Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Cinta Abadi Air dan Api

13 April 2019   10:43 Diperbarui: 13 April 2019   10:55 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab II

Kerumunan ilalang itu membelah
Tanah tanah retak karena ludah kemarau berhamburan
Seperti kerinduan
Mengering bersama hati yang tertumpahi tinta 
Memekatkan amarah dan bisu yang saling berlalu
Terkalahkan oleh gairah dan wajah tersipu malu
Jika kerumunan ilalang itu terbakar
Karena api mendatangi selewatan mimpi
Tanah tanah itu akan berteriak lantang
Aku butuh air airku
Aku butuh sungai sungaiku
Aku butuh danau danauku
Aku butuh lautanku
Selalu ada menjagaku

Bab III

Istana Timur.  Istana timur kerajaan Majapahit menjulang gagah dan indah.  Hari cukup istimewa pada purnama kesebelas saka ini.  Ini hari kunjungan para petinggi Istana Barat.  Perayaan sedang disiapkan untuk menyambutnya. 

Namun Bhre Wirabumi di dalam istananya mencibir upacara semu ini.  dia memang harus berpura-pura.  Jika tidak, pasukan Majapahit yang perkasa itu akan melipat istananya menjadi dua lalu meleburnya rata dengan tanah.  Dia tidak mau itu terjadi sebelum bersiap-siap saling menumpahkan darah.  Dia yakin Raja Majapahit tahu apa yang sedang dipersiapkannya dengan begitu rahasia.  Orang-orang Majapahit bukan orang-orang bodoh yang buta.

Para telik sandi berhamburan di sekitar Istana Timur.  Itu sudah pasti.  Bhre Wirabumi membatin, acara besar di purnama keduabelas pasti akan berujung pada pertikaian besar.  Para telik sandi itu pasti sedang berusaha membaui sesuatu sekarang. Dia harus melakukan semua persiapan dengan cepat.  Dan purnama keduabelas akan menjadi saat yang paling tepat untuk menyatakan sikap.

Selama ini Istana Timur hanya dianggap angin lalu.  Bhre Wirabumi bahkan menganggap Istana Timur hanyalah sebuah istana boneka untuk menyenangkan hatinya saja.  Dan dia tidak terima.  Istana Timur harus bisa berdiri sendiri.  Mempunyai kedaulatan yang diakui.  Persekutuan akan membantunya mewujudkan ini.  Dia tidak boleh gegabah.  Berbagai rencana dan persiapan matang sudah dibuat.  Hanya pembantu-pembantu terdekatnya saja yang tahu rencana ini.

Bhre Wirabumi mengangkat kepala.  Suara gaduh di luar istana mengusik lamunannya.

"Diam di tempat!  Tidak boleh siapapun memasuki wilayah istana tanpa izin panjenenganipun Bhre Wirabumi!"

"Kalian mau mati?!"

"Kami tidak takut mati!"

"Hmmm, kalian akan menyesal kenapa mesti bertemu denganku hari ini..."

Suara yang telah dikenal Bhre Wirabumi dengan baik.  Buru-buru Raja Istana Timur ini keluar istana.

Benar saja.  Dilihatnya Putri Anjani, gurunya dan Mahesa Agni tengah dikepung oleh pasukan pengawal istana.  Gadis cantik yang sekarang terkenal beringas itu sudah mengangkat tangan untuk menjatuhkan pukulan.  Bhre Wirabumi mengangkat tangannya.

"Cukup, cukup!  Pengawal, ini semua tamu yang sedang aku tunggu.  Kalian bubarlah!  Putri silahkan masuk."

Masih dengan bersungut-sungut, Putri Anjani mengikuti Bhre Wirabumi memasuki istana.  Para dayang dan pelayan wanita diberi isyarat pendek agar segera melayani mereka.

Setelah membersihkan diri sejenak dengan air hangat, rombongan Putri Anjani bergegas menemui Bhre Wirabumi di ruang perjamuan.  Raja itu sudah menunggu. 

Bukannya mengajak menikmati hidangan, Bhre Wirabumi malah berdiri lalu memberi isyarat agar mereka mengikuti.  Bhre Wirabumi menggeser sebuah meja di sudut ruangan kemudian menyentuh mata pada sebuah lukisan wajah di dinding.  Sebuah lorong rahasia terbuka di hadapan mereka.

Lorong itu turun jauh dan berliku-liku.  Melewati banyak ruangan besar yang difungsikan sebagai gudang senjata, barak tentara, dapur, ruang latihan dan aula.  Putri Anjani membatin dalam hati, rupanya Bhre Wirabumi telah bersiap sejak lama.  Raja boneka yang cerdik!

Banyak juga jebakan maut yang dipasang di sana sini.  Beberapa kali mereka berhenti karena Bhre Wirabumi harus mematikan jebakan-jebakan itu terlebih dahulu.

Tidak ada orang maupun penjaga yang ditemui sepanjang jalan menuju ruang pertemuan rahasia bawah tanah itu.  Bhre Wirabumi sangat menjaga kerahasiaan ruang bawah tanah ini.  Hanya dia dan beberapa orang terdekatnya saja yang tahu.  Orang-orang yang dulu membangun semua ini telah ikut terkubur secara rahasia di dalam lorong yang berhawa kematian itu.

Sampai juga mereka ke ruang pertemuan rahasia.  Ruang tertutup yang hanya bisa dibuka dari dalam begitu pintu ditutup karena pintu luar langsung merapat ke dinding batu. 

"Putri, aku memang menantikan kedatanganmu sebelum acara berlangsung besok.  Aku ingin tahu apa rencanamu?"  Bhre Wirabumi membuka percakapan.

"Begini paduka. Besok adalah kesempatan emas bagi kita untuk memulai gerakan.  Banyak tokoh Istana Barat hadir dalam acara peringatan.  Kita bisa mengurangi kekuatan mereka setidaknya separuh jika berhasil melenyapkan mereka di sini," Putri Anjani menukas cepat.

Datuk Rajo Bumi mengangguk-angguk.  Mengagumi kecerdasan muridnya.  Mahesa Agni bersedekap sambil mengerutkan keningnya.  Menyampaikan apa yang ada di hatinya.

"Putri, kita harus berhati-hati dalam merencanakan ini. Paduka, apakah sudah ada daftar siapa saja yang hadir dalam upacara peringatan ini?"

Bhre Wirabumi membuka selembar daun lontar berisi nama-nama.

"Tuanku Paduka Maharaja akan hadir.  Disertai dengan pasukan Sayap Sima yang dipimpin Ki Tunggal Jiwo.  Termasuk juga Panglima Besar Kerajaan yaitu Panglima Narendra.  Hanya Mahapatih Gajahmada yang tidak hadir karena sudah tersingkir ke tlatah Madakaripura semenjak kejadian Perang Bubat tempo hari."

Keempat tokoh yang sedang merencanakan pemberontakan besar tercenung sesaat.  Pasukan Sayap Sima adalah pengawal raja yang paling tangguh seantero Jawa.  Bahkan mungkin di seluruh Nusantara.  Mereka tidak boleh salah dalam mengatur strategi.  Jika salah-salah, pemberontakan itu hanya akan berumur sehari.

"Aku punya sebuah rencana Paduka.  Pasukan persekutuan kita selundupkan sebagai pelayan, among tamu dan penata acara.  Benteng rahasia ini menjadi tempat tokoh-tokoh yang sudah dikenal bersembunyi.  Menunggu waktunya tiba untuk memunculkan diri," Putri Anjani memecah kesunyian ruangan.

Bhre Wirabumi mengangguk puas.  Sekutunya ini memang cerdas.

Pembicaraan kemudian dilanjutkan untuk membahas rencana dengan lebih terperinci.  Siapa yang harus menyamar menjadi ini dan itu serta siapa saja yang mesti bersembunyi di lorong rahasia.

-----

Arya Dahana menajamkan pendengarannya.  Dia bersembunyi di balik pohon besar di sebuah hutan di wilayah Istana Timur.  Pemuda ini sengaja bersembunyi karena di dengarnya derap banyak kaki kuda di kejauhan.  Banyak sekali.  Ini pasti pasukan besar, pikir Arya Dahana berdebar-debar.

Niatnya mendatangi tempat yang diperkirakannya akan menjadi pertempuran besar hanya karena ingin menepati janji.  Janji melunasi hutang nyawa kepada Putri Anjani.  Sekaligus juga berjaga-jaga apabila nanti Gendewa Bernyawa yang akan dikembalikannya ternyata dipergunakan dengan semena-mena oleh pemiliknya.  Dia tidak mau itu terjadi.  Itu bukan peperangan namanya.  Tapi pembantaian.

Benar saja.  Dari kejauhan nampak debu mengepul tinggi.  Itu pertanda bahwa ada rombongan besar yang lewat di jalanan dengan kecepatan tinggi. Arya Dahana menduga kuat bahwa itu adalah rombongan Maharaja Majapahit.  Pemuda ini menyelinap ke balik semak lalu melompat ke atas pohon. Berlompatan selincah bajing dari dahan ke dahan. 

Arya Dahana sadar yang sedang diintainya adalah seorang Maharaja.  Tentu Maharaja itu dikelilingi oleh orang-orang berilmu tinggi.  Dia sudah pernah bentrok dengan Ki Tunggal Jiwo.  Orang tua itu punya kemampuan luar biasa.  Meskipun Arya Dahana yakin bisa mengatasinya, namun ada selarik kenangan tentang Dyah Puspita yang akan menghalanginya untuk menjatuhkan tangan keras kepada pemimpin Sayap Sima itu.

Arya Dahana menjaga jarak.  Rasanya dari sini sudah cukup baginya untuk jelas melihat.  Dua pasukan berkuda mengawal beberapa kereta kencana di tengah-tengah.  Satu pasukan yang terdiri dari puluhan pengawal di depan.  Pasukan lainnya dengan jumlah orang yang sama di belakang. 

Arya Dahana mengrenyitkan dahi.  Memang ini rombongan besar.  Tapi sedikit tidak masuk akal jika Maharaja hanya dikawal oleh pengawal dengan jumlah sekian.  Jikapun ditambahkan dengan pasukan yang dilihatnya lewat jalan lain tadi, tetap saja itu jumlah pengawalan yang tidak mencerminkan pengawalan seorang Maharaja.  Ada yang aneh di sini.

Apakah mereka begitu yakin tidak ada bahaya di Istana Timur?  Apakah para telik sandi sama sekali tidak menangkap gelagat?  Atau justru di sinilah letak kehebatan Bhre Wirabumi dan Putri Anjani dalam berstrategi?

Pemuda ini sangat yakin bahwa Istana Timur sedang menyiapkan perangkap berbahaya.  Ini adalah kesempatan langka yang tidak mungkin disia-siakan oleh mereka.  Maharaja dan sebagian kekuatannya mendatangi sarang singa yang sedang tertidur namun setiap saat siap menerkam.

Lalu apa yang harus dilakukannya nanti jika sampai semua itu terjadi?  Arya Dahana menggaruk hidungnya.  Dia tidak akan ikut campur.  Itu jelas.  Itu semua urusan mereka.  Dia paling tidak mau terlibat dengan urusan kerajaan dan negara.  Sudah cukup dulu ayahnya tewas karena masalah negara. Selain itu jika ditimbang-timbang, hatinya lebih memilih Blambangan untuk dibela.  Blambangan adalah tanah airnya.

Setelah mendapatkan kesimpulan dari gejolak dalam pikirannya, Arya Dahana sedikit lega.  Urusan hutang dengan Putri Anjani akan dibatasinya.  Dia akan melindungi gadis itu dari satu kematian maka hutangnya akan lunas.  Arya Dahana semakin lega.

Namun satu hal yang tadi membuatnya begitu penasaran belumlah tuntas.  Arya Dahana yakin masih ada satu atau dua pasukan lain yang membayangi perjalanan dan keselamatan sang Maharaja.  Tapi dimana?

Arya Dahana memutuskan untuk menyelidikinya lebih jauh.  Dia harus mengetahui semua hal secara terperinci.  Meskipun tidak ikut campur, paling tidak dia tahu nanti harus berbuat apa jika terjadi pertempuran terbuka.

Pemuda ini bergerak lebih ke utara lagi.  Menuju Istana Timur memang mempunyai banyak jalan.  Mungkin puluhan.  Kebanyakan adalah jalan setapak.  Ada yang menyusuri pantai di bagian utara.  Ada juga yang menembus hutan di bagian selatan. 

Arya Dahana bergerak dengan hati-hati.  Para pengawal kerajaan Majapahit banyak yang berilmu tinggi.  Dia tidak takut.  Tapi menambah persoalan adalah pilihan terakhir baginya.  Lebih baik dia melakukan semuanya dengan tersembunyi sampai kegiatan perayaan di Istana Timur selesai dan dia sudah memenuhi janjinya kepada Putri Anjani.

Suara ramai orang berbincang menghentikan langkah Arya Dahana. 

"Panglima, mohon bisa dijelaskan sekali lagi tugas kita nanti melindungi paduka Maharaja dengan cara yang bagaimana?  Pengarahan ini penting diulang agar para prajurit kita tahu pasti apa yang harus dilakukan nanti."

Ada suara berat menyahut.  Arya Dahana tidak tahu persis siapa karena dia menyelam di antara batu-batu besar.

"Yang pasti kita akan melindungi Paduka Maharaja dari segala sisi.  Kita kebagian sisi timur.  Telik sandi telah melaporkan banyak sekali pergerakan yang membahayakan."

Terdengar suara-suara pelan menanggapi.  Tidak jelas.  Arya Dahana terus menguping. Isi pembicaraan itu sangat penting. 

Ternyata mereka memecah kekuatan di segala arah.  Kesimpulannya, pasukan pengawal kerajaan itu mengepung Istana Timur. 

Sebagian besar kekuatan justru disebar di empat sisi.  Sementara yang akan menemani Maharaja Majapahit hanya pasukan inti Sayap Sima.  Orang-ornag pilihan yang bersedia mati untuk junjungannya.

Arya Dahana sudah menangkap semua.  Kini saatnya baginya untuk menemui Putri Anjani.  Atau tidak perlu ya?  Dia hanya akan muncul jika Putri Anjani dalam keadaan terancam.  Tapi bagaimana caranya?

Arya Dahana bergulat dengan pikirannya mencari cara paling tidak ketahuan.  Menyamar!  Ini adalah satu-satunya cara terbaik.  Orang-orang penting Sayap Sima sudah mengenal baik wajahnya.  Dia akan menyamar sebagai pelayan saja.

Pemuda itu tersenyum.  Menggerakkan tubuhnya berkelebat pergi.

***
Bersambung Bab IV

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun