Prolet sangat menyukai Hari Senin. Entah semenjak kapan. Ah, tentu saja sejak semenjak Bos Besar digantikan Tuan Putri memimpin perusahaan. Hari Senin selalu menyenangkan bagi Prolet. Hari yang mengawali kesempatannya bertemu dengan Tuan Putri selama lima hari penuh. Sabtu dan Minggu? Prolet menggaruk hidungnya. Sabtu dan Minggu adalah hari yang lesu tanpa haru-biru.
Seperti biasa, Prolet memasuki kantor dengan bersenandung lirih. Prolet sendiri tidak bisa mengidentifikasi lagu apa yang meluncuri bibirnya, tapi Prolet tidak peduli. Yang penting ada yang mewakili rasa hatinya. Itu saja.
Langkah Prolet terhenti. Di selasar kantor menuju ruangannya, nampak Tuan Putri sedang berbicara dengan serius dengan Bos Kecil. Wah tumben sekali Tuan Putri datang sepagi ini. Lebih tumben lagi Bos Kecil datang pagi-pagi. Prolet ragu-ragu. Balik kanan atau terus maju.
Bertemu Tuan Putri sangatlah menyenangkan baginya. Tapi gagap saat berbicara dengannya selalu menjadi momen yang memalukan. Prolet sudah berusaha keras agar tidak gagap saat bicara dengan Tuan Putri. Semakin keras Prolet berusaha, semakin gagal dia.
"Se..sel..selamat pagi...Tuan Putri," uh, awal yang buruk. Prolet melintasi mereka dengan cepat seolah sedang dikejar pencoleng atau hantu. 2 hal paling mengerikan bagi para penakut.
Bos Kecil memandang aneh kepadanya. Kalau yang ini sih sudah biasa. Direndahkan Bos Kecil adalah hal yang normal bagi Prolet. Prolet bahkan sempat berjanji akan memasukkan sebagai keajaiban dunia ke-13 bila sampai Bos Kecil menyanjungnya.
Ya, ke 13 saja meskipun rasanya yang ke 8 sampai 12 belum ada. Biar saja dipaskan pada angka sial. Prolet selalu nyengir bahagia jika teringat dengan cita-citanya ini.
Tuan Putri menengok sekejap mendengar sapaan Prolet. Tidak bereaksi apa-apa. Memberi isyarat kepada Bos Kecil untuk masuk ruangannya. Prolet berdesir jantungnya. Hah? Tuan Putri bahkan tidak menjawab sapaannya. Apa salahnya?
Terlalu sibuk dengan lamunannya, nyaris saja Prolet bertubrukan dengan Bening, kasir baru.
"Eh, oh...ma..maaf Pak O..Oplet...eh Pak Kroket...uh Pak Prolet...duh maaf," terbata-bata gadis lulusan akademi perbankan itu meralat ucapannya.
Prolet ternganga. Gadis ini gagap parah bicara dengannya! Wah, jangan-jangan...Tapi eh apa tadi? Bening memanggil namanya Oplet, Kroket? Astaga, Apa sih susahnya menyebut prolet?
Prolet teringat 2 minggu lalu saat gadis ini berkenalan pertama kali dengannya. Kikuk dan gugup. Prolet sampai ikut-ikutan gugup.
Hari berikutnya Prolet berusaha mencairkan suasana. Kasihan Bening. Kelihatannya agak susah beradaptasi di lingkungan baru. Prolet sering mengajaknya bercakap-cakap. Juga menemaninya saat makan siang.
Awalnya semua baik-baik saja. Hanya Sahwat yang seringkali mencoba curi dengar saat mereka bercakap-cakap. Bahkan pernah sembunyi-sembunyi memvideokan Prolet dan Bening saat makan siang bareng di kantin bawah. Prolet pernah memergokinya. Marah-marah kepada Sahwat. Tapi Sahwat tak pernah mau mengaku.
Tapi memasuki 1 minggu setelah mereka menjadi cukup dekat dan akrab. Mendadak Bening mengalami kesulitan bicara ketika berbincang dengan Prolet. Gagap. Padahal dengan orang lain tidak. Prolet mengira semuanya masih baik-baik saja. Sampai saat momen tadi. Perilaku Bening mirip sekali dengan gaya Prolet saat berhadapan dengan Tuan Putri. Kikuk dan gagap.
----
Di meja kerjanya, Prolet menyempatkan diri termenung sesaat. Tuan Putri jelas mengabaikannya tadi. Sama sekali di luar kebiasaannya. Hati Prolet jelas terluka. Ya ampun, ini Senin yang berduka. Prolet meraih telepon di mejanya yang berbunyi melengking.
"Prolet! Ke ruangan saya!" itu suara Tuan Putri. Prolet sudah hendak tergagap menjawab tapi mengurungkan niatnya. Ini panggilan bernada sadis pertama kalinya. Ada apa ya? Prolet menjulingkan matanya. Mencoba melawak untuk dirinya sendiri. Tidak sadar dari kejauhan Bening terkikik geli melihat ekspresi mukanya. Kasir muda itu kebetulan memang sedang berada di ruang administrasi karena sedikit urusan.
Prolet mengetuk pintu ruangan Tuan Putri dengan pelan dan hati-hati. Sepertinya ini Senin penuh amarah. Saking hati-hatinya, suara ketukan itu bahkan tidak terdengar. Prolet sendiri sampai lupa apakah tadi sudah mengetuk pintu. Haduh, ini pagi kenapa kikuk sekali.
Sambil menunduk mengira-ngira apa yang akan terjadi, Prolet mengangkat tangannya lagi. Kali ini harus agak keras supaya terdengar dari dalam. Bersamaan dengan gerakan mengetuk Prolet, pas pula pintu terbuka. Ketukan bertenaga Prolet bertemu tepat dengan jidat pelontos Bos Kecil!
"Haiyaaahhh! A..pa-apa..an i...ini!" Bos Kecil berteriak kesakitan sambil mengelus-elus jidatnya yang nyeri.
Prolet terpaku. Bos Kecil gagap juga ke dirinya! Ini sih gak usah jangan-jangan. Jangan aja! Prolet sampai lupa salahnya yang tidak sengaja telah mengetuk jidat si Bos.
"Kamu gila ya! Ayo masuk! Tuan Putri dan hukuman sudah menunggumu!" rutuk Bos Kecil bertubi-tubi. Mengikuti Prolet dari belakang.
Prolet duduk dengan manis di hadapan meja Tuan Putri. Bersiap menerima yang paling pahit. Raut muka Tuan Putri sedang mendung. Terlihat begitu murung. Prolet berharap yang turun adalah hujan. Bukan geledek. Prolet membuang mukanya ke samping. Pura-pura batuk. Menyembunyikan cengirannya yang tak bisa ditahan. Apalagi kalau teringat dia tadi telah mengetuk jidat keajaiban dunia ke-13. Hihi.
"Kenapa cengar-cengir gak karuan! Ini serius!" Duh ketahuan juga. Prolet memasang sikap terkejut. Kaget dan terpana. Bagi Prolet yang terpenting dia tidak harus bicara. Pastilah akan gagap sempurna.
"Aku mendapat informasi kalau kamu menjalin hubungan kasih dengan seseorang di kantor. Ini tidak sehat bagi perusahaan. Tidak produktif! Mulai hari ini aku akan mengeluarkan memo tentang larangan berhubungan cinta antara staf sekantor,"
Prolet pucat pasi. Tuduhan Tuan Putri ini bukan main-main. Tapi kenapa dia yang dituduh? Dengan siapa dia berhubungan cinta atau kelihatan berpacaran?? Prolet mengingat-ingat. Takut lupa.
