Sambil terus tetap waspada, team ekspedisi yang dipimpin Ran mengamati dua kepala yang dijatuhkan secara misterius tadi. Â Kepala singa dan harimau itu terpotong dengan sempurna. Â Seolah dipotong oleh benda paling tajam di dunia. Â Ran bergidik. Â Binatang macam apa yang bisa melakukan pekerjaan ini?
Menjelang fajar, Ran meminta semua team bersiap-siap. Â Tempat ini telah terekspose. Â Terlalu berbahaya untuk terus di sini. Â Sebaiknya mereka sering berpindah-pindah tempat. Â Mengaburkan jejak. Â Sebelum mereka paham apa yang sesungguhnya terjadi dan tempat macam ini.
Setelah sarapan seadanya secara tergesa-gesa. Â Team bergerak. Â Ada sebuah sungai selebar 3 meter di dekat perkemahan. Â Ini layak untuk ditelusuri. Â Berharap sungai ini tidak berakhir di ngarai terjal lagi. Â Seperti kemarin.
Hari cukup cerah. Â Tapi tak seorangpun yang tertarik bercakap-cakap tentang cuaca. Â Suasana hutan yang hening malah membuat situasi tambah mencekam. Â Ran menghitung isi peluru senapan. Â Ini memang senapan kaliber besar tapi pelurunya sangat terbatas. Â Dia harus mengelola senapan ini sebaik-baiknya. Â Hanya pada saat paling emergency saja senapan ini akan dipergunakannya.
-----
Dan saat emergency itu tiba tanpa diduga. Â Tanah yang mereka pijak tiba-tiba berguncang keras. Â Gempa! Â Rabat bahkan sampai terjengkang ke belakang. Â Menabrak Ben yang ikut terhuyung-huyung dan jatuh.Â
Semua memutuskan tiarap di tanah. Â Gempa ini terlalu keras. Â Untungnya pohon-pohon besar yang ada di sekitar mereka tidak tumbang. Â Tapi tetap saja. Â Suara gemuruh dari tajuk yang saling beradu, membuat hati ketakutan dan ngilu.
Namun secepat datangnya, secepat itu pula gempa berhenti. Â Rabat yang ahli geologi meraih teropong di bahu Ran. Â Ada terlintas sesuatu dalam pikirannya. Â Rabat dengan lincah memanjat pohon terdekat yang tinggi dan banyak cabangnya. Â Sampai di atas Rabat memandangi sekeliling menggunakan binokuler resolusi tinggi itu.
Keempat temannya menunggu di bawah dengan penasaran. Â Mereka tahu Rabat punya pengetahuan yang lebih dari cukup tentang bumi dan bebatuan. Â Dia pasti menduga sesuatu. Â Itulah yang mereka tunggu.
Begitu turun dari pohon, Rabat menggeleng-gelengkan kepala kepada teman-temannya. Â Tanda dia telah mempunyai kesimpulan.
"Friends, itu tadi bukan gempa. Â Tidak ada tanda-tanda aktifitas vulkanis maupun tektonis. Â Itu tadi pergerakan tanah lokal. Â Aku tidak mengerti apa tapi yang jelas bukan karena aktifitas kebumian."
Tet ikut menyela," aku sepakat dengan Rabat. Â Jika tadi itu gempa, paling tidak satu dua pohon pasti ada yang tumbang. Â Lihat! Pohon besar yang sudah mati itupun tidak tumbang atau patah."
Semua orang mengangguk paham. Â Tapi itu tadi apa? Â itulah yang berkecamuk dalam pikiran mereka sekarang.
Jawabannya ternyata kontan! Â Guncangan dahsyat tadi ternyata membuat tanah retak. Â Sehingga tercipta sebuah lubang memanjang terpampang tak jauh di hadapan mereka. Â Satu hal yang membuat mereka terguncang bukanlah lubang itu. Â Tapi apa yang ada di dalamnya.
Beberapa benda asing berkilauan tercecer di lubang panjang itu. Â Tet lah yang pertama berlari menghampiri. Â Sebagai ahli biologi dia sudah bisa menduga itu apa. Â untuk meyakinkan diri, diambilnya salah satu dan dibawanya.
"Kalian tahu ini apa?" Â Tet bertanya sambil mengacungkan benda segilima di tangannya.
Semua mendekat. Â Memperhatikan. Â Ada yang menyebut perisai, potongan dinding pesawat, dan logam mulia.
Tet yang masih terhenyak dengan penemuan itu melempar benda itu ke tanah.
"Itu sisik! Â Sisik besar dari binatang raksasa. Â Mungkin sejenis ular. Â Anakonda!"
Gantian semua yang terhenyak. Â Gila! Sisik sebesar itu pasti milik ular raksasa! Â Ran melepaskan pengaman senapan. Â Berjaga-jaga. Â Meski tahu persis itu rasanya akan percuma saja.
"Kita harus cepat kawan. Â Ular raksasa itu pasti tidak jauh dari sini. Â Aliran sungai menuju arah sebaliknya. Â Ayo kita pergi!" Â Ran memberi komando.
Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, empat teman yang lainnya setengah berlari meninggalkan tempat itu. Â Tidak ada yang mau masuk menu ular raksasa hari ini.
-----
Setelah setengah hari berjalan dengan kecepatan tinggi. Â Sungai yang mereka telusuri menghilang! Â Ben mencoba menyelidikinya. Â Ternyata aliran sungai masuk ke dalam tanah. Â Di kaki bukit cukup tinggi yang menghadang di hadapan mereka.Â
Hampir semua menghela nafas panjang. Â Rupanya perjuangan belum juga berakhir. Â Bukit itu harus didaki. Â Tidak terlalu tinggi. Â Tapi setelahnya juga harus dituruni. Â Rabat bilang aliran sungai itu akan keluar di kaki bukit sebelah sana. Â Dan mereka sudah sangat kelelahan. Â Hufffttt.
Di saat yang lain mengusulkan agar mereka beristirahat di situ, Ran bersikeras untuk melanjutkan perjalanan. Â Dalam logikanya, sisi bukit sebelah sana akan jauh lebih aman karena tidak satu lansekap dengan ular raksasa tadi.Â
Pendakian dimulai. Â Bukit itu memang tidak terlalu tinggi, namun karena tenaga team ekspedisi itu sudah lebih dari separuhnya hilang, tentu saja pendakian ini membuat mereka sangat ngos-ngosan. Â Perjalanan itu jauh lebih lambat dibanding puluhan kilometer yang telah mereka lewati.
"Duuuhhh....awas hati-hati! Â Di sini banyak tanaman berduri!" Â terdengar teriakan Cindy memperingatkan kawan-kawannya. Â Setelah beberapa kali lengannya tertusuk duri-duri kecil itu.
Mendengar peringatan Cindy, yang lain memutuskan mengenakan baju pelindung lengan panjang. Â Lelah lalu tertusuk duri. Â Itu sama sekali bukan pilihan yang nyaman. Â Sebuah keputusan yang tepat. Â Karena tak lama kemudian kembali terdengar teriakan Cindy. Â Kali ini bukan peringatan. Â Tapi jatuh pingsan.
Ran yang berjalan paling belakang buru-buru ke depan memeriksa Cindy. Â Tubuh dan muka wanita itu nampak membiru dengan cepat. Â Tanpa buang waktu, Ran segera menyuntikkan serum anti bisa universal ke tubuh Cindy. Â Serum anti bisa adalah satu perlengkapan medis standar yang wajib dibawa oleh team ekspedisi seperti mereka.Â
Meskipun tidak memeriksa secara menyeluruh, Ran sudah tahu Cindy keracunan. Â Ran yakin itu racun duri-duri kecil dari tanaman perdu yang memenuhi bukit itu.
-----
Mereka tidak mungkin berhenti di punggung bukit. Â Selain tidak terdapat tempat yang ideal untuk berkemah, juga terlalu banyak tanaman perdu berduri yang ternyata beracun itu. Â Perjalanan tetap dilanjutkan dengan Cindy ditandu oleh Ben dan Rabat.
Pendakian semakin lambat dengan cederanya Cindy. Â Menjelang matahari jatuh sepenuhnya di kaki langit, barulah mereka sampai di atas bukit. Â Ran yang lebih dulu tiba segera memeriksa keadaan. Â Suasana setengah remang-remang memberikan pemandangan yang menakjubkan!Â
Bukit sebelah sini tidak terlalu tinggi untuk dituruni. Â Di bawah sana terlihat ada tanah lapang yang cocok untuk berkemah. Â Tidak jauh lagi di pinggirannya terbentang lautan. Â Laut? Ahaa ini menggembirakan! Â Ada laut berarti ada pantai. Â Ada pantai biasanya ada pemukiman. Â Ada pemukiman umumnya ada alat komunikasi. Â Mereka bisa menghubungi universitas untuk evakuasi.
Ran ragu-ragu. Â Lalu memicingkan matanya memastikan. Â Sayup-sayup ada bayangan hitam di pinggiran laut itu. Â Jauh memang. Â Tapi itu rasanya sebuah tepian. Â Dipanggilnya Ben untuk opini kedua. Â Dimintanya Ben untuk menggunakan binokuler.
"Coba perhatikan apakah itu laut atau danau Ben?"Â
Ben melakukan yang diminta. Dan Ben juga tidak bisa memastikan. Â Maklum cahaya memang sudah mulai menghilang.Â
Ran memandang sekeliling. Â Berhitung apakah mereka harus berkemah di puncak bukit ini atau turun ke tanah lapang di bawah. Â Ran memeriksa sekali lagi kondisi Cindy. Â Wanita itu kelihatannya sudah membaik. Â Nafasnya teratur walau belum siuman. Â Warna membiru di wajah dan tubuhnya sudah hilang sepenuhnya. Â Ran bernafas lega.
Satu pemeriksaan terakhir di nadi dan mata. Â Detak nadi Cindy sangat cepat! Â Jauh di atas standar normal! Â Ran memucat. Â Ini aneh. Â Nafas teratur seharusnya detak nadi juga teratur. Â Ran membuka mata Cindy yang terpejam. Â Hampir saja Ran melompat ke belakang! Â Mata Cindy juga aneh. Â Keseluruhannya berwarna hitam!
Keputusan dikeluarkan. Â Kondisi Cindy yang aneh memerlukan tempat yang layak untuk pemeriksaan. Â Dan air! Â Perlu air yang cukup untuk kondisi darurat seperti ini. Â Perbekalan air mereka hanya cukup untuk malam ini. Â Tapi tidak untuk segala macam pemeriksaan.
Dengan kelelahan yang sudah sampai pada puncaknya, rombongan itu menuruni bukit. Â Dalam keadaan gelap dan hanya diterangi cahaya sekedarnya dari senter dan lampu badai, perjalanan ke bawah memerlukan hampir 3 jam lamanya.
Semua bernafas luar biasa lega begitu melihat tanah lapang yang mereka lihat dari atas bukit ternyata sangat bagus untuk berkemah. Â Terlindungi dari kanan, kiri dan belakang oleh lingkaran perbukitan. Â Dan di depan mereka hanya ada permukaan air yang sangat luas. Â Lautan.
-----
Ran meminta anggota team untuk fokus penuh pada upaya pengobatan Cindy. Â Ran tidak tahu persis apakah keadaan Cindy membahayakan jiwanya atau tidak. Â Secara fisik tidak. Â Apalagi detak nadi Cindy setelah diperiksa baru saja, normal.
Yang sangat menjadi pertanyaan adalah matanya! Â Keseluruhan pupil mata menghitam. Â Tidak ada perubahan. Â Paling tidak malam ini mereka harus membuat Cindy tetap hangat. Â Api tidak boleh padam. Â Cindy tidak boleh lepas dari pengawasan.
Dan malam memang berlalu tanpa insiden sama sekali. Â Anggota team bergiliran berjaga. Â Terhadap bahaya sekaligus mengawasi kondisi Cindy. Â Hanya ada satu kejadian yang tidak bisa dijelaskan nalar terjadi. Â Lautan di depan mereka bergemuruh tiada henti. Â Padahal tidak ada angin ribut atau badai topan. Â Semua orang menyimpan kejadian itu dalam hati. Â Sambil berharap ada penjelasan yang masuk akal esok hari.
----
Ran yang kebagian jaga terakhir memandang hamparan air di depannya tanpa berkedip. Â Pagi sudah tiba. Â Cindy baik-baik saja. Â Walaupun Ran belum bisa memastikan apakah matanya sudah kembali normal atau belum. Â Gadis itu masih tertidur. Â Atau tepatnya belum siuman.
Hamparan air itu bukan lautan! Â Apa yang dia saksikan sekarang adalah sebuah sungai besar luar biasa. Â Sungai raksasa. Â Dan sungai raksasa ini sedang mengamuk!
----
Bogor, 18 Juni 2018
Selanjutnya; Negeri Tulang Belulang (Niagara Kedua)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H