Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membingkai Air Mata

14 Agustus 2021   08:08 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:43 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanpa sadar aku menepuk jidatku sendiri. Dalam hati, aku berharap secepatnya Wiryo teringat akan hidupnya yang baik-baik saja. Begitulah keesokan harinya, ketika matahari bahkan belum bersinar terang, lelaki yang tak bisa aku lihat dengan jelas itu, yang berdiri di depan pagar bambu rumahku, itulah Wiryo. 

Begitulah pula mengapa aku tak terlalu terkejut dengan semua aksi topeng kayunya pagi ini. Meski sepanjang jalanku ke dalam rumah untuk mengambil kantong uangku, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Pertama kali dia menggunakannya. Dan dia gunakan padaku. Entah apa yang harus aku rasakan dulu. Tersanjung atau justru terhina. Dan apa tadi yang dia katakan padaku? Anaknya hendak menikah? Anak yang mana yang dia sampaikan itu? Bah! Pemuda berambut ombak itu yang menyuruh Wiryo mengarang cerita untuk dibingkai bersama air mata dengan topeng kayu itu. Sungguh edan itu Wiryo! Bisa-bisanya dia tiba-tiba punya anak. Mau menikah pula. Memangnya dia mengambil anak dari udara? 

Tapi tentunya lebih edan aku ini yang begitu saja memberikan beberapa lembar uang kepadanya. Jangan salah. Aku melakukannya dengan kesadaran penuh. Dari sejak tengah malam, aku sudah membayangkan kejadian ini. Bagaimana jika Wiryo datang dan menggunakan topeng kayunya di hadapanku? Akankah aku mengusirnya untuk memberinya waktu menyadari kebodohannya. Atau berkata-kata sebanyak pemuda berambut ombak itu untuk mematahkan keyakinan Wiryo pada ucapannya. Tapi kemudian semuanya aku urungkan. Bagaimanapun juga, ada banyak dalam hidup yang tidak perlu diucapkan. Untuk itulah ada tinju. Meski itu juga akhirnya aku urungkan juga. Aku sudah kehilangan kesempatan. Sejak pagi yang belum merekah itu, aku tak pernah lagi melihat Wiryo. 

Yang kudengar kemudian, hanyalah cerita dari satu tetangga dan yang lainnya. Satu per satu, setiap hari, pagi-pagi sekali atau malam setelah matahari tak lagi tampak, Wiryo datang kepada mereka. Melakukan hal yang sama dengan topeng kayu di wajahnya yang dihiasi air mata berleleran hingga ke dagu dan lehernya. Meski begitu, tak satupun dari mereka menolak Wiryo. Mereka semua memberikan beberapa lembar uang kepada Wiryo. Barulah sepeninggal Wiryo dari halaman rumah mereka, mereka semua hanya bisa mengeluh mengenai topeng kayu dan isak tangis Wiryo yang sia-sia. Mereka semua berkisah memberi Wiryo beberapa lembar uang itu karena memang keinginan mereka mengembalikan kebaikan yang sudah Wiryo berikan kepada mereka. Yang mereka tahu Wiryo sedang membutuhkannya tapi tak memiliki keberanian untuk meminta. Untuk itulah Wiryo menyembunyikan wajahnya di balik topeng kayunya. 

Begitulah, cerita tentang Wiryo beredar selama beberapa waktu. Ada cerita tentang anaknya. Ada cerita tentang adiknya. Ada cerita tentang saudaranya, sepupunya, istrinya, iparnya, mertuanya hingga nama-nama yang belum pernah terdengar berkaitan dengan Wiryo sebelumnya. Tapi, ada satu cerita yang selalu ada dalam perjalanan Wiryo berkeliling antar desa jauh dan dekat. Pemuda berambut ombak. Dia selalu bersama Wiryo. 

Aku dengar kemana-mana mereka selalu berdua. Ketika Wiryo menggunakan topeng kayu itu sambil menangis tersedu-sedu, pemuda berambut ombak itu akan menunggunya di penghujung jalan. Dia menanti Wiryo sambil membawa sebotol air untuk Wiryo. Dengan tangisan yang sedemikian banyak, yang menguras air matanya, pastilah Wiryo kehausan. Begitulah yang aku dengar. Mereka hidup saling mendukung. Meskipun sepertinya Wiryo yang mendukung pemuda itu. Tapi itu semua juga tak berlangsung lama. Hanya sampai di waktu Wiryo tahu ada gentong rahasia yang ditimbun di dalam tanah milik pemuda berambut ombak. Gentong itu sedemikian penuh dijejali oleh berlembar-lembar uang. Pemuda itu mengelak untuk mengakui semuanya. Tak lama kemudian, gentong itu tak lagi bisa ditemukan Wiryo. 

Keesokan harinya, di pagi-pagi ketika langit masih merah, Wiryo mengenakan topeng kayunya. Lalu, membangunkan pemuda berambut ombak itu dan mulai menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir lebih deras dari biasanya. Jejak air matanya tak berhenti membawa aliran air dari dagunya di tepian topeng kayu yang menutup wajahnya hingga ke lehernya. Dan, seperti yang sudah-sudah, air mata itu hilang terserap tepian leher baju yang dipakainya. Wiryo terus terisak. Mengarang cerita satu dan lainnya, menyebut sebagian nama yang dikenal dan yang sekedar diambilnya sembarangan. Pemuda berambut ombak itu hanya bergeming, menonton Wiryo. Setelah dirasa cukup waktu yang membosankan untuknya, dengan sekali ayunan, pemuda berambut ombak itu menarik topeng kayu itu dari wajah Wiryo. Dan melemparnya jauh di kedalaman rimbunan alang-alang yang tumbuh di dekat bantaran sungai. Tangisan Wiryo berhenti seketika. Dia berlari mengejar topeng kayu itu yang entah mendarat di mana. 

Wiryo kembali dengan topeng kayu basah dan berlumuran lumpur. Tak ada air mata di wajah dan lehernya meski seluruh tubuhnya meneteskan campuran air dan tanah. Tak ada siapa pun di tempat dia kembali. Hanya sebagian tanah merah yang kosong yang baru saja digali. 

Beberapa hari setelah aku mendengar ini semua, aku melihat Wiryo berjalan di gang kecil di samping rumahku. 

Sumber ide: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Topeng_Kalimantan.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun