"Pak Mo! Pak! Pak Moooooo!" Dia makin kencang berteriak. Padahal tanpa berteriak pun suaranya sudah selalu lantang. Aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalaku.Â
Sungguh aku tak percaya dia sudah menganggapku setuli itu. Aku belum serenta itu. Jalanku memang perlahan. Lututku sudah sering bergetar jika terlalu lama berdiri.Â
Aku harus menggunakan tongkat untuk berjalan sejak  setahun yang lalu. Sejak itu pula, aku hanya bisa berdiri di tepian sawah dan melihat mereka mengerjakan sawahku. Bukankah dia tahu itu semua? Kenapa dia jadi tidak sabaran begitu? Ah ya, aku ingat sekarang.Â
"Ya, Yo! Ya!" Sahutku segera sebelum dia membangunkan seluruh penghuni desa. Aku tergopoh dengan kedua kaki dan tongkatku. Segera aku membuka pagar bambu itu.Â
Wiryo tersenyum malu-malu. Aku menunggu. Kemudian dia mengeluarkan kantong kain putih bekas tempat tepung dari balik punggungnya. Aku mengamatinya.Â
Kantong kain itu tampak sudah dicuci bersih dengan tali kenur untuk mengikatnya. Dibukanya kantong itu. Wiryo mengeluarkan topeng kayu dengan beberapa lubang di permukaannya. Tanpa berpikir lama-lama, dia meletakkan topeng itu di wajahnya sendiri. Kemudian menarik kedua tali pengikat di belakang kepalanya.Â
Yang terlihat dari Wiryo hanya sebagian dari kedua matanya di dua lubang kecil yang bahkan tidak simetris, dan sebagian kecil mulutnya di lubang mungil berbentuk bulat. Itu membuat Wiryo terlihat seperti sedang cemberut.Â
Tapi jika aku perhatikan lebih saksama, dengan kedua lubang matanya yang melorot di ujungnya, membuatnya terkesan berwajah sendu. Dua lubang tak beraturan yang lain yang ada di dahinya tak terlalu kentara. Kau harus sungguh-sungguh memperhatikannya karena warna cokelat tua kayu itu hampir sama dengan warna kulit Wiryo yang sedikit lebih gelap.Â
Sepertinya itu ada bersama lapisan kayu yang guratannya membuatnya tampak indah dan alami. Aku tidak yakin jika Wiryo sungguh melihat topeng itu sebagai benda klasik yang cantik. Sepertinya dia terlalu tenggelam pada apa yang ingin dia raih hingga lupa keindahan di genggamannya.Â
Aku masih juga menunggu. Wiryo berdiri terpaku di depanku memamerkan topeng kayunya. Tak mengapa karena pandangku menelusuri guratan-guratan di permukaannya yang melekuk lembut.Â
Topeng kayu itu cukup bisa menghanyutkanku. Oh, tunggu. Apa yang sebenarnya sedang Wiryo lakukan? Atau mungkin dia yang sedang menungguku. Aku tidak tahu. Kami berdua hanya berdiri diam saling menatap. Atau saling menunggu? Entahlah.Â