Terkukung dalam sangkar bumi yang tak berjarak. Tak ada pembelaan. Tak ada sama sekali. Yang ada hanya cibiran. Julukannya mengalahkan para koruptor yang menghabiskan uang rakyat.
" Ternyata dia itu seorang lelaki jalang. Aku tak menyangka sama sekali," ungkap seorang temannya.
" Iya. Aku sama sekali tak menyangka. Bejat sekali perilakunya," sela yang lain.
" Ini aib yang tak sangat memalukan," sambung yang lain.
" Dan memilukan," serobot temannya.
Lelaki itu berjalan gontai susuri hari. Susuri rentanya malam dengan tatapan kosong melompong. Hari-harinya hanya bersama angin yang mengalir tanpa arah. Kadang ke utara. Kadang ke selatan. Rasa harga dirinya hilang.Â
Kepercayaan dirinya lenyap dibawa angin narator. Tak tahu harus mengadu kemana. Pengadilan rakyat memang menyakitkan. Tak terbantahkan. Tak ada apologi. Tak ada. Semua mendakwanya tanpa ampun. Mengiris sendi hidupnya hingga darah berceceran di jalanan. Meninggalkan luka yang amat dalam.
" Sekarang baru dia rasakan bagaimana sakitnya hidup dengan stigma buruk itu," ujar narator.
" Iya. Biar dia tahu bagaimana sakitnya kita yang telah dipermalukannya," sela suami narator.
" Biar dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Dan biar semua penghuni daerah ini tahu siapa kita. Dan mareka tak mudah memperlakukan kita seenak hati mareka," sambung suami sang narator.
" Dasar lelaki perusak masa depan anak orang," teriak narator dengan suara geram.