Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Resep Kematian

7 April 2018   22:05 Diperbarui: 7 April 2018   22:50 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dokter tolong beri aku resep kematian!  Aku sudah tidak tahan!"

Lelaki kekar itu menangkupkan kedua tangan di dada.  Di hadapan seorang dokter wanita yang menatapnya tercengang.

Lelaki itu tadi menerobos antrian begitu saja.  Tak peduli perawat berteriak-teriak mencegah.  Dia terus saja menulikan telinga dan memasuki ruang praktek dokter Nita.  Lelaki itu berpakaian rapi namun badannya penuh dengan tattoo.  Termasuk seekor naga perkasa yang melilit kedua lengannya.

Saking takjubnya, Dokter Wina masih terbengong-bengong menatap lelaki itu.  Dia adalah ahli anestesi sekaligus spesialis bedah syaraf.  Sudah belasan tahun dia membuka praktek tapi baru kali ini dia menemui pasien seaneh ini.

"Maksud Bapak?"  Dokter Wina tergagap bertanya.

"Maksudku tentu saja beri aku resep bagaimana agar aku cepat mati dokter!" lelaki itu menjawab.  Lebih tegas lagi.

Dokter Wina mengusir kepeningan yang mulai melanda benaknya.  Jangan-jangan pasien ini sudah gila!

Dokter Wina memutuskan mengusir pasien itu dengan halus.  Mengatakan bahwa sebaiknya nanti bicara setelah pasien habis dan jam praktek berakhir.  Lelaki itu menurut.

-----

Pasien terakhir sudah pulang.  Dokter Wina sudah hampir lupa dengan janjinya kepada lelaki yang diduganya gila tadi.  Dokter wanita yang ternama ini sedang membereskan semua peralatan dan memasukkannya dalam tas saat pintunya terbuka begitu saja.

Lelaki itu berdiri di sana.  Menatapnya dengan mata nyalang namun mengiba.

"Dokter please.  Berikan aku resep kematian.  Aku tidak pernah memohon sebelumnya kepada orang lain.  Kali ini aku memohon kepadamu...."

Suara lelaki itu betul-betul tulus penuh permohonan.  Dokter Wina yang awalnya terkaget saat pintu itu terbuka mendadak, duduk kembali di kursinya.  Memberi isyarat kepada lelaki itu untuk mendekat dan duduk di hadapannya.

"Baiklah Pak.  Apa masalahnya sehingga Bapak menginginkan resep kematian.  Bukankah kematian akan datang dengan sendirinya tanpa perlu resep?"  Dokter Wina bertanya dengan lembut. 

"Aku adalah pembunuh bayaran dokter.  Aku sudah tidak mau melakukan hal buruk itu lagi.  Tapi aku terikat kontrak seumur hidup untuk membunuhi orang-orang.  Hanya kematian yang bisa membebaskan aku," lelaki itu menjelaskan dengan tenang seolah semua itu hanya hal yang biasa saja.

Dokter Wina terbelalak untuk kesekian kalinya.  Duh, tadi malam dia mimpi apa sehingga harus ketemu dengan orang seperti ini?  Keluhnya dalam hati.

Dokter lalu mendengarkan lelaki itu bercerita panjang lebar.  Mengenai profesinya yang mengerikan.  Menjadi wakil malaikat pencabut nyawa.  Lelaki itu juga bercerita bahwa saking inginnya dia mengakhiri semua, dia selalu melakukan tugasnya secara nekat.  Tanpa perhitungan.

Tapi tetap saja.  Dia selalu berhasil dan selamat.  Entah dilindungi setan darimana, dia selalu berhasil lolos dari perlawanan, kepungan polisi, bahkan amuk massa.  Lelaki itu sampai terheran-heran sendiri.  Di suatu kesempatan merenung, dia malah sempat berpikir jangan-jangan dia dilindungi oleh malaikat kematian itu sendiri.

Dokter Wina mendengar semua cerita lelaki itu dengan takjub.  Luar biasa.  Ini kisah yang bila dituliskan mungkin bisa menjadi novel yang mengejutkan.

-----

"Tapi Bapak tahu kan?  Bahwa seorang dokter terikat pada sumpahnya untuk menghindarkan orang dari kematian?  Bukannya malah menjadi penyebab kematian?" Dokter Wina berusaha menjelaskan sekaligus bertanya.

"Aku tahu dokter.  Dan aku juga menghormatinya.  Tapi ini kasus khusus.  Tolonglah aku dokter.  Dokter adalah ahli anestesi yang sangat pintar.  Aku tahu dokter bisa melakukan euthanasia dengan keahlian dokter," lelaki itu tetap mendesak.

Dokter Wina menghela nafas panjang.  Ini semakin rumit saja.  Juga semakin gila!  Bagaimana caranya dia bisa mengelak dari permintaan lelaki aneh ini?

Dia memang bisa melakukan ethanasia.  Tapi tentu saja tidak dengan cara seperti ini.  Itupun biasanya dia lakukan pada hewan-hewan yang sudah sekarat dan tidak mempunyai harapan hidup lagi.  Bukan manusia.  Negara ini tidak mengenal namanya suntik mati.

Untuk sesaat ruang praktek Dokter Wina diselimuti keheningan.  Lelaki itu terus saja berharap melalui tatapan matanya.  Dokter Wina kembali dilanda kebingungan teramat sangat.

"Begini saja Pak.  Bagaimana kalau bapak berkonsultasi dulu dengan psikiater?  Saya tidak bisa memenuhi permintaan bapak.  Saya tidak bisa!"  suara Dokter Wina mulai meninggi.  Kepalanya sakit.

Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya.  Berjalan berputar-putar ruangan sambil berkata-kata sendiri.

"Aku sudah tidak mau hidup.  Aku sudah banyak menghilangkan hidup orang.  Aku sudah bosan.  Aku harus mati.  Tapi aku harus mati dengan cara terhormat!"

Lelaki itu berhenti berjalan.  Mendekati lemari kaca di belakang Dokter Wina.  Membukanya.  Dokter Wina bergeser menjauh.  Ketakutan.

Lelaki itu mengambil jarum suntik.  Matanya memeriksa isi lemari kaca.  Diambilnya ampul bertuliskan PC.  Diisinya tabung jarum suntik dengan cairan tersebut.  Dokter Wina nyaris histeris.

"Ini dokter.  Ambillah.  Kesempatan terakhir!  Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan melakukannya kepadamu!"  Dokter Wina hampir menangis.  Perawatnya tadi kemana?  Dokter Wina tidak tahu bahwa perawatnya sudah pingsan di ruang depan setelah lelaki itu memukul tengkuknya.

Lelaki itu mengangsurkan jarum suntik kepada Dokter Wina.  Diletakkan di atas meja kerja sang dokter.  Lelaki itu lalu meraih sesuatu di dalam saku jasnya menggunakan tangan kiri.  Sementara tangan kanannya telah menggenggam sepucuk pistol yang diarahkan kepada Dokter Wina.

Dokter Wina pucat pasi.  Matanya yang seperti kelinci ketakutan menatap bergantian antara pistol dan jarum suntik di depannya.  Lelaki itu sangat serius!

"Lakukan SEKARANG dokter!  Aku tahu kamu adalah dokter baik hati yang suka menolong orang.  Tapi kamu harus mempertahankan nyawamu!"

Klik!  Lelaki itu melepas pengaman pistolnya.

Dokter Wina histeris sepenuhnya sekarang.  Diambilnya jarum suntik itu dengan cepat.  Berdiri terhuyung-huyung sambil menancapkan jarumnya ke leher lelaki itu.  Dosis PC yang dimasukkan lelaki itu ke dalam tabung jarum suntik adalah dosis paling mematikan.  Lelaki itu jatuh dan berkelojotan sebentar lalu diam.  Untuk selamanya.  Mulutnya membentuk senyuman.

Sambil terisak-isak Dokter Wina jongkok memeriksa lelaki yang sudah mati itu.  Diambilnya pistol yang masih tergenggam di tangan kanan lelaki itu.  Dokter Wina adalah wanita yang punya hobby menembak dan masuk sebagai anggota perkumpulan legal menembak.  Dia bisa memastikan sepenuhnya ternyata pistol itu kosong tanpa peluru di dalamnya.

Dibukanya tangan kiri lelaki itu.  Sehelai kertas kecil terjatuh ke lantai.  Dokter Wina mengambil dan membacanya.  Masih dengan tubuh gemetaran;

Target berikutnya; Dokter Wina Handoyo.

------

Bogor, 7 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun