Pak Tarmo tersenyum tenang. Â Langkah selanjutnya sederhana baginya. Â Yaitu menunggu penumpang selanjutnya. Â Tentu yang punya kesabaran menggunakan jasa seorang pengayuh becak tua.
-----
Tak jauh dari becak Pak Tarno. Â Seorang pengemis setengah baya memperhatikan dengan seksama. Â Dia cukup dekat untuk mendengar semuanya tadi. Â Menghela nafas prihatin. Â Bapak tua itu sungguh hebat. Â Sudah lanjut usia tapi masih terus bekerja.
Pengemis itu prihatin kepada Pak Tarmo. Â Lalu dengan amat sangat terkejut pada dirinya sendiri.Â
Tuhanku. Â Selama ini aku adalah pendulang iba. Â Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara. Â Padahal aku masih cukup tenaga untuk bekerja. Â Aku mohon kepadaMU. Â Berikan aku waktu untuk merubah ratapanku.
Pengemis itu berjalan terseok-seok menjauh setelah membatin dengan berondongan doa yang membusai dari hatinya. Â Tidak lagi! Â Aku akan bekerja.Â
-----
Doa-doa dari pinggiran itu dirangkum oleh angin. Â Dibawa menghadap Malaikat pencatat. Â Penasaran lalu bertanya;
Wahai Malaikat. Â Ini doa-doa dari pinggiran. Â Apakah menunggu giliran untuk dicatat atau tetap terpinggirkan?
Jawaban dari Malaikat turun melalui petir. Â Saksi bahwa ucapannya dibenarkan Tuhan;
Tuhan bukan pemilih mana doa biasa dan mana doa yang hebat. Â Tidak mesti menitipkan doa kepada ulama agar bisa diterima. Â Dengan bahasanya sendiri doa akan berbicara kepada Tuhannya. Â