Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penjelajah Masa Lalu (Episode 10, Candi Laut Selatan)

19 Oktober 2019   10:24 Diperbarui: 19 Oktober 2019   10:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya

Dewi menangis tersedu-sedu. Semua yang dirasakannya dua hari terakhir ini ditumpahkannya dengan sesenggukan. Dadanya sesak dan dia merasa sangat kelelahan. Ketika melihat semua temannya lengkap di hadapan, tak urung hatinya dipenuhi campur aduknya perasaan. Lega, bahagia, letih, dan pedih.

Ketiga lelaki itu membiarkan Dewi melampiaskan semua perasaan tertekannya. Mereka maklum. Entah seberat apa, tapi yang dialami Dewi pasti mengguncang jiwanya.

“De..dewi…,” Dara berucap lirih. Tubuhnya terlihat bergerak lemah.

Dewi menubruk tubuh sahabatnya yang berusaha bangkit dengan susah payah. Kedua perempuan itu saling berpelukan. Merasa senasib. Masuk dalam pusaran magis yang tak terbayangkan di puing-puing candi laut selatan.

Suasana hening dipatahkan oleh suara tegas Raja.

“Kita harus segera keluar dari sini. Situasi masih tidak menentu. Dewi, siapa tadi di ruangan bawah yang menjeritkan namamu?”

“Aku tidak tahu namanya Raja, tapi yang lain memanggilnya si pemimpin.”

“Apakah memang dia pemimpin dari semua ini?” Raka menyela penasaran.

“Tidak. Ada yang jauh lebih besar daripada ini. Kau pasti tidak akan membayangkan aku berjumpa dengan siapa?”

“Siapa?” Kali ini Bima yang menyela.

“Sang Ratu Laut Selatan. Bayangkan! Sang Ratu sendiri yang datang menemuiku! Dan dia bilang aku terpilih sebagai putri sesaji….” Dewi menjeda perkataannya karena harus mengatur nafasnya. Ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya saat menyebut putri sesaji.

Dara yang sedari tadi diam mendengarkan, tiba-tiba meraih tangan Dewi, menyusuri lengan kanan Dewi menggunakan jarinya. Berhenti di urat nadi. Cukup lama, lalu menghela nafas panjang.

“Aku tahu sekarang apa bedanya,” Dara menggumam lirih seolah hanya untuk dirinya sendiri.

Teman-temannya saling berpandangan tidak mengerti. Dara menatap wajah mereka satu persatu.

“Dalam dua hari ini aku berkomunikasi dengan “mereka”. Wanita mengerikan yang taringnya berdarah berulang-ulang menyebutku sebagai putri sesaji. Aku tidak tahu persis itu berarti apa tapi dia menunjukkan ciri-cirinya,” Dara berhenti sebentar untuk mengambil nafas.

“Detak nadi calon putri sesaji sangat lambat dibanding detak manusia biasa apabila berada di situs candi ini. Hanya separuh dari detak nadi normal. Dan aku sudah membuktikan baru saja bahwa detak nadi Dewi memang sangat lambat. Persis ciri-ciri yang disebutkan,” Dara mengakhiri perkataannya.

“Lalu? Bagaimana dengan detak nadimu Dara?” Raja bertanya halus.

“Sama persis seperti Dewi, Raja. Coba kau pegang kedua pergelangan kami bersamaan,” Dara mengangsurkan tangannya.

Raja meraih tangan Dewi dan Dara. Memegang pergelangannya di kanan dan kiri. Memejamkan mata dan fokus. Hmm.

Raja lalu meraih tangan Raka dan Bima. Kembali berkonsentrasi pada kecepatan detak nadi kedua lelaki itu. Membuka mata dan mengganggukkan kepala.

“Dara benar. Detak nadi kalian jauh lebih lambat dibanding dengan Raka dan Bima.”

“Selain detak nadi, apakah ada ciri-ciri lainnya Dara?” Bima menukas penasaran.

“Ada! Ada 2 hal lagi. Pertama apabila di bahu kanan akan muncul semacam pertanda yang sebelumnya tidak ada. Seperti tanda lahir yang berbentuk gelombang. Begitu kata wanita mengerikan itu,” Dara menjawab sembari menyingkap sedikit bajunya di bagian bahu. Nampak sebuah tanda lahir seperti ombak lautan di bahunya.

“Lalu yang paling utama adalah jika putri sesaji bercermin maka bayangan dirinya di cermin akan selalu berpakaian tradisional berwarna hijau meskipun pada kenyataannya tidak,” Dara menyampaikan semuanya secara panjang lebar sebelum melanjutkan dengan kalimat yang mengejutkan.

“Detak nadi akan kembali normal dan tanda lahir di bahu akan menghilang dengan sendirinya jika sampai pada waktu yang ditetapkan ternyata ritual putri sesaji urung dilakukan karena satu dan lain hal. Wanita mengerikan itu menceritakan semuanya kepadaku. Karena dia sesungguhnya adalah putri sesaji yang menolak dan akhirnya statusnya diturunkan menjadi sesajen sehingga keadaannya menjadi seperti itu.”

Untuk beberapa saat suasana dibekap keheningan. Sebelum akhirnya dipecahkan suara Dewi.

“Jadi kita sama Dara?” Dewi bertanya untuk menegaskan sambil melihat ke arah bahunya setelah menarik lengan bajunya ke bawah. Sebuah tanda yang persis sama.

Dara hanya mengangguk lalu kembali memeluk Dewi.  

Raja menepuk lembut bahu kedua gadis itu. Dia memberi isyarat kepada Raka untuk membuka kembali sketsanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Ketiga lelaki itu nyaris terlompat mundur melihat sketsa Raka. Sketsa itu berubah total!

Jika sebelumnya sketsa itu utuh dan bagus, kali ini sketsa itu sangat berantakan! Tidak nampak lagi candi yang megah dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Hanya terlihat 2 tempat yang masih utuh dan bisa diidentifikasi.

Sebuah ruangan di bawah patung besar Wishnu dan ruangan di bawah patung besar Syiwa.

Raja tercekat. Ruangan di bawah patung besar Syiwa adalah tempat mereka saat ini dan ruang satunya adalah tempat berbahaya yang tidak jadi mereka masuki saat itu.

Dan itu terletak persis di sebelah ruangan ini.

Dan sekarang dari ruangan sebelah mulai terdengar lamat-lamat suara gamelan. Sayup-sayup. Iramanya dingin dan mencekam. Seolah bersiap mengiringi prosesi kematian.

Kelima sekawan itu saling tatap dengan gugup. Suara gamelan yang tadinya sayup-sayup itu makin lama makin jelas. Diikuti dengan suara gemuruh lain di sekeliling. Angin ribut!

Angin yang membuat baju dan rambut kelima orang itu berkibar-kibar. Seakan sedang terjadi puting beliung di dalam ruangan.

Bukan, bukan lagi sebuah ruangan! Atap di atas ruangan itu telah terangkat entah kemana! Ruangan ini sudah menjadi ruangan terbuka. Langit malam nampak demikian jelas. Termasuk bulan yang sedang memasuki puncak purnama.

Namun ada yang aneh dari bulan itu. Tubuhnya yang sempurna terlihat sangat merah.

“Bulan Darah!” Raja berteriak di tengah riuh rendah angin ribut.

-----
Bogor, 19 Nopember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun