Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membingkai Air Mata

14 Agustus 2021   08:08 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:43 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak seperti buruh tani yang lain. Mereka lebih suka duduk-duduk dahulu, menunggu temannya datang sambil minum teh panas manis yang uapnya masih mengepul dari mulut ketel di atas anglo di samping saung, atau sambil makan gorengan tempe dan rebusan ketela yang berjibun yang sudah disiapkan Wiryo. Wiryo tidak merasa perlu menunggu siapa pun. Dia datang untuk bekerja dan dia melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Aku menyukainya. Karena itulah, ketika aku membutuhkan tambahan tenaga, aku akan meminta Wiryo mencarikan mereka untukku dengan harapan setidaknya mereka akan memiliki etos kerja yang mirip dengan Wiryo. Bukankah biasanya kita lebih dekat dengan teman yang memiliki kesamaan dengan kita? Sepertinya begitu yang sering aku dengar dulu. Nyatanya aku juga tidak salah dengan mereka yang dibawa Wiryo untuk bekerja denganku. 

Mereka semua datang dari desa yang sama dengan Wiryo. Sebagian bertetangga dekat dengannya. Sebagian yang lain sedikit lebih jauh. Meski begitu, Wiryo masih tetap Wiryo yang sama seperti yang aku kenal. Teman-teman Wiryo pun juga mirip dengan Wiryo. Tak banyak berbicara ketika berkerja. Mereka hanya mengobrol ketika waktunya istirahat. Sama juga seperti Wiryo, suara mereka begitu lantang.

Tapi, justru dari suara mereka yang lantang itu, aku jadi semakin mengenal Wiryo. Nasib dan peruntungan hidupnya sungguh tidak berpihak padanya. Sepanjang perjalanannya, yang ada hanya nasib sial. Entah ditipu atau ditinggalkan. Dari uang hingga lahan. Dari yang dianggap keluarga hingga teman seperjuangannya, sepertinya mereka semua mengambil sesuatu dari Wiryo. Tapi, melihat cara Wiryo yang begitu mudahnya percaya pada setiap kata yang diucapkan orang lain, Wiryo memang demikian mudah diperdaya. Apalagi jika itu berhubungan dengan sesuatu yang mistis, Wiryo akan terkagum-kagum dibuatnya. Semakin sulit dipahami, semakin tertariklah si Wiryo itu. Sama seperti beberapa tahun kemudian, ketika dia meninggalkan satu-satunya tempat yang dia sebut rumah hanya karena seseorang mengatakan rumah itulah yang membawa kesialan untuk Wiryo. Kata Wiryo, tak sedikit yang mengatakan hal yang sama kepadanya. Kata mereka, Wiryo harus segera meninggalkan rumah itu jika ingin mengubah peruntungan hidupnya. Kata mereka pula dari sejak langkah pertama Wiryo melewati ambang pintu rumahnya, keberuntungan akan segera menempel padanya. Banyak pula yang mengatakan Wiryo akan menemukan benda bertuah. Dari benda itu pulalah, nasib baik akan melekat bersamanya. Tapi itu hanya terjadi jika Wiryo tidak tinggal di rumah itu. Lalu, ada pula yang mengatakan semakin lama Wiryo tinggal di rumah itu, semakin berbahaya untuk hidupnya. Dia bilang Wiryo akan mati muda. Maka, pergilah Wiryo dengan mantap meninggalkan rumahnya. Dia menceritakan semuanya kepadaku sambil duduk tegak seolah dia bangga dengan keputusan yang sudah dia ambil itu. Kemudian dengan lebih membusungkan dadanya, Wiryo berkata bahwa ketika meninggalkan rumah itu, dia bahkan tak ingin menoleh lagi ke belakang ke rumahnya itu. 

Katanya pula, "Namaku sudah tidak lagi melekat pada rumah itu, Pak Mo! Aku sudah bebas. Lega sekali rasanya, Pak." Kemudian dia tersenyum. Sepertinya untuk menyapa hari baru yang penuh keberuntungan. Begitu mungkin pikir Wiryo. 

Aku hanya bisa menggaruk kepalaku. Hilang sudah semua milik Wiryo. 

Aku pandangi Wiryo beberapa saat. Hanya buntalan taplak meja yang dia bawa. Beberapa lipatan baju menyembul di salah satu sisinya yang sedikit terbuka. 

"Kemana kau akan pergi sekarang, Wir?" tanyaku setelah beberapa saat diam. 

"Ga tahu, Pak." Dengan enteng Wiryo menyahutku. Diikuti senyumannya yang mulai aku lihat menyimpan kekhawatiran. 

Aku menutup mataku rapat-rapat dan menghela nafas perlahan. Entah keinginan yang mana yang harus aku padamkan dulu. Meninju Wiryo untuk memberinya kesadaran baru atau merangkulnya untuk memberinya masa depan baru. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memadamkan saja keduanya. Pun toh, ada banyak hal dalam hidup yang harus dirasa sendiri untuk menyadarinya. Mengucapkannya hanya menambah kegetiran. 

"Kau bisa tinggal di kebun belakang." Hanya itu yang bisa aku tawarkan pada Wiryo. "Ada rumah kecil kosong tepat di balik dinding rumahku. Kau bisa keluar masuk lewat gang kecil di samping rumah. Kau hanya perlu membersihkannya dulu, Wir." 

Maka, tinggallah Wiryo di rumah mungil di kebun belakang rumahku. Dia menjalani hidupnya seperti biasa layaknya tak ada perubahan apapun. Senyum masih mengembang di wajahnya meski peluh tak pernah berhenti menghiasi wajahnya yang makin gelap terbakar matahari. Dia masih juga pekerja yang rajin. Tak hanya di urusan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sendiri, sesekali Wiryo juga melakukan banyak pekerjaan lain dengan sukarela. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun