“Ustadzah, izin ke kamar ya sebentar.” “Sini duduk dulu.” Ustadzah Nurul menajawab. Akupun menuruti perintah beliau. Akhirnya ustadzah Nurul buka suara, “Bebe sudah tahu?” Mungkin beliau melihat raut wajahku. “Sudah ustadzah.” Aku pun menangis dan ustadzah Nurul memelukku sambil berkata, “sudah pamitan, minta maaf?” aku hanya bisa mengangguk sulit untuk berkata sedikitpun.
Aku kembali ke kamar dengan disambut pelukan dari Haifa, Siyami, dan Salsa. Mereka berkata, “Yang sabar, tabah yaa.” Ternyata aku sudah ditunggu pakdeku didepan gerbang dan akupun berjalan dengan lemas dan isak tangis. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan menangis.
Sesampainya di depan gang sudah dipenuhi motor, mobil dan bendera kuning. Ketika aku berjalan menuju rumahku para warga mengusap lengan ku dan berkata, “Sabar ya dek.” Aku tak bisa menjawab mereka, karena disaat itu aku merasa menjadi orang yang paling terpuruk. Badanku terasa lemas ketika melihat jasad abahku diruang tamu dan rumah sudah dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman abah umi.
Aku menangis terus menerus dengan umi. Aku benci diriku sendiri, merasa kesal karena aku berdiri diatas keegoisanku. Pakde menarik tanganku untuk melihat abahku. Bibirnya pucat, badannya dingin, rasanya aku tidak sanggup melihatnya. Aku kecup kening abahku untuk terakhir kalinya.
Dalam hati aku berkata, “Selamat jalan abahku, selamat menjalani kehidupan tanpa batas. Semoga ditempatkan disisi terbaik-Nya. Dan aku harap kita bisa bersama-sama menikmati surga.”
[1] “limadza?” dalam bahasa indonesia berarti kenapa?