Pertama yang dilakukannya adalah meletakkan ranting di depan Angsoka. Dibakarnya menggunakan api yang dinyalakan korek api. Setelah itu diguyurnya dengan air perlahan-lahan. Bibirnya lirih menyanyikan tembang atau sajak atau puisi. Â Hanya samar-samar terdengar;
Ini adalah hari aku memutuskan memilih mimpi yang manaÂ
Sejak lama aku hanya meletakkannya dalam tidurÂ
Di bawah bantal tanpa pernah kutegur
 Aku memilih ranting ini terbakar lalu kebasahanÂ
Itu artinya aku sudah siap melepaskan diri dari kubanganÂ
Membakar hati untuk melangkah sekuat macan
Perempuan itu tersenyum. Sekarang dia tidak lagi mengaku bahagia. Dia bahagia.Â
----
Perempuan itu masuk ke rumah untuk menjalankan rutinitas lainnya. Memasak, mencuci dan menyapu. Hal rutin yang tidak menjemukan karena itu dilakukan untuk anak-anaknya tercinta. Â Ada cinta di setiap rempah yang dijatuhkan dalam wajan. Â Ada kasih saat membilas dan menjemur cucian. Ada jelaga serupa debu yang dihilangkan dari lantai ubinnya yang kemudian terlihat begitu terang.
Seusai beristirahat sejenak. Perempuan itu melangkahkan kaki ke halaman. Saatnya berbincang dengan Angsoka.Â
Kali ini perempuan itu tidak membawa apa-apa. Tidak korek api, tidak ranting dan tidak juga air. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Mungkin karena hari ini dia merasa begitu berbahagia. Jadi cukuplah berbincang saja.
Lagipula perempuan itu berniat mengakhiri perbincangan dengan Angsoka selamanya. Ini perbincangan terakhir yang akan dilakukan. Tanpa perlambang atau simbol apapun. Dia akan berkata-kata. Â Dia sudah menyiapkan kata-katanya. Â Â
-----
Sore sudah berjinjit memanjat pagar. Datang perlahan-lahan. Menyiramkan cahaya jingga sepenuhnya ke halaman. Â Perempuan itu terhenti di depan pintu. Â Dari kejauhan nampak mekar setangkai bunga berwarna putih cerah. Â Angsokanya berbunga!