pun terpatri kini dalam kehidupannya. Tak terlupakan dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia dan seorang lelaki dewasa.
Lelaki itu sangat kaget ketika seorang wanita membangunkannya dari rasa lelap yang terasa berat. Semalam dia begadang usai pertemuan dengan petinggi daerah. Dan dia melihat tatapan mata wanita itu sangat garang. Sangat garang yang belum pernah ditemuinya selama mareka bersama.
" Ini sms siapa? Siapa? tanya wanita itu dengan wajah garang.
Kecantikannya berubah 180 derajat.
" Kawan," jawab lelaki itu.
" Siapa? Tolong jelaskan siapa pengirim sms itu? hardik wanita itu.
Tatapan matanya merah. Ada rasa kebencian yang mendalam.
Lelaki itu tak berdaya. Terkulai dimakan narasi buruk. Seorang narator dengan bangga menghembuskan stigma buruknya sebagai lelaki jalang menguap ke udara bebas. Semua mata memandangnya dengan hina. Tanpa ada rasa belas kasian. lelaki itu seolah hidup dalam jeruji besi.
Terkukung dalam sangkar bumi yang tak berjarak. Tak ada pembelaan. Tak ada sama sekali. Yang ada hanya cibiran. Julukannya mengalahkan para koruptor yang menghabiskan uang rakyat.
" Ternyata dia itu seorang lelaki jalang. Aku tak menyangka sama sekali," ungkap seorang temannya.
" Iya. Aku sama sekali tak menyangka. Bejat sekali perilakunya," sela yang lain.
" Ini aib yang tak sangat memalukan," sambung yang lain.
" Dan memilukan," serobot temannya.
Lelaki itu berjalan gontai susuri hari. Susuri rentanya malam dengan tatapan kosong melompong. Hari-harinya hanya bersama angin yang mengalir tanpa arah. Kadang ke utara. Kadang ke selatan. Rasa harga dirinya hilang.
Kepercayaan dirinya lenyap dibawa angin narator. Tak tahu harus mengadu kemana. Pengadilan rakyat memang menyakitkan. Tak terbantahkan. Tak ada apologi. Tak ada. Semua mendakwanya tanpa ampun. Mengiris sendi hidupnya hingga darah berceceran di jalanan. Meninggalkan luka yang amat dalam.
" Sekarang baru dia rasakan bagaimana sakitnya hidup dengan stigma buruk itu," ujar narator.
" Iya. Biar dia tahu bagaimana sakitnya kita yang telah dipermalukannya," sela suami narator.
" Biar dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Dan biar semua penghuni daerah ini tahu siapa kita. Dan mareka tak mudah memperlakukan kita seenak hati mareka," sambung suami sang narator.
" Dasar lelaki perusak masa depan anak orang," teriak narator dengan suara geram.
Berhari-hari, lelaki itu berusaha bangkit. Kehobiannya menulis kini menjadi cara ampuh dalam mengusir rasa sepinya. Jutaan kata dituangkannya lewat kalimat indah.
Dan penghuni Kota kaget setengah mati, ketika pada suatu suatu malam, suara beratnya menguncang nusantara. Narasinya tentang suatu permasalahan daerah bergema melalui sebuah saluran televisi berita terkenal. Namanya mendadak terkenal. Orang-orang mulai mencari dirinya.
" Hebat Gama. Hebat. Semalam suaranya menggema di televisi," kata seorang temannya.
" Iya. Saya juga dengar," sela yang lain.
" Dia bangkit dari rasa sesalnya," sambung yang lain.
" Aku tak percaya, dia bisa berbicara di media televisi itu. Itu televisi terkenal," bantah yang lain.
" Ntar malam anda tonton acara itu. Dengarkan. Baru anda percaya," jawab temannya.
" Itu bukti kalau anda kalah bersaing dengan dia. Semua orang mendengarkan. Itu fakta yang tak terbantahkan. Makanya rajin-rajin nonton televisi. Jangan cuma cuap-cuap di warkop," sela yang lain.
Gelegar suaranya yang mendengung lewat televisi berita itu menjadi bahan perbincangan para penghuni Kota. Mareka mulai meninggalkan cerita tentang stigma buruk tentang dirinya sebagai lelaki jalang. Mareka mulai bercerita tentang kehebatan lelaki itu.
Dan lelaki itu masih tetap sendiri. Berjalan susuri hari dengan sejuta ide dan gagasan. Susuri malam dengan sejuta gagasan yang dituangkannya lewat tulisan dan suara. Suaranya kini menjadi trending topik warga Kota. Mareka menunggu di depan televisi apa yang akan dinarasikan lelaki itu pada malam ini dan seterusnya. lelaki itu kini bermartabat sebagai lelaki di mata para penghuni Kota.
Warga Kota kembali gempar ketika sebuah tulisan karya lelaki itu mareka baca di sebuah koran lokal. isinya mengkritisi tentang perilaku orang-orang yang sering bersama dengan petinggi daerah hanya untuk menghisap darah kekuasaan dan kepentingan dirinya.
" Memangnya dia Tuhan sehingga bisa menentukan arah hidup orang," kata seorang lelaki saat mareka berkumpul di sebuah warkop di pusat Kota.
" Tapi apa yang ditulisnya amat benar dan berdata. Faktanya demikian," jawab para pengobrol di warkop itu.
" Ah. Dia kan tak lagi dipercayai petinggi daerah. Jadi membuat sensasi," balas lelaki itu.
" Oh...kalau begitu anda salah. Justru petinggi daerah sering menanyakan dia. Kenapa tak pernah datang lagi bertemu beliau," jawab pengobrol lainnya.
Jalanan siang itu sunyi. Suara knalpot roda dua dan empat terhenti. Jalanan seolah sepi. Hening.
Lelaki itu kini bangkit dari keterasingan. Berlari meninggalkan para narator yang masih asyik dengan cerita kunonya. Berlari meninggalkan para pengobrol yang masih asyik bermimpi tentang masa lalu orang tanpa mampu mengobatinya. Berlari bersama tatapan masa depan yang mulai direngkuhnya. Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi.
Matahari pun menatapnya dengan sinar terangnya.Sinar mentari menerangi jiwanya. Menerangi jalan kehidupannya.
Disebuah sudut Kota, seorang perempuan kini mulai tersenyum bahagia melihat lelaki itu bisa berlari dan menatap masa depannya dengan rasa bahagia. Seutas rasa sesal dia hapus dari memori hidupnya.
" Ternyata tak semua persoalan harus dinarasikan dengan orang lain," nasehatnya kepada anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa.
" Karena dampaknya besar dan luas. Apalagi kalau persoalan itu kita narasikan dengan mareka yang bukan ahlinya. maka kehancuran yang akan mendera kita," sambungnya.
Malam mulai tiba. Senyum rembulan mulai tampak. Cahaya terangnya mempesona. Tatapan kebahagian pun muncrat di wajah wanita itu. Disebuah tayangan televisi berita, dia mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara yang menggelegar. Suara yang berapi-api. Ya, suara itu amat dikenalnya. Suara lelakinya.
Toboali, Jumat barokah, 27 Agustus 2021
Salam sehat dari Kota Toboali
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI