Perempuan itu berbinar matanya. Memandangi dengan penuh rasa sayang keajaiban kecil yang ada di hadapannya. Serumpun mungil Angsoka sedang berbunga.
Perempuan itu mengambil gayung. Berniat menyirami bunga cantik itu. Tapi niatnya diurungkan. Ini bukan waktu yang pas untuk bersiram-siram. Keajaiban ini harus dipandangi berlama-lama.
----
Masih memegang gayung, perempuan itu melamun. Bertahun-tahun dia mengupayakan Angsoka ini berbunga. Tidak pernah berhasil. Entah mengapa. Barangkali karena bunga ini adalah cermin. Â Tempatnya berkaca setiap hari. Â Perempuan itu malah sering mengajaknya bercakap-cakap. Â Pagi dan petang.
Percakapannya selalu terjadi dengan isyarat. Dengan api, ranting dan air. Hanya tiga itu saja cara perempuan itu berkomunikasi dengan bunganya.
Menyalakan korek api di hadapan Angsoka adalah cara perempuan itu menyampaikan bahwa suasana hatinya sedang terbayang kenangan. Perempuan itu memilih ranting kecil lalu mengangsurkannya di depan Angsoka untuk mengatakan hatinya sedang mengeras. Saat air bukan untuk disiramkannya, tapi hanya dihamburkan ke langit menyerupai hujan, itu artinya hati perempuan itu kekeringan.
Begitu setiap hari. Sebelum berangkat kerja, sepulang kerja dan sesaat sebelum magrib tiba. Perempuan itu tidak pernah alpa untuk bercakap-cakap dengan Angsokanya yang tetap teguh tak mau berbunga.
Perempuan itu tak mau bertanya kepada siapapun kenapa Angsokanya tidak mau berbunga. Baginya, adanya Angsoka itu saja sudah cukup membuatnya mengaku berbahagia. Dia punya teman bercakap-cakap layaknya sahabat.
----
Entah sudah berapa banyak korek api yang dihanguskan, berkubik-kubik ranting yang teronggok di halaman, hingga bergalon-galon air yang dibuang untuk menggambarkan sekian tahun yang dihabiskan agar selalu bisa berbincang dengan tanaman itu. Perempuan itu tak bisa menghitungnya dengan pasti. Paling penting baginya adalah bisa mengungkapkan perasaannya setiap saat kepada Angsoka.
Seperti hari ini. Sepulang mengajarkan anak-anak bagaimana bertanam bunga di sekolah, perempuan itu buru-buru menuju halaman depan. Dia membawa sekaligus korek api, ranting dan air. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Yang jelas ini tidak biasa.Â
Pertama yang dilakukannya adalah meletakkan ranting di depan Angsoka. Dibakarnya menggunakan api yang dinyalakan korek api. Setelah itu diguyurnya dengan air perlahan-lahan. Bibirnya lirih menyanyikan tembang atau sajak atau puisi. Â Hanya samar-samar terdengar;
Ini adalah hari aku memutuskan memilih mimpi yang manaÂ
Sejak lama aku hanya meletakkannya dalam tidurÂ
Di bawah bantal tanpa pernah kutegur
 Aku memilih ranting ini terbakar lalu kebasahanÂ
Itu artinya aku sudah siap melepaskan diri dari kubanganÂ
Membakar hati untuk melangkah sekuat macan
Perempuan itu tersenyum. Sekarang dia tidak lagi mengaku bahagia. Dia bahagia.Â
----
Perempuan itu masuk ke rumah untuk menjalankan rutinitas lainnya. Memasak, mencuci dan menyapu. Hal rutin yang tidak menjemukan karena itu dilakukan untuk anak-anaknya tercinta. Â Ada cinta di setiap rempah yang dijatuhkan dalam wajan. Â Ada kasih saat membilas dan menjemur cucian. Ada jelaga serupa debu yang dihilangkan dari lantai ubinnya yang kemudian terlihat begitu terang.
Seusai beristirahat sejenak. Perempuan itu melangkahkan kaki ke halaman. Saatnya berbincang dengan Angsoka.Â
Kali ini perempuan itu tidak membawa apa-apa. Tidak korek api, tidak ranting dan tidak juga air. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Mungkin karena hari ini dia merasa begitu berbahagia. Jadi cukuplah berbincang saja.
Lagipula perempuan itu berniat mengakhiri perbincangan dengan Angsoka selamanya. Ini perbincangan terakhir yang akan dilakukan. Tanpa perlambang atau simbol apapun. Dia akan berkata-kata. Â Dia sudah menyiapkan kata-katanya. Â Â
-----
Sore sudah berjinjit memanjat pagar. Datang perlahan-lahan. Menyiramkan cahaya jingga sepenuhnya ke halaman. Â Perempuan itu terhenti di depan pintu. Â Dari kejauhan nampak mekar setangkai bunga berwarna putih cerah. Â Angsokanya berbunga!
Perempuan itu berlari kecil menghampiri. Dalam benaknya berputar-putar pertanyaan. Â Kenapa bisa mendadak Angsokanya berbunga?
Sesampai di depan Angsoka cantik yang sedang berbunga, perempuan itu menemukan jawabannya. Â Ini pasti karena hari ini dia merasa berbahagia. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tidak hanya sekedar mengaku bahagia.
Perempuan itu membuka mulutnya. Â Memberikan senyuman paling lebar untuk Angsokanya. Â Sungguh tepat kata-kata yang disiapkannya tadi;
"Tadi perbincangan terakhir kita melalui korek api, ranting dan air. Apiku sudah menyala selamanya, aku tidak perlu lagi korek api. Â Rantingku akan kutanamkan di sampingmu, jadi aku tak perlu membuang dan mengambilnya lagi. Airku tak akan kubuang lagi, kecuali untuk menyiramkan kesejukan padamu. Â Terimakasih Angsoka. Â Kau tahu saat yang paling tepat untuk berbunga."
Perempuan itu mengangkat mukanya. Mengambil dua butir pecahan kaca dari mata yang mengalir di pipinya. Diaduknya bersama air dalam gayung yang masih dipegangnya. Disiramkannya pada Angsoka dengan penuh rasa cinta. Seutuhnya.
-----
Jakarta, 3 April 2018Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI