Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negeri Tulang Belulang (Sungai Raksasa)

18 Juni 2018   22:16 Diperbarui: 18 Juni 2018   22:21 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil terus tetap waspada, team ekspedisi yang dipimpin Ran mengamati dua kepala yang dijatuhkan secara misterius tadi.  Kepala singa dan harimau itu terpotong dengan sempurna.  Seolah dipotong oleh benda paling tajam di dunia.  Ran bergidik.  Binatang macam apa yang bisa melakukan pekerjaan ini?

Menjelang fajar, Ran meminta semua team bersiap-siap.  Tempat ini telah terekspose.  Terlalu berbahaya untuk terus di sini.  Sebaiknya mereka sering berpindah-pindah tempat.  Mengaburkan jejak.  Sebelum mereka paham apa yang sesungguhnya terjadi dan tempat macam ini.

Setelah sarapan seadanya secara tergesa-gesa.  Team bergerak.  Ada sebuah sungai selebar 3 meter di dekat perkemahan.  Ini layak untuk ditelusuri.  Berharap sungai ini tidak berakhir di ngarai terjal lagi.  Seperti kemarin.

Hari cukup cerah.  Tapi tak seorangpun yang tertarik bercakap-cakap tentang cuaca.  Suasana hutan yang hening malah membuat situasi tambah mencekam.  Ran menghitung isi peluru senapan.  Ini memang senapan kaliber besar tapi pelurunya sangat terbatas.  Dia harus mengelola senapan ini sebaik-baiknya.  Hanya pada saat paling emergency saja senapan ini akan dipergunakannya.

-----

Dan saat emergency itu tiba tanpa diduga.  Tanah yang mereka pijak tiba-tiba berguncang keras.  Gempa!  Rabat bahkan sampai terjengkang ke belakang.  Menabrak Ben yang ikut terhuyung-huyung dan jatuh. 

Semua memutuskan tiarap di tanah.  Gempa ini terlalu keras.  Untungnya pohon-pohon besar yang ada di sekitar mereka tidak tumbang.  Tapi tetap saja.  Suara gemuruh dari tajuk yang saling beradu, membuat hati ketakutan dan ngilu.

Namun secepat datangnya, secepat itu pula gempa berhenti.  Rabat yang ahli geologi meraih teropong di bahu Ran.  Ada terlintas sesuatu dalam pikirannya.  Rabat dengan lincah memanjat pohon terdekat yang tinggi dan banyak cabangnya.  Sampai di atas Rabat memandangi sekeliling menggunakan binokuler resolusi tinggi itu.

Keempat temannya menunggu di bawah dengan penasaran.  Mereka tahu Rabat punya pengetahuan yang lebih dari cukup tentang bumi dan bebatuan.  Dia pasti menduga sesuatu.  Itulah yang mereka tunggu.

Begitu turun dari pohon, Rabat menggeleng-gelengkan kepala kepada teman-temannya.  Tanda dia telah mempunyai kesimpulan.

"Friends, itu tadi bukan gempa.  Tidak ada tanda-tanda aktifitas vulkanis maupun tektonis.  Itu tadi pergerakan tanah lokal.  Aku tidak mengerti apa tapi yang jelas bukan karena aktifitas kebumian."

Tet ikut menyela," aku sepakat dengan Rabat.  Jika tadi itu gempa, paling tidak satu dua pohon pasti ada yang tumbang.  Lihat! Pohon besar yang sudah mati itupun tidak tumbang atau patah."

Semua orang mengangguk paham.  Tapi itu tadi apa?  itulah yang berkecamuk dalam pikiran mereka sekarang.

Jawabannya ternyata kontan!  Guncangan dahsyat tadi ternyata membuat tanah retak.  Sehingga tercipta sebuah lubang memanjang terpampang tak jauh di hadapan mereka.  Satu hal yang membuat mereka terguncang bukanlah lubang itu.  Tapi apa yang ada di dalamnya.

Beberapa benda asing berkilauan tercecer di lubang panjang itu.  Tet lah yang pertama berlari menghampiri.  Sebagai ahli biologi dia sudah bisa menduga itu apa.  untuk meyakinkan diri, diambilnya salah satu dan dibawanya.

"Kalian tahu ini apa?"  Tet bertanya sambil mengacungkan benda segilima di tangannya.

Semua mendekat.  Memperhatikan.  Ada yang menyebut perisai, potongan dinding pesawat, dan logam mulia.

Tet yang masih terhenyak dengan penemuan itu melempar benda itu ke tanah.

"Itu sisik!  Sisik besar dari binatang raksasa.  Mungkin sejenis ular.  Anakonda!"

Gantian semua yang terhenyak.  Gila! Sisik sebesar itu pasti milik ular raksasa!  Ran melepaskan pengaman senapan.  Berjaga-jaga.  Meski tahu persis itu rasanya akan percuma saja.

"Kita harus cepat kawan.  Ular raksasa itu pasti tidak jauh dari sini.  Aliran sungai menuju arah sebaliknya.  Ayo kita pergi!"  Ran memberi komando.

Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, empat teman yang lainnya setengah berlari meninggalkan tempat itu.  Tidak ada yang mau masuk menu ular raksasa hari ini.

-----

Setelah setengah hari berjalan dengan kecepatan tinggi.  Sungai yang mereka telusuri menghilang!  Ben mencoba menyelidikinya.  Ternyata aliran sungai masuk ke dalam tanah.  Di kaki bukit cukup tinggi yang menghadang di hadapan mereka. 

Hampir semua menghela nafas panjang.  Rupanya perjuangan belum juga berakhir.  Bukit itu harus didaki.  Tidak terlalu tinggi.  Tapi setelahnya juga harus dituruni.  Rabat bilang aliran sungai itu akan keluar di kaki bukit sebelah sana.  Dan mereka sudah sangat kelelahan.  Hufffttt.

Di saat yang lain mengusulkan agar mereka beristirahat di situ, Ran bersikeras untuk melanjutkan perjalanan.  Dalam logikanya, sisi bukit sebelah sana akan jauh lebih aman karena tidak satu lansekap dengan ular raksasa tadi. 

Pendakian dimulai.  Bukit itu memang tidak terlalu tinggi, namun karena tenaga team ekspedisi itu sudah lebih dari separuhnya hilang, tentu saja pendakian ini membuat mereka sangat ngos-ngosan.  Perjalanan itu jauh lebih lambat dibanding puluhan kilometer yang telah mereka lewati.

"Duuuhhh....awas hati-hati!  Di sini banyak tanaman berduri!"  terdengar teriakan Cindy memperingatkan kawan-kawannya.  Setelah beberapa kali lengannya tertusuk duri-duri kecil itu.

Mendengar peringatan Cindy, yang lain memutuskan mengenakan baju pelindung lengan panjang.  Lelah lalu tertusuk duri.  Itu sama sekali bukan pilihan yang nyaman.   Sebuah keputusan yang tepat.  Karena tak lama kemudian kembali terdengar teriakan Cindy.  Kali ini bukan peringatan.  Tapi jatuh pingsan.

Ran yang berjalan paling belakang buru-buru ke depan memeriksa Cindy.  Tubuh dan muka wanita itu nampak membiru dengan cepat.  Tanpa buang waktu, Ran segera menyuntikkan serum anti bisa universal ke tubuh Cindy.  Serum anti bisa adalah satu perlengkapan medis standar yang wajib dibawa oleh team ekspedisi seperti mereka. 

Meskipun tidak memeriksa secara menyeluruh, Ran sudah tahu Cindy keracunan.  Ran yakin itu racun duri-duri kecil dari tanaman perdu yang memenuhi bukit itu.

-----

Mereka tidak mungkin berhenti di punggung bukit.  Selain tidak terdapat tempat yang ideal untuk berkemah, juga terlalu banyak tanaman perdu berduri yang ternyata beracun itu.  Perjalanan tetap dilanjutkan dengan Cindy ditandu oleh Ben dan Rabat.

Pendakian semakin lambat dengan cederanya Cindy.  Menjelang matahari jatuh sepenuhnya di kaki langit, barulah mereka sampai di atas bukit.  Ran yang lebih dulu tiba segera memeriksa keadaan.  Suasana setengah remang-remang memberikan pemandangan yang menakjubkan! 

Bukit sebelah sini tidak terlalu tinggi untuk dituruni.  Di bawah sana terlihat ada tanah lapang yang cocok untuk berkemah.  Tidak jauh lagi di pinggirannya terbentang lautan.  Laut? Ahaa ini menggembirakan!  Ada laut berarti ada pantai.  Ada pantai biasanya ada pemukiman.  Ada pemukiman umumnya ada alat komunikasi.  Mereka bisa menghubungi universitas untuk evakuasi.

Ran ragu-ragu.  Lalu memicingkan matanya memastikan.  Sayup-sayup ada bayangan hitam di pinggiran laut itu.  Jauh memang.  Tapi itu rasanya sebuah tepian.  Dipanggilnya Ben untuk opini kedua.  Dimintanya Ben untuk menggunakan binokuler.

"Coba perhatikan apakah itu laut atau danau Ben?" 

Ben melakukan yang diminta. Dan Ben juga tidak bisa memastikan.  Maklum cahaya memang sudah mulai menghilang. 

Ran memandang sekeliling.  Berhitung apakah mereka harus berkemah di puncak bukit ini atau turun ke tanah lapang di bawah.  Ran memeriksa sekali lagi kondisi Cindy.  Wanita itu kelihatannya sudah membaik.  Nafasnya teratur walau belum siuman.  Warna membiru di wajah dan tubuhnya sudah hilang sepenuhnya.  Ran bernafas lega.

Satu pemeriksaan terakhir di nadi dan mata.  Detak nadi Cindy sangat cepat!  Jauh di atas standar normal!  Ran memucat.  Ini aneh.  Nafas teratur seharusnya detak nadi juga teratur.  Ran membuka mata Cindy yang terpejam.  Hampir saja Ran melompat ke belakang!  Mata Cindy juga aneh.  Keseluruhannya berwarna hitam!

Keputusan dikeluarkan.  Kondisi Cindy yang aneh memerlukan tempat yang layak untuk pemeriksaan.  Dan air!  Perlu air yang cukup untuk kondisi darurat seperti ini.  Perbekalan air mereka hanya cukup untuk malam ini.  Tapi tidak untuk segala macam pemeriksaan.

Dengan kelelahan yang sudah sampai pada puncaknya, rombongan itu menuruni bukit.  Dalam keadaan gelap dan hanya diterangi cahaya sekedarnya dari senter dan lampu badai, perjalanan ke bawah memerlukan hampir 3 jam lamanya.

Semua bernafas luar biasa lega begitu melihat tanah lapang yang mereka lihat dari atas bukit ternyata sangat bagus untuk berkemah.  Terlindungi dari kanan, kiri dan belakang oleh lingkaran perbukitan.  Dan di depan mereka hanya ada permukaan air yang sangat luas.  Lautan.

-----

Ran meminta anggota team untuk fokus penuh pada upaya pengobatan Cindy.  Ran tidak tahu persis apakah keadaan Cindy membahayakan jiwanya atau tidak.  Secara fisik tidak.  Apalagi detak nadi Cindy setelah diperiksa baru saja, normal.

Yang sangat menjadi pertanyaan adalah matanya!  Keseluruhan pupil mata menghitam.  Tidak ada perubahan.  Paling tidak malam ini mereka harus membuat Cindy tetap hangat.  Api tidak boleh padam.  Cindy tidak boleh lepas dari pengawasan.

Dan malam memang berlalu tanpa insiden sama sekali.  Anggota team bergiliran berjaga.  Terhadap bahaya sekaligus mengawasi kondisi Cindy.  Hanya ada satu kejadian yang tidak bisa dijelaskan nalar terjadi.  Lautan di depan mereka bergemuruh tiada henti.  Padahal tidak ada angin ribut atau badai topan.  Semua orang menyimpan kejadian itu dalam hati.  Sambil berharap ada penjelasan yang masuk akal esok hari.

----

Ran yang kebagian jaga terakhir memandang hamparan air di depannya tanpa berkedip.  Pagi sudah tiba.  Cindy baik-baik saja.  Walaupun Ran belum bisa memastikan apakah matanya sudah kembali normal atau belum.  Gadis itu masih tertidur.  Atau tepatnya belum siuman.

Hamparan air itu bukan lautan!  Apa yang dia saksikan sekarang adalah sebuah sungai besar luar biasa.  Sungai raksasa.  Dan sungai raksasa ini sedang mengamuk!

----

Bogor, 18 Juni 2018

Selanjutnya; Negeri Tulang Belulang (Niagara Kedua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun