Arya Dahana menajamkan pendengarannya. Â Dia bersembunyi di balik pohon besar di sebuah hutan di wilayah Istana Timur. Â Pemuda ini sengaja bersembunyi karena di dengarnya derap banyak kaki kuda di kejauhan. Â Banyak sekali. Â Ini pasti pasukan besar, pikir Arya Dahana berdebar-debar.
Niatnya mendatangi tempat yang diperkirakannya akan menjadi pertempuran besar hanya karena ingin menepati janji. Â Janji melunasi hutang nyawa kepada Putri Anjani. Â Sekaligus juga berjaga-jaga apabila nanti Gendewa Bernyawa yang akan dikembalikannya ternyata dipergunakan dengan semena-mena oleh pemiliknya. Â Dia tidak mau itu terjadi. Â Itu bukan peperangan namanya. Â Tapi pembantaian.
Benar saja. Â Dari kejauhan nampak debu mengepul tinggi. Â Itu pertanda bahwa ada rombongan besar yang lewat di jalanan dengan kecepatan tinggi. Arya Dahana menduga kuat bahwa itu adalah rombongan Maharaja Majapahit. Â Pemuda ini menyelinap ke balik semak lalu melompat ke atas pohon. Berlompatan selincah bajing dari dahan ke dahan.Â
Arya Dahana sadar yang sedang diintainya adalah seorang Maharaja. Â Tentu Maharaja itu dikelilingi oleh orang-orang berilmu tinggi. Â Dia sudah pernah bentrok dengan Ki Tunggal Jiwo. Â Orang tua itu punya kemampuan luar biasa. Â Meskipun Arya Dahana yakin bisa mengatasinya, namun ada selarik kenangan tentang Dyah Puspita yang akan menghalanginya untuk menjatuhkan tangan keras kepada pemimpin Sayap Sima itu.
Arya Dahana menjaga jarak. Â Rasanya dari sini sudah cukup baginya untuk jelas melihat. Â Dua pasukan berkuda mengawal beberapa kereta kencana di tengah-tengah. Â Satu pasukan yang terdiri dari puluhan pengawal di depan. Â Pasukan lainnya dengan jumlah orang yang sama di belakang.Â
Arya Dahana mengrenyitkan dahi. Â Memang ini rombongan besar. Â Tapi sedikit tidak masuk akal jika Maharaja hanya dikawal oleh pengawal dengan jumlah sekian. Â Jikapun ditambahkan dengan pasukan yang dilihatnya lewat jalan lain tadi, tetap saja itu jumlah pengawalan yang tidak mencerminkan pengawalan seorang Maharaja. Â Ada yang aneh di sini.
Apakah mereka begitu yakin tidak ada bahaya di Istana Timur? Â Apakah para telik sandi sama sekali tidak menangkap gelagat? Â Atau justru di sinilah letak kehebatan Bhre Wirabumi dan Putri Anjani dalam berstrategi?
Pemuda ini sangat yakin bahwa Istana Timur sedang menyiapkan perangkap berbahaya. Â Ini adalah kesempatan langka yang tidak mungkin disia-siakan oleh mereka. Â Maharaja dan sebagian kekuatannya mendatangi sarang singa yang sedang tertidur namun setiap saat siap menerkam.
Lalu apa yang harus dilakukannya nanti jika sampai semua itu terjadi? Â Arya Dahana menggaruk hidungnya. Â Dia tidak akan ikut campur. Â Itu jelas. Â Itu semua urusan mereka. Â Dia paling tidak mau terlibat dengan urusan kerajaan dan negara. Â Sudah cukup dulu ayahnya tewas karena masalah negara. Selain itu jika ditimbang-timbang, hatinya lebih memilih Blambangan untuk dibela. Â Blambangan adalah tanah airnya.
Setelah mendapatkan kesimpulan dari gejolak dalam pikirannya, Arya Dahana sedikit lega. Â Urusan hutang dengan Putri Anjani akan dibatasinya. Â Dia akan melindungi gadis itu dari satu kematian maka hutangnya akan lunas. Â Arya Dahana semakin lega.
Namun satu hal yang tadi membuatnya begitu penasaran belumlah tuntas. Â Arya Dahana yakin masih ada satu atau dua pasukan lain yang membayangi perjalanan dan keselamatan sang Maharaja. Â Tapi dimana?