Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Idu Geni

10 Maret 2019   05:44 Diperbarui: 10 Maret 2019   05:46 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duduk di samping Dewi Mulia Ratri adalah Bimala Calya.  Gadis itu terlihat sangat kurus.  Matanya terlihat begitu kuyu.  Pandangannya jauh menerawang.  Tidak banyak yang mengganggu hatinya namun yang sedikit itu ternyata mampu membuatnya kehilangan gairah dan semangat hidup. Padahal saat proses pemulihan batin di padepokan Segoro Langit, dia sudah menemukan keceriaannya kembali.  

Rasa kehilangan yang sangat besar itu kembali menggerogoti hatinya.  Masih terbayang bagaimana tubuh pemuda yang dikasihinya melayang seperti daun kering ke jurang laut Ngobaran.  Masih terbayang bagaimana rasa sakit dan pedih di hatinya ketika dia menengok ke bawah dan hanya bisa melihat buih buih putih sisa ombak yang menghantam tebing.

Bimala Calya tidak mungkin bisa mendendam kepada Dewi Mulia Ratri, gadis yang duduk di sampingnya sekarang, karena telah menjatuhkan tangan maut kepada Arya Dahana.  Kejadian itu sama sekali tak terduga dan tanpa disengaja.  

Matanya melirik ke arah Dewi Mulia Ratri.  Gadis sunda itu juga nampak kuyu.  Sorot mata yang dulunya galak dan bersinar sinar, kini meredup seperti bunga kekurangan air.  Tubuhnya yang indah, melayu seperti kekurangan darah.  

Aahhh...mereka berdua sedang dihantam perasaan yang kurang lebih sama.  Kerumitan cinta dan semua turunannya telah membelit habis gairah, semangat, kekuatan menjadi lemas, lemah dan tanpa daya.

Tanpa disengaja kedua pasang mata yang setengah hampa itu saling bertatapan.  Tanpa sepatahpun kata terucap, dua gadis ini saling berpelukan. Mereka sepertinya hendak berusaha saling menguatkan.  Dan hasilnya, dari dua pasang mata indah itu mengalir air mata tanpa suara.  Cukup lama mereka berdua berpelukan.  Menghabiskan dan membagi rasa pahit. 

"ha ha ha ha....tak dinyana, dua bunga manis yang dicari cari selama ini ada di sini...sudah saatnya bagiku memetik kalian....ha ha ha"

Suara gelak tawa mengejek dan bernada tidak sopan itu seperti petir yang menyambar di telinga Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya.  Serentak keduanya bangkit berdiri mencari tahu siapa orang kurang ajar yang berani datang dan menghina.

Mata mereka bertemu dengan mata Pangeran Bunga yang berseri seri nakal.  Dewi Mulia Ratri mencari cari di antara puluhan orang di belakangnya, siapa yang membuat pangeran jahat ini begitu percaya diri datang menyatroni padepokan dan berani melakukan penghinaan.

Mata Dewi Mulia Ratri yang terlatih tidak melihat siapapun yang sangat menonjol di antara rombongan itu.  Hatinya terheran heran.  Apa yang membuat pangeran pengecut ini menjadi seberani ini.  Tapi dia tidak mau berpikir berpanjang panjang.  Amarah sudah mulai menguasai hatinya yang sedari pagi tidak nyaman.

"Hmmmm...pangeran culas dan pengecut.  Aku tidak mengundangmu datang kesini.  Jadi kamu bukan tamuku.  Katakan saja apa maumu lalu angkat kakilah dari tempat ini...segera!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun