"Dokter tolong beri aku resep kematian! Â Aku sudah tidak tahan!"
Lelaki kekar itu menangkupkan kedua tangan di dada. Â Di hadapan seorang dokter wanita yang menatapnya tercengang.
Lelaki itu tadi menerobos antrian begitu saja. Â Tak peduli perawat berteriak-teriak mencegah. Â Dia terus saja menulikan telinga dan memasuki ruang praktek dokter Nita. Â Lelaki itu berpakaian rapi namun badannya penuh dengan tattoo. Â Termasuk seekor naga perkasa yang melilit kedua lengannya.
Saking takjubnya, Dokter Wina masih terbengong-bengong menatap lelaki itu. Â Dia adalah ahli anestesi sekaligus spesialis bedah syaraf. Â Sudah belasan tahun dia membuka praktek tapi baru kali ini dia menemui pasien seaneh ini.
"Maksud Bapak?" Â Dokter Wina tergagap bertanya.
"Maksudku tentu saja beri aku resep bagaimana agar aku cepat mati dokter!" lelaki itu menjawab. Â Lebih tegas lagi.
Dokter Wina mengusir kepeningan yang mulai melanda benaknya. Â Jangan-jangan pasien ini sudah gila!
Dokter Wina memutuskan mengusir pasien itu dengan halus. Â Mengatakan bahwa sebaiknya nanti bicara setelah pasien habis dan jam praktek berakhir. Â Lelaki itu menurut.
-----
Pasien terakhir sudah pulang. Â Dokter Wina sudah hampir lupa dengan janjinya kepada lelaki yang diduganya gila tadi. Â Dokter wanita yang ternama ini sedang membereskan semua peralatan dan memasukkannya dalam tas saat pintunya terbuka begitu saja.
Lelaki itu berdiri di sana. Â Menatapnya dengan mata nyalang namun mengiba.
"Dokter please. Â Berikan aku resep kematian. Â Aku tidak pernah memohon sebelumnya kepada orang lain. Â Kali ini aku memohon kepadamu...."
Suara lelaki itu betul-betul tulus penuh permohonan. Â Dokter Wina yang awalnya terkaget saat pintu itu terbuka mendadak, duduk kembali di kursinya. Â Memberi isyarat kepada lelaki itu untuk mendekat dan duduk di hadapannya.
"Baiklah Pak. Â Apa masalahnya sehingga Bapak menginginkan resep kematian. Â Bukankah kematian akan datang dengan sendirinya tanpa perlu resep?" Â Dokter Wina bertanya dengan lembut.Â
"Aku adalah pembunuh bayaran dokter. Â Aku sudah tidak mau melakukan hal buruk itu lagi. Â Tapi aku terikat kontrak seumur hidup untuk membunuhi orang-orang. Â Hanya kematian yang bisa membebaskan aku," lelaki itu menjelaskan dengan tenang seolah semua itu hanya hal yang biasa saja.
Dokter Wina terbelalak untuk kesekian kalinya. Â Duh, tadi malam dia mimpi apa sehingga harus ketemu dengan orang seperti ini? Â Keluhnya dalam hati.
Dokter lalu mendengarkan lelaki itu bercerita panjang lebar. Â Mengenai profesinya yang mengerikan. Â Menjadi wakil malaikat pencabut nyawa. Â Lelaki itu juga bercerita bahwa saking inginnya dia mengakhiri semua, dia selalu melakukan tugasnya secara nekat. Â Tanpa perhitungan.
Tapi tetap saja. Â Dia selalu berhasil dan selamat. Â Entah dilindungi setan darimana, dia selalu berhasil lolos dari perlawanan, kepungan polisi, bahkan amuk massa. Â Lelaki itu sampai terheran-heran sendiri. Â Di suatu kesempatan merenung, dia malah sempat berpikir jangan-jangan dia dilindungi oleh malaikat kematian itu sendiri.
Dokter Wina mendengar semua cerita lelaki itu dengan takjub. Â Luar biasa. Â Ini kisah yang bila dituliskan mungkin bisa menjadi novel yang mengejutkan.
-----
"Tapi Bapak tahu kan? Â Bahwa seorang dokter terikat pada sumpahnya untuk menghindarkan orang dari kematian? Â Bukannya malah menjadi penyebab kematian?" Dokter Wina berusaha menjelaskan sekaligus bertanya.
"Aku tahu dokter. Â Dan aku juga menghormatinya. Â Tapi ini kasus khusus. Â Tolonglah aku dokter. Â Dokter adalah ahli anestesi yang sangat pintar. Â Aku tahu dokter bisa melakukan euthanasia dengan keahlian dokter," lelaki itu tetap mendesak.
Dokter Wina menghela nafas panjang. Â Ini semakin rumit saja. Â Juga semakin gila! Â Bagaimana caranya dia bisa mengelak dari permintaan lelaki aneh ini?
Dia memang bisa melakukan ethanasia. Â Tapi tentu saja tidak dengan cara seperti ini. Â Itupun biasanya dia lakukan pada hewan-hewan yang sudah sekarat dan tidak mempunyai harapan hidup lagi. Â Bukan manusia. Â Negara ini tidak mengenal namanya suntik mati.
Untuk sesaat ruang praktek Dokter Wina diselimuti keheningan. Â Lelaki itu terus saja berharap melalui tatapan matanya. Â Dokter Wina kembali dilanda kebingungan teramat sangat.
"Begini saja Pak. Â Bagaimana kalau bapak berkonsultasi dulu dengan psikiater? Â Saya tidak bisa memenuhi permintaan bapak. Â Saya tidak bisa!" Â suara Dokter Wina mulai meninggi. Â Kepalanya sakit.
Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Â Berjalan berputar-putar ruangan sambil berkata-kata sendiri.
"Aku sudah tidak mau hidup. Â Aku sudah banyak menghilangkan hidup orang. Â Aku sudah bosan. Â Aku harus mati. Â Tapi aku harus mati dengan cara terhormat!"
Lelaki itu berhenti berjalan. Â Mendekati lemari kaca di belakang Dokter Wina. Â Membukanya. Â Dokter Wina bergeser menjauh. Â Ketakutan.
Lelaki itu mengambil jarum suntik. Â Matanya memeriksa isi lemari kaca. Â Diambilnya ampul bertuliskan PC. Â Diisinya tabung jarum suntik dengan cairan tersebut. Â Dokter Wina nyaris histeris.
"Ini dokter. Â Ambillah. Â Kesempatan terakhir! Â Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan melakukannya kepadamu!" Â Dokter Wina hampir menangis. Â Perawatnya tadi kemana? Â Dokter Wina tidak tahu bahwa perawatnya sudah pingsan di ruang depan setelah lelaki itu memukul tengkuknya.
Lelaki itu mengangsurkan jarum suntik kepada Dokter Wina. Â Diletakkan di atas meja kerja sang dokter. Â Lelaki itu lalu meraih sesuatu di dalam saku jasnya menggunakan tangan kiri. Â Sementara tangan kanannya telah menggenggam sepucuk pistol yang diarahkan kepada Dokter Wina.
Dokter Wina pucat pasi. Â Matanya yang seperti kelinci ketakutan menatap bergantian antara pistol dan jarum suntik di depannya. Â Lelaki itu sangat serius!
"Lakukan SEKARANG dokter! Â Aku tahu kamu adalah dokter baik hati yang suka menolong orang. Â Tapi kamu harus mempertahankan nyawamu!"
Klik! Â Lelaki itu melepas pengaman pistolnya.
Dokter Wina histeris sepenuhnya sekarang. Â Diambilnya jarum suntik itu dengan cepat. Â Berdiri terhuyung-huyung sambil menancapkan jarumnya ke leher lelaki itu. Â Dosis PC yang dimasukkan lelaki itu ke dalam tabung jarum suntik adalah dosis paling mematikan. Â Lelaki itu jatuh dan berkelojotan sebentar lalu diam. Â Untuk selamanya. Â Mulutnya membentuk senyuman.
Sambil terisak-isak Dokter Wina jongkok memeriksa lelaki yang sudah mati itu. Â Diambilnya pistol yang masih tergenggam di tangan kanan lelaki itu. Â Dokter Wina adalah wanita yang punya hobby menembak dan masuk sebagai anggota perkumpulan legal menembak. Â Dia bisa memastikan sepenuhnya ternyata pistol itu kosong tanpa peluru di dalamnya.
Dibukanya tangan kiri lelaki itu. Â Sehelai kertas kecil terjatuh ke lantai. Â Dokter Wina mengambil dan membacanya. Â Masih dengan tubuh gemetaran;
Target berikutnya; Dokter Wina Handoyo.
------
Bogor, 7 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H