Lelaki itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pagar rumahku. Kepalanya terlihat naik turun mengikuti pijakan kakinya yang berjinjit-jinjit. Dia tak cukup tinggi untuk menopangkan dagunya di atas pagar bambu rumahku.Â
Entah apa yang sebenarnya dia inginkan dengan melongok begitu layaknya pencuri yang hendak beraksi. Sejenak dia berhenti. Aku bisa melihat dari ujung kepalanya yang diam tak bergerak.Â
Dia berjalan menjauh beberapa langkah saja. Kemudian dia menunduk. Memandangi sesuatu yang ada di bawah. Atau mungkin dia sedang bimbang.Â
Tapi tak lama karena kemudian dia kembali. Kepalanya terlihat lagi di atas pagar rumahku. Timbul tenggelam lagi. Rambutnya sudah jarang tapi masih hitam. Sepertinya aku mengenalinya, tapi aku juga tak yakin.Â
Aku masih menunggu. Tapi aku juga mulai jengah. Baru saja hendak aku beranjak keluar, aku melihat jemari di satu tangannya mulai menjulur dan berpegangan pada puncak pagar itu.Â
Sesekali dia mulai melompat. Tapi tetap hanya dahinya saja yang terlihat. Aku masih berdiri di balik kelambu jendela depan. Mataku ini sudah tak sehebat masa mudaku. Aku cuma berharap dia tahu pagar bambu itu sudah tua dan mulai rapuh. Tak butuh banyak kekuatan untuk merobohkannya.Â
Tak butuh waktu lama pula untuknya mulai berderak-derak. Aku menghela nafas dan segera memulai langkahku ke pintu depan. Aku harus memastikan lelaki itu menghentikan aksi sembrononya. Siapa nanti yang repot jika sungguh pagar bambu itu ambruk? Aku sudah terlalu tua untuk kehebohan seperti itu.Â
"Pak Mo! Pak Mo!" Dia mulai berseru penuh tekad. Saat itu juga aku tahu siapa lelaki itu. Satu-satunya penghuni belakang rumah yang  memanggilku dengan Mo.Â
Bukan Dar seperti yang lain. Cuma istriku saja yang memanggilku seutuhnya; Darmo. Kecuali jika tercintaku itu sedang memberiku peringatan.Â
Dia akan menyebut nama lengkapku dengan nada suara yang demikian rendah: Darmo Wirjodjatmiko, disertai tatapan tajam tanpa berkedip.Â
Biasanya, aku akan berdeham untuk menyembunyikan kegentaranku meski aku tetap beringsut menjauh. Tapi, sudah lama aku tak lagi gentar. Istri tercintaku sudah tiada dan aku merindukannya.Â
"Pak Mo! Pak! Pak Moooooo!" Dia makin kencang berteriak. Padahal tanpa berteriak pun suaranya sudah selalu lantang. Aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalaku.Â
Sungguh aku tak percaya dia sudah menganggapku setuli itu. Aku belum serenta itu. Jalanku memang perlahan. Lututku sudah sering bergetar jika terlalu lama berdiri.Â
Aku harus menggunakan tongkat untuk berjalan sejak  setahun yang lalu. Sejak itu pula, aku hanya bisa berdiri di tepian sawah dan melihat mereka mengerjakan sawahku. Bukankah dia tahu itu semua? Kenapa dia jadi tidak sabaran begitu? Ah ya, aku ingat sekarang.Â
"Ya, Yo! Ya!" Sahutku segera sebelum dia membangunkan seluruh penghuni desa. Aku tergopoh dengan kedua kaki dan tongkatku. Segera aku membuka pagar bambu itu.Â
Wiryo tersenyum malu-malu. Aku menunggu. Kemudian dia mengeluarkan kantong kain putih bekas tempat tepung dari balik punggungnya. Aku mengamatinya.Â
Kantong kain itu tampak sudah dicuci bersih dengan tali kenur untuk mengikatnya. Dibukanya kantong itu. Wiryo mengeluarkan topeng kayu dengan beberapa lubang di permukaannya. Tanpa berpikir lama-lama, dia meletakkan topeng itu di wajahnya sendiri. Kemudian menarik kedua tali pengikat di belakang kepalanya.Â
Yang terlihat dari Wiryo hanya sebagian dari kedua matanya di dua lubang kecil yang bahkan tidak simetris, dan sebagian kecil mulutnya di lubang mungil berbentuk bulat. Itu membuat Wiryo terlihat seperti sedang cemberut.Â
Tapi jika aku perhatikan lebih saksama, dengan kedua lubang matanya yang melorot di ujungnya, membuatnya terkesan berwajah sendu. Dua lubang tak beraturan yang lain yang ada di dahinya tak terlalu kentara. Kau harus sungguh-sungguh memperhatikannya karena warna cokelat tua kayu itu hampir sama dengan warna kulit Wiryo yang sedikit lebih gelap.Â
Sepertinya itu ada bersama lapisan kayu yang guratannya membuatnya tampak indah dan alami. Aku tidak yakin jika Wiryo sungguh melihat topeng itu sebagai benda klasik yang cantik. Sepertinya dia terlalu tenggelam pada apa yang ingin dia raih hingga lupa keindahan di genggamannya.Â
Aku masih juga menunggu. Wiryo berdiri terpaku di depanku memamerkan topeng kayunya. Tak mengapa karena pandangku menelusuri guratan-guratan di permukaannya yang melekuk lembut.Â
Topeng kayu itu cukup bisa menghanyutkanku. Oh, tunggu. Apa yang sebenarnya sedang Wiryo lakukan? Atau mungkin dia yang sedang menungguku. Aku tidak tahu. Kami berdua hanya berdiri diam saling menatap. Atau saling menunggu? Entahlah.Â
Tapi, kemudian aku mendengarnya terisak. Pelan dan halus. Tidak seperti suaranya yang serba lantang. Wiryo menangis dengan sedu sedan yang cukup untukku saja yang ada di hadapannya bisa mendengar.Â
Dia menunduk. Kedua lengannya lunglai di samping tubuhnya. Kedua bahunya sedikit terguncang mengikuti nafasnya yang tengah tersendat-sendat. Tak beberapa lama, dia menengadah.Â
Menatapku lagi tepat di kedua mataku. Menantangku untuk melihat di kedalaman matanya yang sudah demikian basah. Air mata Wiryo seperti tumpah begitu saja berleleran keluar dari tepian topeng kayu yang menutup dagunya, ke lehernya dan hilang terserap tepian kaos yang dulu pernah menjadi milikku. Dia hanya terisak.Â
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Sebagai sesama lelaki, canggung sepertinya jika tiba-tiba aku memeluknya.Â
Rasa-rasanya, aku tidak sedekat itu dengan Wiryo. Atau mungkin iya? Aku sungguh tak tahu. Sudah terlalu lama aku tidak merasakan emosi yang melankolis seperti ini. Membuatku tidak lagi terbiasa bereaksi terhadapnya. Jadi, aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke banyak tempat.Â
Seperti orang bingung saja. Pandanganku bergerak di seputar kepala Wiryo sambil sesekali mencuri pandang ke matanya yang masih terus menumpahkan air. Aku makin merasa tidak nyaman.Â
Lantas, aku mengalihkan pandanganku ke kakiku sendiri. Kemudian ke kaki Wiryo yang bersandal jepit buluk. Entah berapa lama dia sudah menggunakan sandal jepit itu. Seingatku masih ada sandal jepit di rumah.Â
Aku harus segera memberikannya kepada Wiryo supaya dia bisa mengganti sandal jepit yang sedang dipakainya itu. Aku menengadah lagi. Tapi Wiryo masih juga menangis tersedu-sedu.Â
Aku pindahkan topangan kakiku ke kiri dan ke kanan, memindahkan tongkatku ke depan dan ke samping. Sepertinya aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan rasa canggung yang tak nyaman ini. Si Wiryo masih juga menangis menghadapku.Â
Akhirnya aku putuskan untuk menepuk-nepuk bahunya saja. Aku mengulurkan tanganku dan meletakkannya di bahu kirinya. Saat tanganku mendarat di bahunya, Wiryo mulai berbicara dengan cepat dalam satu tarikan nafas.Â
"Anakku mau nikahan, Pak Mo!" Lalu, dia kembali menangis tersedu-sedu.Â
Aku terkejut. Tanganku berhenti di udara. Aku bahkan belum menepuk bahunya untuk kali kedua. Segera aku tarik kembali tanganku. Tertegun menghadapi Wiryo.Â
Mulutku membuka hendak berkata-kata. Lalu, segera aku tutup kembali. Tapi aku merasa harus mengatakannya. Lantas, aku buka mulutku lagi. Tapi juga segera aku tutup lagi.Â
Setelah melakukannya sekali kali, tanpa berkata apapun, aku berbalik meninggalkan Wiryo sendirian di depan pagar bambu rumahku di pagi-pagi ketika matahari bahkan belum bersinar terang. Aku kembali ke dalam rumah, mengambil kantong uangku dan berjalan kembali menemui Wiryo.Â
Wiryo masih berdiri di tempat yang sama dengan topeng kayu yang masih juga terpasang di wajahnya. Dia masih terlihat sendu dan cemberut. Tapi dia sudah tak lagi terisak. Air matanya sudah kering.Â
Tak terlihat lagi jejak air mata di lehernya. Seluruh tubuhnya terlihat kaku seperti patung. Tak ada yang bergerak sedikitpun seolah dia takut sekecil apapun dia bergerak akan membuatnya hancur berkeping-keping.Â
Aku membuka kantong uangku. Mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengulurkannya kepada Wiryo. Dia bergerak perlahan. Lalu, dia menerima uang itu dengan kedua tangannya sambil menunduk berucap terima kasih. Wiryo berpamitan dan segera pergi tanpa menungguku menyahutnya. Aku hanya bisa menatap punggung Wiryo yang berjalan menjauh. Kemudian, aku kembali ke dalam rumah.Â
Aku sudah tidak terkejut lagi dengan tingkah Wiryo pagi itu. Hanya saja, aku tidak mengira dia akan datang secepat ini.Â
...Â
Wiryo, lelaki bertubuh pendek itu, dahulu membantuku mengolah sawah. Waktu itu, Wiryo datang sendiri ke sawah. Dengan suaranya yang selalu lantang, dia berderap langsung menuju ke saung tempatku berselonjor sambil mengibas-ngibaskan caping. Aku memang sangat kelelahan.Â
Saat itu, aku hanya punya dua pekerja yang membantuku. Aku tak perlu berpikir lama untuk memberinya kesempatan itu. Di samping memang aku membutuhkan bantuan, Wiryo terlihat penuh tekad untuk bekerja. Dan aku tidak salah. Wiryo sungguhlah pekerja keras yang rajin. Apalagi yang harus aku cari dari seorang buruh tani. Itu saja sudah cukup untukku.Â
Setiap hari, Wiryo datang paling awal. Dia bahkan sudah datang sebelum aku tiba di sawah. Langit bahkan belum merah untuk menyambut fajar, Wiryo sudah berkubang di tanah basah.Â
Tidak seperti buruh tani yang lain. Mereka lebih suka duduk-duduk dahulu, menunggu temannya datang sambil minum teh panas manis yang uapnya masih mengepul dari mulut ketel di atas anglo di samping saung, atau sambil makan gorengan tempe dan rebusan ketela yang berjibun yang sudah disiapkan Wiryo. Wiryo tidak merasa perlu menunggu siapa pun. Dia datang untuk bekerja dan dia melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Aku menyukainya. Karena itulah, ketika aku membutuhkan tambahan tenaga, aku akan meminta Wiryo mencarikan mereka untukku dengan harapan setidaknya mereka akan memiliki etos kerja yang mirip dengan Wiryo. Bukankah biasanya kita lebih dekat dengan teman yang memiliki kesamaan dengan kita? Sepertinya begitu yang sering aku dengar dulu. Nyatanya aku juga tidak salah dengan mereka yang dibawa Wiryo untuk bekerja denganku.Â
Mereka semua datang dari desa yang sama dengan Wiryo. Sebagian bertetangga dekat dengannya. Sebagian yang lain sedikit lebih jauh. Meski begitu, Wiryo masih tetap Wiryo yang sama seperti yang aku kenal. Teman-teman Wiryo pun juga mirip dengan Wiryo. Tak banyak berbicara ketika berkerja. Mereka hanya mengobrol ketika waktunya istirahat. Sama juga seperti Wiryo, suara mereka begitu lantang.
Tapi, justru dari suara mereka yang lantang itu, aku jadi semakin mengenal Wiryo. Nasib dan peruntungan hidupnya sungguh tidak berpihak padanya. Sepanjang perjalanannya, yang ada hanya nasib sial. Entah ditipu atau ditinggalkan. Dari uang hingga lahan. Dari yang dianggap keluarga hingga teman seperjuangannya, sepertinya mereka semua mengambil sesuatu dari Wiryo. Tapi, melihat cara Wiryo yang begitu mudahnya percaya pada setiap kata yang diucapkan orang lain, Wiryo memang demikian mudah diperdaya. Apalagi jika itu berhubungan dengan sesuatu yang mistis, Wiryo akan terkagum-kagum dibuatnya. Semakin sulit dipahami, semakin tertariklah si Wiryo itu. Sama seperti beberapa tahun kemudian, ketika dia meninggalkan satu-satunya tempat yang dia sebut rumah hanya karena seseorang mengatakan rumah itulah yang membawa kesialan untuk Wiryo. Kata Wiryo, tak sedikit yang mengatakan hal yang sama kepadanya. Kata mereka, Wiryo harus segera meninggalkan rumah itu jika ingin mengubah peruntungan hidupnya. Kata mereka pula dari sejak langkah pertama Wiryo melewati ambang pintu rumahnya, keberuntungan akan segera menempel padanya. Banyak pula yang mengatakan Wiryo akan menemukan benda bertuah. Dari benda itu pulalah, nasib baik akan melekat bersamanya. Tapi itu hanya terjadi jika Wiryo tidak tinggal di rumah itu. Lalu, ada pula yang mengatakan semakin lama Wiryo tinggal di rumah itu, semakin berbahaya untuk hidupnya. Dia bilang Wiryo akan mati muda. Maka, pergilah Wiryo dengan mantap meninggalkan rumahnya. Dia menceritakan semuanya kepadaku sambil duduk tegak seolah dia bangga dengan keputusan yang sudah dia ambil itu. Kemudian dengan lebih membusungkan dadanya, Wiryo berkata bahwa ketika meninggalkan rumah itu, dia bahkan tak ingin menoleh lagi ke belakang ke rumahnya itu.Â
Katanya pula, "Namaku sudah tidak lagi melekat pada rumah itu, Pak Mo! Aku sudah bebas. Lega sekali rasanya, Pak." Kemudian dia tersenyum. Sepertinya untuk menyapa hari baru yang penuh keberuntungan. Begitu mungkin pikir Wiryo.Â
Aku hanya bisa menggaruk kepalaku. Hilang sudah semua milik Wiryo.Â
Aku pandangi Wiryo beberapa saat. Hanya buntalan taplak meja yang dia bawa. Beberapa lipatan baju menyembul di salah satu sisinya yang sedikit terbuka.Â
"Kemana kau akan pergi sekarang, Wir?" tanyaku setelah beberapa saat diam.Â
"Ga tahu, Pak." Dengan enteng Wiryo menyahutku. Diikuti senyumannya yang mulai aku lihat menyimpan kekhawatiran.Â
Aku menutup mataku rapat-rapat dan menghela nafas perlahan. Entah keinginan yang mana yang harus aku padamkan dulu. Meninju Wiryo untuk memberinya kesadaran baru atau merangkulnya untuk memberinya masa depan baru. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memadamkan saja keduanya. Pun toh, ada banyak hal dalam hidup yang harus dirasa sendiri untuk menyadarinya. Mengucapkannya hanya menambah kegetiran.Â
"Kau bisa tinggal di kebun belakang." Hanya itu yang bisa aku tawarkan pada Wiryo. "Ada rumah kecil kosong tepat di balik dinding rumahku. Kau bisa keluar masuk lewat gang kecil di samping rumah. Kau hanya perlu membersihkannya dulu, Wir."Â
Maka, tinggallah Wiryo di rumah mungil di kebun belakang rumahku. Dia menjalani hidupnya seperti biasa layaknya tak ada perubahan apapun. Senyum masih mengembang di wajahnya meski peluh tak pernah berhenti menghiasi wajahnya yang makin gelap terbakar matahari. Dia masih juga pekerja yang rajin. Tak hanya di urusan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sendiri, sesekali Wiryo juga melakukan banyak pekerjaan lain dengan sukarela.Â
Pada awalnya, Wiryo hanya membersihkan rumah yang hendak ditinggalinya. Kemudian, dia memperbaiki sekaligus membuatnya nyaman dan enak dipandang. Atap yang bocor, dia betulkan. Genteng yang miring, dia luruskan. Kusen jendela yang lapuk, dia ganti. Cat yang mengelupas, dia labur kembali. Kebun yang gersang, dia hijaukan dengan banyak sayur. Semua itu hampir tanpa biaya. Wiryo ternyata juga kreatif. Dia mendaur ulang semua di sekitarnya. Di waktu senggang, terkadang Wiryo membantuku membersihkan sekeliling rumahku juga. Dia juga sering berbagi makanan yang dia punya, dan sayuran yang dia tanam sendiri di kebun belakang.Â
Lambat laun, aku menyebut nama Wiryo untuk tetangga yang membutuhkan bantuan tenaga. Dengan harapan, Wiryo akan mendapatkan penghasilan tambahan. Meski mungkin tak seberapa, aku yakin, Wiryo tetap akan senang bisa menabung lebih banyak. Siapa tahu, Wiryo bisa membeli rumahnya kembali.Â
"Saya sudah punya tempat tinggal koq, Pak Mo," begitu katanya menyahut yang aku kira juga harapan Wiryo. Dia cengar-cengir sambil menggosok lengannya seolah dia kedinginan di malam yang sebegitu gerah. Aku terkejut.Â
"Ga pengen punya rumah sendiri seperti dulu, Wir?" Tanyaku mencoba mencari tahu apa keinginannya.Â
Dia bilang dengan santai, "Ga ah, Pak Mo! Repot. Banyak biaya juga. Ga cuma listrik dan air, ada pajaknya juga, Pak."Â
Aku cuma bisa tersenyum getir. Cuma kepolosan Wiryo yang bisa membuatku merasa bangga sekaligus tertampar telak di muka. Aku menyesap kopi pahit yang sudah disiapkan si Wiryo. Rasanya memang pas di kala itu.Â
Setelah berpapasan dengan beberapa tetangga yang sudah dibantu Wiryo, barulah aku tahu. Wiryo menolak semua uang pemberian mereka. Mereka pun berbicara kepadaku dengan senyum lebar. Betapa puasnya mereka dengan hasil kerja Wiryo dan betapa bahagianya mereka dengan tetangga yang demikian ringan tangan. Berulang-ulang mereka mengucap kata syukur untuk Wiryo yang tinggal dekat dengan mereka. Dengan berjalannya waktu dan sibuknya Wiryo, sepertinya tidak ada tetangga yang tidak pernah dibantu Wiryo. Mereka semua menjadi segan kepada Wiryo.Â
Begitulah Wiryo menjalani hidupnya kala itu. Mengalir dengan nyamannya. Apa saja diterimanya tanpa penyesalan. Seingatku, hampir tak pernah aku mendengarnya mengeluh. Sungguh dia pejuang hidup yang tangguh. Tak ada satu pun yang membuatnya tumbang. Dia hanya melakukan yang harus dia lakukan. Menyambung hidup dengan semangat.Â
Kemudian, perlahan segalanya berubah.Â
Angin membawa nama Wiryo hingga ke pelosok desa. Dengan begitu, yang datang mencari Wiryo untuk meminta bantuannya semakin banyak dan silih berganti. Mereka datang dari desa tetangga, yang dekat dan yang jauh. Semua mengenal Wiryo sebagai pekerja yang tak mau menerima uang.Â
Namun, semua yang dibawa angin tidak selamanya membawa kebaikan untuk Wiryo. Di antara yang datang mencari Wiryo, seorang pemuda berambut panjang berombak yang mengembang indah layaknya model iklan sampo berulang kali mampir ke rumah Wiryo. Sama seperti yang lain, pada awalnya pemuda ini hanya meminta tolong Wiryo untuk mengganti talang air di rumahnya di desa tetangga yang tidak terlalu jauh dari sini. Kemudian dia datang lagi sambil membawa gorengan dan air soda untuk dinikmati bersama. Selanjutnya, dia datang hampir setiap malam untuk mengobrol dan bercanda saja dengan Wiryo. Sampai suatu malam, ketika tak lagi terdengar gelak tawa dari belakang rumahku.Â
"Ini, Kang Wiryo, topeng kayu yang aku ceritakan kemarin," katanya penuh minat dan keseriusan. Pemuda berambut ombak itu sama seperti Wiryo yang tak bisa berbisik. Suaranya yang rendah tetap terdengar lantang.Â
"Ini yang disebut-sebut orang bisa membantu pemakainya menangis di waktu yang tepat. Biar ga kemana-mana nangisnya, Kang. Biar pas satu tempat, satu waktu dengan semua yang mau Kang Wiryo ucapkan. Apapun itu, Kang. Terserah Kang Wiryo mau ngomong apa. Ngarang juga ga papa, Kang. Biar terbingkai air matanya dengan cerita Kang Wiryo. Jadi, orang yang diajak ngomong bisa trenyuh. Terus, hampir pasti dia akan bantu Kang Wiryo dengan apapun. Begitu, Kang." Demikian ucap pemuda itu yang sampai hari ini masih juga belum aku ketahui namanya.Â
"Kan, Kang Wiryo pernah cerita kalau ga bisa gampang nangis. Nah, ini bisa membantu, Kang!" Lanjut pemuda itu yang terdengar mendesis layaknya ular mengeluarkan lidahnya yang bercabang. Rasanya ingin segera aku timpuk dengan batu. Untuk apa pula Wiryo butuh menangis.Â
"Wah, hebat ini, Mas!" sahut Wiryo yang aku yakin disertai kedua matanya yang membelalak takjub. Aku cuma bisa menghela nafas. Berharap Wiryo tidak mudah dipengaruhi pemuda itu. Tapi apa daya. Begitulah Wiryo dari dahulu.Â
"Membantu dengan apa pun itu contohnya apa, Mas?" Lanjut Wiryo yang sepertinya sudah terjerat.Â
"Bisa apa aja, Kang. Cuma biasanya orang pasti lebih memilih duit, Kang. Lebih mudah buat transaksi soalnya." Ada nada tawa malu-malu ketika dia menyebut uang. Pastilah karena itu adalah pantulan keinginannya sendiri. Dalam hati aku bertanya kepadanya kenapa tak ia pergunakan sendiri topeng kayu itu. Ah, andai saja aku bisa bertelepati melalui tembok itu dengan Wiryo. Mungkin aku bisa langsung menggaungkan di telinga Wiryo, "Wir, Wir, lupakan saja omong kosong itu, Wir!"Â
"Tapi dari yang sudah-sudah, Kang, orang-orang langsung tahu. Duitnya ga perlu disebut-sebut. Langsung dikasih aja koq, Kang. Itulah hebatnya topeng kayu ini. Kang Wiryo sudah ga perlu susah-susah kerja lagi, Kang. Ga perlu nunggu apa-apa lagi juga. Pakai ini saja, bisa bikin cepat banyak duit, Kang. Kalau sudah begitu, Kang Wiryo pasti juga cepat dapat jodoh, Kang!" Begitulah cerocos pemuda itu diikuti tawa cekikikan keduanya. Dia membuatku teringat tukang obat zaman dulu yang sering menggelar dagangannya berpindah-pindah dari satu pasar ke pasar yang lain. Berbicara tak ada henti hingga mulutnya berbuih-buih.Â
Sama dengan mulut pemuda itu yang sungguhlah semulus rambutnya yang berombak itu. Berkelok-kelok layaknya belut yang menggeliat licin. Tak butuh waktu lama untuk perbincangan mereka menjadi bagaimana topeng kayu itu bisa menjadi milik Wiryo.Â
"Siap, Mas. Besok pagi, saya ke bank yang dekat kota itu." Begitulah semua sudah diputuskan. Pemuda itu pergi, dan aku segera beranjak untuk ke belakang menemui si Wiryo. Ketika aku membuka pagar depan, Wiryo baru saja berbelok keluar dari gang kecil itu.Â
"Wah, kebetulan, Pak Mo. Saya mau pamit. Besok pagi saya ga bisa kerja di sawah." Rupanya dia juga hendak bertandang ke rumahku. Tapi, tujuan hati kami bertentangan.Â
"Saya mau ambil duit, Pak Mo. Saya mau beli topeng kayu," jelas Wiryo penuh semangat. Aku tertegun melihat binar di mata Wiryo yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Rasa-rasanya kedua bola mata itu hampir melompat kegirangan. Terlalu penuh dengan luapan keinginan. Senyumnya yang penuh harapan serasa kobaran api yang membara.Â
"Ini pasti yang orang-orang bilang waktu dulu menyuruhku pindah dari rumah lamaku, Pak Mo. Ini pasti benda bertuah itu, Pak. Hidupku pasti akan lebih mudah sekarang," katanya tak terputus. Sebegitunya Wiryo meyakini semua ini.Â
"Wir, jangan buru-buru..."Â
"Pak Mo doakan saja itu topeng kayu betul jadi milik saya, Pak. Sudah banyak yang mau ambil juga soalnya, Pak. Jadi besok saya ga ke sawah dulu ya, Pak?" Begitulah Wiryo berbicara tanpa jeda. Kemudian dia segera berbalik dan berlalu menjauh dari gang. Aku memanggilnya berulang-ulang tapi Wiryo hanya menengok dan melambaikan satu tangannya sambil tersenyum lebar sekali seolah segalanya sudah baik bahkan sebelum dia mendapatkan topeng kayu itu. Andai saja dia mau berhenti sejenak untuk menyadari bahwa senyum lebarnya itu, seluruh hidup baiknya itu, sudah dia dapatkan bahkan tanpa topeng kayu itu.Â
Aku bertekad menghadangnya di gang pagi-pagi sekali. Tetapi, Wiryo bahkan tak pulang ke rumah.Â
Malamnya, aku mendengar pemuda berambut ombak itu lagi di rumah Wiryo.Â
"Belum, Kang. Belum bisa dipakai dulu. Harus dibawa dulu ke Simbah tetangga saya, Kang."Â
Wah, luar biasa pemuda ini. Seberapa banyak yang akan dia ambil dari Wiryo? Aku bergegas mengambil sarungku. Sayang, di antara kedua lutut dan tongkatku ini, waktu terbuang dengan cepat. Wiryo dan pemuda berambut ombak itu sudah tak terlihat batang hidungnya.Â
Tengah malam hari itu, ketika tak lagi bisa kembali tidur, aku bersandar di kursiku lagi, terdengar suara si pemuda berambut ombak itu lagi.Â
"Sudah, Kang. Malam ini juga kalau mau dipakai juga sudah bisa, Kang Wiryo. Tapi ingat ya, Kang? Cuma bisa satu kali pada satu orang saja. Itu juga harus kepada orang yang pernah Kang Wiryo bantu. Banyak kan, Kang? Ini sudah saya bikinkan daftarnya, Kang. Topengnya ga boleh dipakai pada orang yang Kang Wiryo ga kenal soalnya. Ingat lho, Kang. Kalau dilanggar, sudah ga ampuh lagi, Kang!"Â
Sialan betul anak muda ini! Tapi lebih sial lagi mendengar jawaban Wiryo.Â
"Oh, siap, Mas. Betul itu yang dibilang Simbah tadi. Aku catat dulu aturannya ya, Mas?"Â
Tanpa sadar aku menepuk jidatku sendiri. Dalam hati, aku berharap secepatnya Wiryo teringat akan hidupnya yang baik-baik saja. Begitulah keesokan harinya, ketika matahari bahkan belum bersinar terang, lelaki yang tak bisa aku lihat dengan jelas itu, yang berdiri di depan pagar bambu rumahku, itulah Wiryo.Â
Begitulah pula mengapa aku tak terlalu terkejut dengan semua aksi topeng kayunya pagi ini. Meski sepanjang jalanku ke dalam rumah untuk mengambil kantong uangku, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Pertama kali dia menggunakannya. Dan dia gunakan padaku. Entah apa yang harus aku rasakan dulu. Tersanjung atau justru terhina. Dan apa tadi yang dia katakan padaku? Anaknya hendak menikah? Anak yang mana yang dia sampaikan itu? Bah! Pemuda berambut ombak itu yang menyuruh Wiryo mengarang cerita untuk dibingkai bersama air mata dengan topeng kayu itu. Sungguh edan itu Wiryo! Bisa-bisanya dia tiba-tiba punya anak. Mau menikah pula. Memangnya dia mengambil anak dari udara?Â
Tapi tentunya lebih edan aku ini yang begitu saja memberikan beberapa lembar uang kepadanya. Jangan salah. Aku melakukannya dengan kesadaran penuh. Dari sejak tengah malam, aku sudah membayangkan kejadian ini. Bagaimana jika Wiryo datang dan menggunakan topeng kayunya di hadapanku? Akankah aku mengusirnya untuk memberinya waktu menyadari kebodohannya. Atau berkata-kata sebanyak pemuda berambut ombak itu untuk mematahkan keyakinan Wiryo pada ucapannya. Tapi kemudian semuanya aku urungkan. Bagaimanapun juga, ada banyak dalam hidup yang tidak perlu diucapkan. Untuk itulah ada tinju. Meski itu juga akhirnya aku urungkan juga. Aku sudah kehilangan kesempatan. Sejak pagi yang belum merekah itu, aku tak pernah lagi melihat Wiryo.Â
Yang kudengar kemudian, hanyalah cerita dari satu tetangga dan yang lainnya. Satu per satu, setiap hari, pagi-pagi sekali atau malam setelah matahari tak lagi tampak, Wiryo datang kepada mereka. Melakukan hal yang sama dengan topeng kayu di wajahnya yang dihiasi air mata berleleran hingga ke dagu dan lehernya. Meski begitu, tak satupun dari mereka menolak Wiryo. Mereka semua memberikan beberapa lembar uang kepada Wiryo. Barulah sepeninggal Wiryo dari halaman rumah mereka, mereka semua hanya bisa mengeluh mengenai topeng kayu dan isak tangis Wiryo yang sia-sia. Mereka semua berkisah memberi Wiryo beberapa lembar uang itu karena memang keinginan mereka mengembalikan kebaikan yang sudah Wiryo berikan kepada mereka. Yang mereka tahu Wiryo sedang membutuhkannya tapi tak memiliki keberanian untuk meminta. Untuk itulah Wiryo menyembunyikan wajahnya di balik topeng kayunya.Â
Begitulah, cerita tentang Wiryo beredar selama beberapa waktu. Ada cerita tentang anaknya. Ada cerita tentang adiknya. Ada cerita tentang saudaranya, sepupunya, istrinya, iparnya, mertuanya hingga nama-nama yang belum pernah terdengar berkaitan dengan Wiryo sebelumnya. Tapi, ada satu cerita yang selalu ada dalam perjalanan Wiryo berkeliling antar desa jauh dan dekat. Pemuda berambut ombak. Dia selalu bersama Wiryo.Â
Aku dengar kemana-mana mereka selalu berdua. Ketika Wiryo menggunakan topeng kayu itu sambil menangis tersedu-sedu, pemuda berambut ombak itu akan menunggunya di penghujung jalan. Dia menanti Wiryo sambil membawa sebotol air untuk Wiryo. Dengan tangisan yang sedemikian banyak, yang menguras air matanya, pastilah Wiryo kehausan. Begitulah yang aku dengar. Mereka hidup saling mendukung. Meskipun sepertinya Wiryo yang mendukung pemuda itu. Tapi itu semua juga tak berlangsung lama. Hanya sampai di waktu Wiryo tahu ada gentong rahasia yang ditimbun di dalam tanah milik pemuda berambut ombak. Gentong itu sedemikian penuh dijejali oleh berlembar-lembar uang. Pemuda itu mengelak untuk mengakui semuanya. Tak lama kemudian, gentong itu tak lagi bisa ditemukan Wiryo.Â
Keesokan harinya, di pagi-pagi ketika langit masih merah, Wiryo mengenakan topeng kayunya. Lalu, membangunkan pemuda berambut ombak itu dan mulai menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir lebih deras dari biasanya. Jejak air matanya tak berhenti membawa aliran air dari dagunya di tepian topeng kayu yang menutup wajahnya hingga ke lehernya. Dan, seperti yang sudah-sudah, air mata itu hilang terserap tepian leher baju yang dipakainya. Wiryo terus terisak. Mengarang cerita satu dan lainnya, menyebut sebagian nama yang dikenal dan yang sekedar diambilnya sembarangan. Pemuda berambut ombak itu hanya bergeming, menonton Wiryo. Setelah dirasa cukup waktu yang membosankan untuknya, dengan sekali ayunan, pemuda berambut ombak itu menarik topeng kayu itu dari wajah Wiryo. Dan melemparnya jauh di kedalaman rimbunan alang-alang yang tumbuh di dekat bantaran sungai. Tangisan Wiryo berhenti seketika. Dia berlari mengejar topeng kayu itu yang entah mendarat di mana.Â
Wiryo kembali dengan topeng kayu basah dan berlumuran lumpur. Tak ada air mata di wajah dan lehernya meski seluruh tubuhnya meneteskan campuran air dan tanah. Tak ada siapa pun di tempat dia kembali. Hanya sebagian tanah merah yang kosong yang baru saja digali.Â
Beberapa hari setelah aku mendengar ini semua, aku melihat Wiryo berjalan di gang kecil di samping rumahku.Â
Sumber ide: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Topeng_Kalimantan.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H