Takim mengangkat kedua tangannya ke arah langit. Â Berdoa. Â Dagangannya belum habis. Â Bahkan belum laku sama sekali. Â Laki-laki itu menjual es puter. Â Bukan kebetulan memang. Â Sekarang sedang musim penghujan.Â
Dia bukan orang yang bisa mempromosikan es buahnya lewat medsos atau semacamnya. Â Yang dia bisa hanya sms atau telpon. Â Itupun hanya untuk bertanya kepada istrinya apakah sudah pulang atau belum dari berdagang gorengan di pasar.
Sekarang Takim berdoa. Â Minta keajaiban. Â Berkali-kali ikut pengajian, Takim selalu diajarkan bahwa keajaiban itu selalu ada. Â Tapi harus disokong dengan kekuatan doa.
Begini doa Takim;
 Gusti ingkang murbeng dumadi.  Datangkanlah orang-orang yang kehausan meski saat ini hujan.  Jangan hentikan hujannya.  Tapi datangkanlah orang-orang yang kerongkongannya kekeringan.
Sederhana. Â Takim tidak meminta kemarau atau hujan dihentikan. Â Dia hanya minta beberapa orang agar kehausan.
-----
Rodiah, istri Takim mengelap dahinya yang bersimbah peluh. Â Dagangannya laku keras. Â Sejak pagi terus-terusan dia menggoreng. Â Musim hujan membawa berkah bagi singkong, ubi dan tempe goreng dagangannya.
Tapi dia kelelahan. Â Belum lagi ingat si Munaroh anak semata wayang yang pasti sudah pulang dari sekolah. Â Dalam hati Rodiah mengalirlah kata-kata serupa doa;
Ya Allah. Â Terimakasih telah memberi berkah melimpah ruah. Â Ijinkan hamba cepat pulang. Â Anak hamba sendirian di rumah.
Juga sederhana. Â Bukannya memohon agar dagangannya selalu laku seperti ini, Rodiah malah berharap tidak ada lagi orang yang pesan gorengan. Â Baginya ini semua sudah lebih dari cukup. Â Wanita itu lebih mengkhawatirkan anaknya yang masih kecil di rumah.
Rodiah bersyukur untuk hari ini. Â Tapi tidak meminta ini terjadi berkali-kali. Â Dia bersyukur untuk setiap kejadian. Â Tidak meminta berlebihan.
-----
Pak Tarmo mengayuh becaknya pelan-pelan. Â Dia tidak mampu lagi ngebut karena dibatasi tenaga tua. Â Meski penumpangnya berkali-kali mengatakan agar Pak Tarmo cepat karena takut terlambat, Pak Tarmo tetap pada kayuhannya yang semenjana. Â Apa adanya.
Penumpang becak itu tidak sabaran.Â
"Turun sini saja pak! Â Saya bisa terlambat kalau jalannya seperti keong begini. Â Berapa?"
Pak Tarmo menghentikan becaknya. Â Menjawab sedikit terengah. Â Tersenyum pasrah.
"Tidak usah den. Â Sebelum sampai tujuan bapak tidak pernah menuntut bayaran. Â Nggak apa-apa."
Penumpang itu tetap menggerutu meski tak harus membayar. Â Buru-buru mencegat taksi yang lewat. Â Dia sengaja tadi naik becak karena taksi susah didapat kalau pagi.
Pak Tarmo menyaksikan taksi itu melesat cepat. Â Meminggirkan becaknya di depan toko kelontong. Â Dia perlu istirahat. Â Lagipula perutnya merintih meminta nasi. Â Belum dipenuhinya sejak pagi.
Sanghyang Widi, Â terimakasih masih memberiku kekuatan untuk bekerja. Â Aku tidak mau tergantung pada anak-anakku yang juga susah. Â Berilah terus kekuatan ini. Â Sampai kelak aku mati.
Pak Tarmo menggerak-gerakkan bibirnya sambil memandangi langit. Â Berharap Tuhan mendengarnya. Â Pak Tarmo terjengit sesaat. Â Kenapa harus melihat ke atas ya? Â Sedangkan Tuhan kan ada di mana-mana. Â Malah siapa tahu saat berdoa tadi Tuhan ada di sampingnya.Â
Pak Tarmo tersenyum tenang. Â Langkah selanjutnya sederhana baginya. Â Yaitu menunggu penumpang selanjutnya. Â Tentu yang punya kesabaran menggunakan jasa seorang pengayuh becak tua.
-----
Tak jauh dari becak Pak Tarno. Â Seorang pengemis setengah baya memperhatikan dengan seksama. Â Dia cukup dekat untuk mendengar semuanya tadi. Â Menghela nafas prihatin. Â Bapak tua itu sungguh hebat. Â Sudah lanjut usia tapi masih terus bekerja.
Pengemis itu prihatin kepada Pak Tarmo. Â Lalu dengan amat sangat terkejut pada dirinya sendiri.Â
Tuhanku. Â Selama ini aku adalah pendulang iba. Â Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara. Â Padahal aku masih cukup tenaga untuk bekerja. Â Aku mohon kepadaMU. Â Berikan aku waktu untuk merubah ratapanku.
Pengemis itu berjalan terseok-seok menjauh setelah membatin dengan berondongan doa yang membusai dari hatinya. Â Tidak lagi! Â Aku akan bekerja.Â
-----
Doa-doa dari pinggiran itu dirangkum oleh angin. Â Dibawa menghadap Malaikat pencatat. Â Penasaran lalu bertanya;
Wahai Malaikat. Â Ini doa-doa dari pinggiran. Â Apakah menunggu giliran untuk dicatat atau tetap terpinggirkan?
Jawaban dari Malaikat turun melalui petir. Â Saksi bahwa ucapannya dibenarkan Tuhan;
Tuhan bukan pemilih mana doa biasa dan mana doa yang hebat. Â Tidak mesti menitipkan doa kepada ulama agar bisa diterima. Â Dengan bahasanya sendiri doa akan berbicara kepada Tuhannya. Â
Â
-----
Sampit, 25 Maret 2018Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H