Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa-doa dari Pinggiran

25 Maret 2018   10:55 Diperbarui: 25 Maret 2018   11:15 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Takim mengangkat kedua tangannya ke arah langit.  Berdoa.  Dagangannya belum habis.  Bahkan belum laku sama sekali.  Laki-laki itu menjual es puter.  Bukan kebetulan memang.  Sekarang sedang musim penghujan. 

Dia bukan orang yang bisa mempromosikan es buahnya lewat medsos atau semacamnya.  Yang dia bisa hanya sms atau telpon.  Itupun hanya untuk bertanya kepada istrinya apakah sudah pulang atau belum dari berdagang gorengan di pasar.

Sekarang Takim berdoa.  Minta keajaiban.  Berkali-kali ikut pengajian, Takim selalu diajarkan bahwa keajaiban itu selalu ada.  Tapi harus disokong dengan kekuatan doa.

Begini doa Takim;

 Gusti ingkang murbeng dumadi.  Datangkanlah orang-orang yang kehausan meski saat ini hujan.  Jangan hentikan hujannya.  Tapi datangkanlah orang-orang yang kerongkongannya kekeringan.

Sederhana.  Takim tidak meminta kemarau atau hujan dihentikan.  Dia hanya minta beberapa orang agar kehausan.

-----

Rodiah, istri Takim mengelap dahinya yang bersimbah peluh.  Dagangannya laku keras.  Sejak pagi terus-terusan dia menggoreng.  Musim hujan membawa berkah bagi singkong, ubi dan tempe goreng dagangannya.

Tapi dia kelelahan.  Belum lagi ingat si Munaroh anak semata wayang yang pasti sudah pulang dari sekolah.  Dalam hati Rodiah mengalirlah kata-kata serupa doa;

Ya Allah.  Terimakasih telah memberi berkah melimpah ruah.  Ijinkan hamba cepat pulang.  Anak hamba sendirian di rumah.

Juga sederhana.  Bukannya memohon agar dagangannya selalu laku seperti ini, Rodiah malah berharap tidak ada lagi orang yang pesan gorengan.  Baginya ini semua sudah lebih dari cukup.  Wanita itu lebih mengkhawatirkan anaknya yang masih kecil di rumah.

Rodiah bersyukur untuk hari ini.  Tapi tidak meminta ini terjadi berkali-kali.  Dia bersyukur untuk setiap kejadian.  Tidak meminta berlebihan.

-----

Pak Tarmo mengayuh becaknya pelan-pelan.  Dia tidak mampu lagi ngebut karena dibatasi tenaga tua.  Meski penumpangnya berkali-kali mengatakan agar Pak Tarmo cepat karena takut terlambat, Pak Tarmo tetap pada kayuhannya yang semenjana.  Apa adanya.

Penumpang becak itu tidak sabaran. 

"Turun sini saja pak!  Saya bisa terlambat kalau jalannya seperti keong begini.  Berapa?"

Pak Tarmo menghentikan becaknya.  Menjawab sedikit terengah.  Tersenyum pasrah.

"Tidak usah den.  Sebelum sampai tujuan bapak tidak pernah menuntut bayaran.  Nggak apa-apa."

Penumpang itu tetap menggerutu meski tak harus membayar.  Buru-buru mencegat taksi yang lewat.  Dia sengaja tadi naik becak karena taksi susah didapat kalau pagi.

Pak Tarmo menyaksikan taksi itu melesat cepat.  Meminggirkan becaknya di depan toko kelontong.  Dia perlu istirahat.  Lagipula perutnya merintih meminta nasi.  Belum dipenuhinya sejak pagi.

Sanghyang Widi,  terimakasih masih memberiku kekuatan untuk bekerja.  Aku tidak mau tergantung pada anak-anakku yang juga susah.  Berilah terus kekuatan ini.  Sampai kelak aku mati.

Pak Tarmo menggerak-gerakkan bibirnya sambil memandangi langit.  Berharap Tuhan mendengarnya.  Pak Tarmo terjengit sesaat.  Kenapa harus melihat ke atas ya?  Sedangkan Tuhan kan ada di mana-mana.  Malah siapa tahu saat berdoa tadi Tuhan ada di sampingnya. 

Pak Tarmo tersenyum tenang.  Langkah selanjutnya sederhana baginya.  Yaitu menunggu penumpang selanjutnya.  Tentu yang punya kesabaran menggunakan jasa seorang pengayuh becak tua.

-----

Tak jauh dari becak Pak Tarno.  Seorang pengemis setengah baya memperhatikan dengan seksama.  Dia cukup dekat untuk mendengar semuanya tadi.  Menghela nafas prihatin.  Bapak tua itu sungguh hebat.  Sudah lanjut usia tapi masih terus bekerja.

Pengemis itu prihatin kepada Pak Tarmo.  Lalu dengan amat sangat terkejut pada dirinya sendiri. 

Tuhanku.  Selama ini aku adalah pendulang iba.  Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara.  Padahal aku masih cukup tenaga untuk bekerja.  Aku mohon kepadaMU.  Berikan aku waktu untuk merubah ratapanku.

Pengemis itu berjalan terseok-seok menjauh setelah membatin dengan berondongan doa yang membusai dari hatinya.  Tidak lagi!  Aku akan bekerja. 

-----

Doa-doa dari pinggiran itu dirangkum oleh angin.  Dibawa menghadap Malaikat pencatat.  Penasaran lalu bertanya;

Wahai Malaikat.  Ini doa-doa dari pinggiran.  Apakah menunggu giliran untuk dicatat atau tetap terpinggirkan?

Jawaban dari Malaikat turun melalui petir.  Saksi bahwa ucapannya dibenarkan Tuhan;

Tuhan bukan pemilih mana doa biasa dan mana doa yang hebat.  Tidak mesti menitipkan doa kepada ulama agar bisa diterima.  Dengan bahasanya sendiri doa akan berbicara kepada Tuhannya.  

 

-----

Sampit, 25 Maret 2018 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun