Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

30 Januari 2019   09:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:41 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan mustika naga api mengalir di dalam darahnya.  Pemuda ini mempunyai kekuatan aneh dan luar biasa berkat hal hal ajaib.  Terkena senjata rahasia beracun dingin dan pukulan panas secara bersamaan membuat hawa murni dalam tubuhnya menyimpan kekuatan yang luar biasa dahsyat. Ditambah kekuatan api yang diperolehnya ketika menelan mustika naga api, membuat kekuatan hebat tenaga dalamnya menjadi berlipat lipat.

Perlahan namun pasti, Arya Dahana bisa mengimbangi serangan serangan Panglima Kelelawar dengan mempergunakan ilmu pukulan Geni Sewindu.  

Semua orang yang menyaksikan pertarungan harus minggir jauh jauh.  Angin pukulan yang keluar dari pertarungan ini sanggup melukai siapa saja yang terlalu dekat dengan pertarungan.  Dua bayangan berkelebat kesana kemari, saling serang dengan hebat.  Angin menderu deru di sekitar mereka.  
Daun daun yang berserakan di tanah beterbangan tak tentu arah di udara.  Tubuh kedua orang ini tidak terlihat lagi.  Hanya sesekali terdengar ledakan ledakan hebat saat pukulan mereka tidak mengenai sasaran dan menghantam batu atau pohon di sekeliling arena pertarungan. 

Dua puluh jurus tanpa terasa telah berlalu.  Belum ada tanda tanda siapa yang akan kalah atau terdesak dalam pertarungan maha dahsyat ini.  Kini pertarungan berubah total.  Tidak lagi mengandalkan kecepatan, namun lebih banyak mengerahkan kekuatan dan kesaktian pukulan.  

Gerakan mereka berubah lambat namun jauh lebih mengerikan akibatnya.  Sudah lima pohon besar tumbang terkena hantaman Panglima Kelelawar dan Arya Dahana.  Taman di sekitar lapangan yang luas, porak poranda dilanda angin badai yang ditimbulkan oleh pukulan mereka.  Malah di satu waktu, hantaman pukulan Geni Sewindu yang dilepaskan Arya Dahana dan bisa dielakkan oleh Panglima Kelelawar, menghantam pendopo istana yang langsung saja hancur berantakan dan terbakar.  Kontan saja hal ini membuat sibuk pasukan Lawa Agung yang segera memadamkan api.

Selain penasaran, Panglima Kelelawar juga kagum bukan main.  Pemuda ini lawan yang setimpal untuknya.  Jarang dia mendapatkan lawan yang setanding.  Kecuali di puncak Merapi dulu saat bertarung melawan Datuk Rajo Bumi.  Ini sudah empat puluh jurus lebih dan dia belum mampu mendesak lawannya yang masih muda ini.

Putri Anjani, Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan yang menonton dari kejauhan menjadi deg degan bukan main melihat pertarungan yang luar biasa hebat itu.  Mereka sebetulnya sudah pasrah akan nasib jika harus menjadi bagian dari Lawa Agung jika Arya Dahana tidak mampu mengalahkan Panglima Kelelawar.  

Namun melihat jalannya pertarungan, mereka justru menjadi was was dan khawatir terhadap nyawa pemuda itu.  Jika saat mendekati lima puluh jurus dan Arya Dahana belum juga menyerah,  Panglima Kelelawar pasti akan mengeluarkan pukulan pamungkasnya dan itu bisa berakibat mengerikan terhadap Arya Dahana.

Benar saja dugaan mereka.  Memasuki jurus keempat puluh sembilan, Panglima Kelelawar melompat mundur ke belakang.  Arya Dahana menghentikan serangannya.  Sesuai dugaannya juga, pasti panglima itu akan mengeluarkan pukulan Bayangan Matahari yang dahsyat dan mematikan.  

Panglima ini berdiri tegak.  Kedua tangannya terangkat tinggi ke atas seperti sedang menangkap sinar matahari yang sedang terik teriknya.  Saat turun ke bawah, kedua tangannya terkepal dan luar biasa!  Kedua kepalan tangan itu bersinar sinar perak keemasan, dipenuhi oleh kilau emas keperakan yang menyilaukan mata.  Bahkan sekujur tubuhnya juga diselimuti oleh cahaya keperakan.  Saking panasnya, pengaruh pukulan Bayangan Matahari membuat rerumputan sekitar Raja Lawa Agung berdiri mulai terbakar hebat.

Arya Dahana tidak mau gegabah.  Ini adalah saat saat penentuan.  Pemuda ini tubuhnya berubah warna menjadi sangat pucat kehijauan.  Wajahnya seperti kehilangan darah saking pucatnya.  Saking hebatnya pukulan Busur Bintang yang sedang disiapkannya,  rerumputan sekitar kakinya menginjak langsung saja membeku seketika.  Hawa dingin sangat menusuk tulang terasa hingga jauh ke para penonton di sekitar arena.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun