Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membingkai Air Mata

14 Agustus 2021   08:08 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:43 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terkejut. Tanganku berhenti di udara. Aku bahkan belum menepuk bahunya untuk kali kedua. Segera aku tarik kembali tanganku. Tertegun menghadapi Wiryo. 

Mulutku membuka hendak berkata-kata. Lalu, segera aku tutup kembali. Tapi aku merasa harus mengatakannya. Lantas, aku buka mulutku lagi. Tapi juga segera aku tutup lagi. 

Setelah melakukannya sekali kali, tanpa berkata apapun, aku berbalik meninggalkan Wiryo sendirian di depan pagar bambu rumahku di pagi-pagi ketika matahari bahkan belum bersinar terang. Aku kembali ke dalam rumah, mengambil kantong uangku dan berjalan kembali menemui Wiryo. 

Wiryo masih berdiri di tempat yang sama dengan topeng kayu yang masih juga terpasang di wajahnya. Dia masih terlihat sendu dan cemberut. Tapi dia sudah tak lagi terisak. Air matanya sudah kering. 

Tak terlihat lagi jejak air mata di lehernya. Seluruh tubuhnya terlihat kaku seperti patung. Tak ada yang bergerak sedikitpun seolah dia takut sekecil apapun dia bergerak akan membuatnya hancur berkeping-keping. 

Aku membuka kantong uangku. Mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengulurkannya kepada Wiryo. Dia bergerak perlahan. Lalu, dia menerima uang itu dengan kedua tangannya sambil menunduk berucap terima kasih. Wiryo berpamitan dan segera pergi tanpa menungguku menyahutnya. Aku hanya bisa menatap punggung Wiryo yang berjalan menjauh. Kemudian, aku kembali ke dalam rumah. 

Aku sudah tidak terkejut lagi dengan tingkah Wiryo pagi itu. Hanya saja, aku tidak mengira dia akan datang secepat ini. 

... 

Wiryo, lelaki bertubuh pendek itu, dahulu membantuku mengolah sawah. Waktu itu, Wiryo datang sendiri ke sawah. Dengan suaranya yang selalu lantang, dia berderap langsung menuju ke saung tempatku berselonjor sambil mengibas-ngibaskan caping. Aku memang sangat kelelahan. 

Saat itu, aku hanya punya dua pekerja yang membantuku. Aku tak perlu berpikir lama untuk memberinya kesempatan itu. Di samping memang aku membutuhkan bantuan, Wiryo terlihat penuh tekad untuk bekerja. Dan aku tidak salah. Wiryo sungguhlah pekerja keras yang rajin. Apalagi yang harus aku cari dari seorang buruh tani. Itu saja sudah cukup untukku. 

Setiap hari, Wiryo datang paling awal. Dia bahkan sudah datang sebelum aku tiba di sawah. Langit bahkan belum merah untuk menyambut fajar, Wiryo sudah berkubang di tanah basah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun