"Be..bening," Prolet menyahut pendek.
"Jadi benar?" tekanan pada kalimat Tuan Putri melemas. Prolet menengok ekspresi Tuan Putri. Belum sempat Prolet menjawab Tuan Putri sudah melanjutkan dengan kalimat cepat.
"Sudahlah. Sana kerja lagi Prolet. Maaf ya aku tadi harus berakting di depan Bos Kecil. Aku tahu kamu pasti kaget. Tapi itu juga semacam hukuman bagimu telah berani pacaran dengan kasir itu."
Prolet hendak membuka mulutnya. Tapi tatap mata Tuan Putri membuat Prolet menelan kembali semua kalimat. Tatapan itu lebih dingin dari frezeer kulkas. Tanpa sadar, karena sudah kebiasaannya jika mendapat tekanan hebat, Prolet menjulingkan matanya sambil beranjak keluar.
Tuan Putri nyaris meledakkan tawanya melihat mata juling Prolet. Tapi tentu saja gengsi. Gadis itu buru-buru mengambil tisu. Pura-pura tersedak. Padahal itu ketawa besar yang ditahan sekuat tenaga.
Tuan Putri mengeluarkan tenaga terakhir menahan ledakan tawanya. Begitu Prolet membuka pintu dan hendak keluar ruangan Tuan Putri berseru mengancam.
"Ingat! Aku akan tetap menerbitkan memo itu. Patuhilah! Kalau tidak, luka akan berbalas luka!"
Prolet menoleh ke Tuan Putri. Tidak bisa mencerna seketika. Karena itu Prolet hanya mengangguk sambil sedikit memutar bola matanya. Bingung.
Begitu pintu ruangan tertutup, dengan tergesa-gesa Tuan Putri masuk kamar mandi di ruangannya lalu melepaskan segenap tawa yang ditahannya tadi. Terpingkal-pingkal hingga keluar airmatanya.
Mata juling khas Prolet itu selalu lucu baginya. Pemuda itu memang menyenangkan. Sangat menyenangkan. Seringkali membuatnya tertawa dan bahagia. Menyebalkan dia berani berpacaran di kantor.
Hah? Prolet pacaran? Tidak!
Buru-buru Tuan Putri menyudahi tawa. Mencuci muka dan duduk di kursi kerjanya. Menuliskan memo paling aneh yang pernah dibuatnya seumur-umur.