Seraut wajah melintas cepat di benak Prolet. Seperti lintasan iklan pendek yang tidak disukainya. Ah, ini pasti gosip dari Sahwat. Siapa lagi? Awas kau nanti ya!
Bos Kecil berpamitan kepada Tuan Putri. Ada rapat di luar yang harus dihadirinya. Tuan Putri mengangguk. Dia tadi memerlukan Bos Kecil untuk menjadi saksi. Menghilangkan gosip besar yang selama ini melintir di kantor bahwa dia menganak emaskan Prolet.
Setelah Bos Kecil keluar, Tuan Putri duduk lemas di kursi. Prolet masih termangu di depannya. Kelihatan bingung dan bertanya-tanya.
Situasi di ruang kantor Tuan Putri sehening kuburan saat tengah malam Jumat Kliwon. Prolet bingung harus bicara apa. Mau menyanggah tuduhan jelas dia akan tergagap-gagap. Mau mengiyakan, bisa jadi malah super gagap. Duh repot.
Tuan Putri merusak keheningan.
"Apa benar gosip itu Prolet? Kamu sedang dekat dengan kasir baru itu? Siapa namanya?"
"Be..bening," Prolet menyahut pendek.
"Jadi benar?" tekanan pada kalimat Tuan Putri melemas. Prolet menengok ekspresi Tuan Putri. Belum sempat Prolet menjawab Tuan Putri sudah melanjutkan dengan kalimat cepat.
"Sudahlah. Sana kerja lagi Prolet. Maaf ya aku tadi harus berakting di depan Bos Kecil. Aku tahu kamu pasti kaget. Tapi itu juga semacam hukuman bagimu telah berani pacaran dengan kasir itu."
Prolet hendak membuka mulutnya. Tapi tatap mata Tuan Putri membuat Prolet menelan kembali semua kalimat. Tatapan itu lebih dingin dari frezeer kulkas. Tanpa sadar, karena sudah kebiasaannya jika mendapat tekanan hebat, Prolet menjulingkan matanya sambil beranjak keluar.
Tuan Putri nyaris meledakkan tawanya melihat mata juling Prolet. Tapi tentu saja gengsi. Gadis itu buru-buru mengambil tisu. Pura-pura tersedak. Padahal itu ketawa besar yang ditahan sekuat tenaga.
Tuan Putri mengeluarkan tenaga terakhir menahan ledakan tawanya. Begitu Prolet membuka pintu dan hendak keluar ruangan Tuan Putri berseru mengancam.
"Ingat! Aku akan tetap menerbitkan memo itu. Patuhilah! Kalau tidak, luka akan berbalas luka!"
Prolet menoleh ke Tuan Putri. Tidak bisa mencerna seketika. Karena itu Prolet hanya mengangguk sambil sedikit memutar bola matanya. Bingung.
Begitu pintu ruangan tertutup, dengan tergesa-gesa Tuan Putri masuk kamar mandi di ruangannya lalu melepaskan segenap tawa yang ditahannya tadi. Terpingkal-pingkal hingga keluar airmatanya.
Mata juling khas Prolet itu selalu lucu baginya. Pemuda itu memang menyenangkan. Sangat menyenangkan. Seringkali membuatnya tertawa dan bahagia. Menyebalkan dia berani berpacaran di kantor.
Hah? Prolet pacaran? Tidak!
Buru-buru Tuan Putri menyudahi tawa. Mencuci muka dan duduk di kursi kerjanya. Menuliskan memo paling aneh yang pernah dibuatnya seumur-umur.
Memo Direksi; Dilarang Berpacaran dengan Teman Sekantor. Tidak produktif Bagi Perusahaan!
Suatu saat. Pada waktunya nanti. Aku akan mencabut memo ini. Tuan Putri bisa tersenyum lebar lagi. Menutup luka cemburunya yang menutup dengan pasti.
Bogor, 10 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H