Pagi yang sangat cerah seperti moodku pada saat ini. Di sebuah penjara suci tepatnya di Pemalang Jawa Tengah aku tinggal. Namaku Hawa Berliana biasa dipanggil Bebe. Hari ini diawali dengan bangun pagi dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah wudhu selesai para santri berlomba-lomba menuju ke masjid untuk melaksanakan kewajiban yakni sholat subuh. Jam menunjukan pukul lima pagi, aku dan teman-teman kembali ke kamar masing-masing. Kegiatan kali ini berjalan seperti hari-hari sebelumnya, antri kamar mandi, makan bersama, dan berangkat sekolah.
Di pondokku memiliki ciri khas yang berbeda dari pondok lain, dimana kita berangkat sekolah empat kali sehari. Pukul lima pagi adalah sekolah pondok, setelah itu sarapan pagi bersama dan persiapan menuju sekolah formal dengan jalan kaki karena jaraknya sangat dekat.
Pelajaran demi pelajaran aku ikuti. Sampai waktu menunjukan sholat dhuhur. Aku bersama Haifa teman sebangkuku kembali ke asrama untuk menunaikan sholat dhuhur dan makan siang. Perutku yang sudah keroncongan ini tak sabar ingin melahap makanan yang telah disediakan oleh ibu Kartini, nama ibu dapur pondokku. Sesampainya di dapur aku mencium bau aroma sedap sebuah sayur, ya, sayur sop sayur kesukaanku.
Setelah selesai ishoma, aku kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran selanjutnya. Rizka, temen sekelasku yang terkenal sangat pintar dan rajin memanggilku, “Bebeeeee,” panggilnya dengan teriak.
“Iyaa rizkaa, limadza?” [1] “Nanti sore keluar yuk, ke warnet.” “Hayya[2], lama ga online.” Jawabku. “Oke, setalah mufrodat[3] yaa.” Jelasnya. “Siap!”
Sore hari pun tiba, setelah sholat ashar, aku sebagai bagian bahasa dalam orsa (organisasi santri) memencet bel tanda bahwa pemberian mufrodat akan segera dimulai. Para santri pun mulai berkumpul dilapangan. Dan aku memulainya dengan salam dan penuh teriakan agar mereka juga ikut semangat.
“Kulna jama’atan[4]” Seruku. “Haaadirohh..” Jawab para santri. Atau jika dalam Bahasa inggris, “Say together!” mereka akan menjawab, “Yes!”
Setelah pemberian kosa kata selesai, aku dan Rizka menuju kantor untuk meminta izin kepada ustadzah. Kita biasanya pergi keluar pondok menggunakan sepeda, angkutan umum , becak atau bahkan berjalan kaki. Namun, kali ini kita berjalan kaki sampai menjumpai becak karena diarea pondokku cukup sulit menemukan angkutan umum. Sesampainya di warnet kita bermain sepuasnya sambil dengerin musik.
Waktu menunjukan pukul lima sore yang menandakan aku dan Rizka harus bergegas pulang ke pondok. Sebelum pulang biasanya kita membeli jajanan atau lauk sesuai keinginan kita sendiri. Sesampainya dipondok, para santri sudah berjalan menuju masjid dan aku pun cepat-cepat membersihkan diri lalu menuju masjid, karena biasanya jika telat akan mendapatkan iqob.[5] Setelah sholat maghrib dan tadarus aku bersiap untuk sekolah pondok malam sampai jam delapan.
Setelah kelas selesai aku dan Salsa ke dapur untuk mengambil makan malam. Tiba-tiba terdengar suara pengumuman ustadzah dengan menggunakan microfon. “Assalamualaikum wr wb. Harap bagi nama-nama yang saya sebut untuk berkumpul didepan kamar ustadzah:
- Rizka Dinda
- Salsa Annisa Putri
- Hawa Berliana
- Haifa Ayu Novitasari
- Siyami Antasari Dewi
- Silmi Kaffah
- Merry Amelia
- Afni Oktaviani Putri
- Amelia Salma
- Hasna Paramitha
Syukron Katsiron,[6]Wassalamualaikum Wr. Wb.”
Setelah itu semua nama-nama yang dipanggil menuju depan kamar ustadzah. Ustadzah mengumumkan, “Jadi nama-nama yang saya panggil akan berangkatkan ke Jakarta untuk mengikuti jambore nasional.” Tentunya aku sangat senang karena ini adalah salah satu impian besarku, karena sebelum-sebelumnya aku hanya mengikuti jambore daerah. “Dan dengan dijatuhi biaya sembilan ratus ribu rupiah.”
Awalnya aku dan teman-teman kaget mendengar nominal yang besar, ini tentunya membuat kita bingung. Dan ustadzah menambahkan kalo setuju untuk diikutkan jambore nasional, bisa membayar sedikit demi sedikit. Setelah pengumuman, aku, Salsa, dan Haifa berbincang-bincang.
“Wah, bakal seru banget ini mah.’ Ucapku. “Iya ya ga nyangka kita bakal ikut ini.” Sambung Salsa. “Kita ambil aja yuk, kesempatan ini.” Tambah Haifa. Setelah berbincang-bincang akhirnya kami bertiga memutuskan untuk ikut.
Keesokan hari, di sore hari kita dipanggil ustadzah kembali, untuk menyatakan siap atau tidak siapnya mengikuti lomba tersebut. Pada akhirnya semua menyatakan untuk bersedia mengikutinya, dan sore itu juga langsung di briefing persiapan latihan dan yel-yel.
Hari demi hari dilalui, setiap sore aku beserta teman-temanku latihan dan terkadang ketika malam hari pun latihan. Dan sampai dimana hari yang berat untukku, jadi Pakdeku menjengukku ke pondok karena abahku sedang sakit dirumah sakit. Beliau bilang kepadaku, “Tidak usah ikut jambore ya, uangnya pakde minta diustadz. Jagain abah saja sedang sakit dirumah.” Disitu aku langsung meneteskan air mata karena sejujurnya aku ingin mengikuti jamnas dan ini adalah salah satu impian besarku tetapi disisi lain aku juga sayang abahku. Jawabanku tetap kekeh dan tidak ingin mengundurkan diri.
Tibalah ketika h- tiga kita yang akan mengikuti jamnas dipersilahkan untuk pulang dan kembali ke pondok h- satu. Seluruh santri sebenarnya dipulangkan karena pelaksanaan jamnas ini bertepatan dengan hari liburan.
Setelah dijemput aku tidak langsung pulang kerumah melainkan kerumah sakit untuk bertemu abahku. Sesampainya disana aku sangat ingin menangis melihat abahku terbaring lemas diatas kasur rumah sakit. Tetapi melihat kondisi abahku yang seperti itu tidak merubah keinginanku mengikuti jamnas ini.
“Abah ini bebe.” Ucapku dengan melihat kondisi abah yang sepertinya sudah sulit untuk mendengar dan berbicara dengan jelas. “Oh, ini bebe.” Jawabnya dengan tangannya yang berusaha mengusap pipiku yang basah. Disitu aku meminta maaf kepada abahku disertai tangisan, beliau hanya menjawa iya dan menangis, kemungkinan untuk berbicara sudah susah pikirku.
Keesokan harinya abah diperbolehkan pulang, namun aku heran dengan kondisi abahku yang lemas dan tidak bisa jalan, hanya bisa berbaring saja. Lalu abahku diangkat kedalam mobil, dimana aku memposisikan sebagai penopang kepala beliau. Kegiatanku selama dirumah menjaga abah, menyuapi makanan, dan bermain handphone.
Hari kembali ke pondok pun tiba, aku sudah menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa ke jamnas. Aku hanya diantar oleh umiku, abah dijaga oleh kakak sepupuku. Sesampainya dipondok, aku merapikan kembali barang-barang dalam koper karena aku satu koper dengan Salsa.
Hari keberangkatan menuju Jakarta pun tiba. Aku dan teman-temanku mempersiapkan diri seperti, mandi, check list barang bawaan, menyetrika dan lain sebagainya. Karena aku sudah mempersiapkan semuanya aku mengantri mandi bersama Haifa dan Siyami. Disitu kita besenda gurau.
Selesai mandi aku menuju kamarku dan aku bertemu Salsa dari arah berlawanan, dia memanggilku, “Bebee, dipanggil ustadzah.” Dengan muka yang datar. Akupun segera menghampiri ustadzah dengan membawa handphoneku.
Disana sudah ada 2 ustadzah menunggu yaitu ustadzah Manda dan ustadzah Nurul. Ustadzah melamun dan seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku bertanya, “Ada apa ustadzah?” Tetapi mereka tetap diam. Kemudian sambil menunggu respon ustadzah aku membuka handphoneku, dan ada pesan dari sahabat kecilku. “Assalamualaikum, Be abah meninggal. Yang sabar ya.” Perasaanku campur aduk, sudah berkaca-kaca. Dan aku ingin rasanya kembali ke kamarku dan menangis sekencang-kencangnya.
“Ustadzah, izin ke kamar ya sebentar.” “Sini duduk dulu.” Ustadzah Nurul menajawab. Akupun menuruti perintah beliau. Akhirnya ustadzah Nurul buka suara, “Bebe sudah tahu?” Mungkin beliau melihat raut wajahku. “Sudah ustadzah.” Aku pun menangis dan ustadzah Nurul memelukku sambil berkata, “sudah pamitan, minta maaf?” aku hanya bisa mengangguk sulit untuk berkata sedikitpun.
Aku kembali ke kamar dengan disambut pelukan dari Haifa, Siyami, dan Salsa. Mereka berkata, “Yang sabar, tabah yaa.” Ternyata aku sudah ditunggu pakdeku didepan gerbang dan akupun berjalan dengan lemas dan isak tangis. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan menangis.
Sesampainya di depan gang sudah dipenuhi motor, mobil dan bendera kuning. Ketika aku berjalan menuju rumahku para warga mengusap lengan ku dan berkata, “Sabar ya dek.” Aku tak bisa menjawab mereka, karena disaat itu aku merasa menjadi orang yang paling terpuruk. Badanku terasa lemas ketika melihat jasad abahku diruang tamu dan rumah sudah dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman abah umi.
Aku menangis terus menerus dengan umi. Aku benci diriku sendiri, merasa kesal karena aku berdiri diatas keegoisanku. Pakde menarik tanganku untuk melihat abahku. Bibirnya pucat, badannya dingin, rasanya aku tidak sanggup melihatnya. Aku kecup kening abahku untuk terakhir kalinya.
Dalam hati aku berkata, “Selamat jalan abahku, selamat menjalani kehidupan tanpa batas. Semoga ditempatkan disisi terbaik-Nya. Dan aku harap kita bisa bersama-sama menikmati surga.”
[1] “limadza?” dalam bahasa indonesia berarti kenapa?
[2] “hayya” dalam bahasa indonesia berarti ayo
[3] “Mufrodat” adalah kegiatan pemberian kosa kata dalam bahasa arab maupun bahasa inggris
[4] “Kulna Jama’atan” dalam bahasa indonesia berarti katakanlah bersama-sama
[5] “Iqob” dalam bahasa Indonesia berarti hukuman
[6] “Syukron Katsiron” dalam bahasa Indonesia berarti terima kasih banyak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H